FACHRURAY, 50, ternyata belum KO. Ketua DPR Amirmachmud menganggap, anggota F-PP kepercayaan Naro itu telah berbuat kelewat batas: memalsukan surat-surat dengan kop, stempel, dan tanda tangan Menteri Sosial, semata untuk mencari keuntungan pribadi. "Dia telah melakukan perbuatan tercela. merusakkan citra Dewan dan melanggar sumpah jabatan sebagai anggota dewan yang terhormat," begitu antara lain bunyi surat Amirmachmud kepada Presiden. Untuk itu, selaku pimpinan DPR, ia mengharap Presiden, "Menyelesaikan kasus pemalsuan ini secara tuntas" Banyak yang beranggapan, surat pimpinan DPR itu berarti lonceng kematian buat Fachrur. Setelah sebulan lebih menghindar dari wartawan mendadak Jumat pekan lalu Fachrur buka suara. "Saya tidak tahu menahu soal pemalsuan SK Menteri Sosial. Tidak pernah menerima komisi Rp 360 juta dan tidak pernah diperiksa oleh PPP, seperti dilansir media massa." Begitu antara lain bunyi keterangan persnya. Anggota Komisi VIII DPR ini, yang namanya dicantumkan pada urutan nomor 7 untuk daerah pemilihan Jawa Tengah, rupanya ingin membela diri. Pada pertengahan Januari lalu, ia memang santer diberitakan telah melakukan tindak kriminal. Dia memalsukan SK Menteri Sosial yang seolah menunjuk PT Setia Yasa Internasional (SYI) sebagai pengelola Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) periode 1986-1991, menggantikan Yayasan Darma Bhakti Keselahteraan Soslal. Supaya lebih meyakinkan, dibuat surat (palsu) lain tentang notulen rapat dan surat tugas untuk PT SYI. Oleh H. Sofyan, boss PT tersebut, surat-surat itu digunakan untuk merayu beberapa pengusaha yang berminat kerja sama. Terkumpullah uang Rp 360 juta. Rp 120 juta di antaranya berasal dari Ongkowidjaja, pimpinan PT Indeco, yang bergerak di bidang perdagangan. Ong kaget ketika Desember lalu ia dipanggil ke Departemen Sosial dan diberi tahu bahwa SK Menteri Sosial itu palsu. Pihak DPR kemudian juga mendapat pemberitahuan. Fachrur dipanggil menghadap Ketua F-PP Soedardji, yang sebenarnya "musuh besar" Naro di PPP (TEMPO, 17 Januari 1987). Menurut Djamaluddin Tarigan, Wakil Ketua F-PP, Fachrur datang memenuhi panggilan pada tanggal 29 Desember, lebih cepat setengah jam dari waktu yang ditentukan. Selama menanti kedatangan Tarigan yang mewakili Soedardji - di kamar nomor 436, lantai 4 gedung DPR, Fachrur konon kelihatan gugup dan gentar. Dalam pembicaraan selama satu jam, kata Tarigan, "Dia mengaku salah." Tapi dia mengaku hanya membubuhkan tanda tangan, sementara yang membuat dokumen adalah Sofyan. Untuk "jasa"-nya itu, ia mendapat komisi dari Sofyan, yang jumlahnya tak dia ingat persis. Amirmachmud ketika itu agaknya juga yakin atas kesalahan yang dilakukan Fachrur. Ia memang mendapat pemberitahuan lisan dari Departemen Sosial tentang masalah tersebut. Itulah yang menjadi dasar pembuatan surat ke alamat Presiden. Amirmachmud mengambil kebijaksanaan tidak berkonsultasi dulu dengan DPP PPP. Soalnya, dia tahu, kini ada dua DPP, pimpinan Soedardji dan Naro. Fachrurazy tak membantah pernah bertemu Tarigan. Tapi bukan di kamar nomor 436, melainkan hanya di dalam Itft. "Saya akan menuntut, karena nama baik saya telah dicemarkan," kata anak Betawi yang berasal dari keluarga NU itu. Fachrur merasa tak punya alasan untuk memperkaya diri. "Kalau mau, saat menjadi sekretaris Menteri Agama, 1962-1972, dapat saya lakukan." la menyatakan bahwa ia sempat mendampingi tiga menteri, yaitu K.H. Ahmad Dahlan, Syaifudin Zuhri, dan Mukti Ali. Kala itu, beberapa kali ia mendapat kesempatan memperoleh rumah, dan selalu diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Tapi, mengapa dia baru membantah tuduhan itu sekarang? Karena mendapat "suntikan" dari Naro? Fachrur menggeleng. " 'Kan baru sekarang jelas dari mana sumber pemberitaan itu. Yaitu dari Soedardji yang sudah dipecat," katanya. Mardinsyah, Sekjen DPP PPP, sampai Senin pekan ini, memang belum mau memberi komentar. Ia hanya menyatakan bahwa kasus ini masih diteliti. Tapi Tarigan tetap yakin bahwa Fachrur bersalah. "Ketika itu, pokoknya, dia mengaku. Kalau kini dia tidak mengaku lagi, ya, tidak tahu," ujarnya. Sedangkan Amirmachmud, kepada Bunga Surawijaya dari TEMPO, hanya berkomentar, "Tunggu saja kebijaksanaan selanjutnya dari Pak Harto."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini