HJ. NARO kian tak tergoyahkan. Di DPR pun ia kini berjaya. Beberapa nama yang diusulkannya sebagai pengganti antar waktu untuk DPR/MPR, yang tinggal beberapa bulan lagi, diterima oleh pimpinan DPR. Pekan lalu, lima orang dari kubunya resmi dilantik sebagai anggota DPR. Sedang seorang lagi, Nyonya Mahfudloh Ali Ubaid, dilantik sebagai anggota MPR. Pelantikan anggota baru itu jelas merupakan pukulan telak kedua bagi kubu Soedardji. Hantaman pertama buat Dardji terjadi waktu daftar calon sementara (DCS) Pemilu 1987 yang disodorkan Dardji ternyata ditolak Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Daftar yang kemudian diumumkan adalah yang disusun kelompok Naro. Untuk pengganti antar waktu anggota DPR/ MPR, Dardji sebelumnya masih menaruh harapan. Pimpinan DPR memang pernah seperti memberi angin baginya. Pada bulan Agustus 1986 lalu, ia pernah dipanggil oleh pimpinan DPR untuk membicarakan penggantian anggota dewan yang meninggal atau dialihtugaskan. Mereka yang harus diganti ketika itu ialah T.H.M. Gobel (almarhum), Syafi'i Wirakusumah, Makmun Imran, Chalid Mawardi (yang menjadi Dubes RI di Syria), dan Mukaffi Makki. Pada hari yang sama, tak lama setelah kelompok Soedardji datang menghadap, pimpinan DPR ternyata juga menerima tamu lain. Berbekal surat dari Naro, Mardinsyah dan beberapa pimpinan DPP PPP ketika itu mengadakan pembicaraan serius. Singkat kata, kedua kubu itu sama-sama mengajukan daftar nama. Kelompok Soedardji agaknya yakin bakal memang. Soalnya, dua tahun sebelumnya, dengan gampang ia mendepak orang-orang dari kubu Naro. Mardinsyah dia copot dari jabatan sebagai Sekjen DPP dalam Badan Musyawarah DPR, dan mengangkat Murtadlo Makmur sebagai pengganti. Murtadlo, bersama H. Ruhani Hakim, ketika itu, diusulkan di-recall oleh Naro, tetapi ditolak Amirmachmud. Tokoh lain yang digusur Dardji adalah Darussamin dan Effendi Somad. Bisa dibayangkan betapa berangnya Naro. Ia segera membentuk F-PP tandingan yang menggunakan kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro,-Jakarta, sebagai markas. Ia sekaligus memecat Dardji sebagai salah satu ketua DPP PPP. Dan dengan sendirinya, F-PP di bawah Dardji juga dianggap tak pernah ada. Tapi yang efektif dan diakui pimpinan DPR selama ini, F-PP pimpinan Dardji. Orang-orang Naro yang dilantik sebagai anggota DPR pekan lalu adalah Nyonya Rohana Muluk, Kiai Demak Ali Hardi, H. Imran Rosadi, Drs Thoyyib, dan Nyonya Ali Mashar. Bachtijar Soertijono, Wakil Sekretaris FPP merangkap penjabat Sekjen DPP PPP versi Dardji, menolak memberikan nama-nama yang dulu diajukan pihaknya. "Tak usah, nanti malah membuat orang-orang yang gagal dicalonkan kecewa," katanya. Kubu Dardji, tentu saja kecewa. Sebab, dengan ditolaknya daftar nama yang dulu disodorkan, agaknya, berarti kini angin sudah berganti arah. Amirmachmud tak mau berkomentar tatkala ditanya soal ini. "Keputusan itu sudah merupakan keputusan Presiden, tak usah dipersoalkan lagi," katanya kepada Musthafa Helmy dari TEMPO. Semua yang terjadi jelas menunjukkan bahwa kedudukan Naro di panggung politik Indonesia cukup kuat. Kekuatannya terletak pada legitimasi kedudukannya sebagai Ketua Umum PPP yang sah terpilih dalam Muktamar PPP I di Ancol -- lepas dari bagaimana prosedur terpilihnya waktu itu. Dan pemerintah mengakui ini. Sebagai politisi, Naro, 57, cukup piawai. Begitu posisinya goyah, karena sejumlah keputusan muktamar ternyata bertentangan dengan ketentuan perundangan yang ada, ia cepat-cepat mengganti dan menyesuaikannya. Dengan begitu, tidak ada alasan kuat buat mendongkelnya. Legitimasi ini juga yang membuat para penentangnya gagal mendepaknya turun, karena pemerintah hanya mengakui DPP pimpinan Naro. Bukti terakhir mengenai hal ini terlihat pada persetujuan pemerintah (dan pimpinan DPR) atas beberapa anggota DPR pengganti yang diusulkannya pekan lalu. Hingga awal pekan ini, beberapa hari setelah pelanukan, kelima anggota baru DPR itu belum tampak muncul di Senayan. Artinya, belum diketahui mereka akan duduk di komisi berapa. "Itu nanti sajalah. Di mana pun diletakkan, anggota DPR harus bisa," kata Mardinsyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini