Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keriangan itu tampak terpancar di wajah Nurlaila. Di beranda rumahnya yang sederhana, siang itu terlihat segerombolan siswa berseragam putih-biru mengisi sudut-sudut ruang. Mereka berbagi tawa de-ngan sang pemilik rumah. ”Selamat ya, Bu,” suara mereka riuh seperti berebut.
Rabu siang pekan lalu itu, para siswa SMP Negeri 13 Jakarta Selatan itu se-ngaja mampir ke rumah Nurlaila di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka adalah bekas murid Nurlaila di SMP 56, Melawai, yang terpaksa dipindahkan karena kegiatan sekolah itu ditutup paksa oleh Pemda DKI Jakarta, Desember 2004. Dalam peristiwa itu, Nurlaila adalah satu-satunya guru me-reka yang mencoba bertahan di sekolah itu.
Ditemani sepiring kacang goreng dan kue kering buatan sang guru, mereka duduk meriung di atas karpet merah. Anak-anak kelas tiga SMP itu berceloteh mengenai kehidupan keseharian mereka di sekolah baru. Juga rencana Nurlaila, bekas guru mereka. ”Ibu kan udah bebas. Kapan mengajar kami lagi?” tanya anak-anak itu.
Nurlaila tercekat. Ia hanya bisa meng-angguk. ”Insya Allah, balik.”
Jawaban itu tak memuaskan anak-anak itu. Berebutan mereka bertanya. ”Lha. Emang nggak bisa balik?”
”Mudah-mudahan saja bisa. Tapi ini kan belum selesai,” Nurlaila menerangkan. ”Ibu kan masih mengajukan ban-ding. Jadi, masih lama. Bisa tahunan lagi.”
Anak-anak itu terdiam. ”Wah, kalau lama, kita sudah SMA dong.” Nurlaila terdiam. ”Ya, doain saja,” ujarnya.
Nurlaila diputus bebas oleh Majelis Ha-kim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam persidangan Selasa pekan lalu. Nurlaila dan Jonny Rimon Elian, mantan Ketua Komite Orang Tua M-urid SMP 56 Melawai, menjadi terdakwa da-lam kasus penyelenggaraan satuan pendidikan ilegal, pemalsuan dokumen dan memasuki suatu lahan tanpa izin. Ke-duanya didakwa melanggar UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan Pasal 167 KUHP soal pelarangan masuk pekarang-an orang lain tanpa izin.
Tapi rupanya majelis hakim menga-bul-kan nota keberatan Nurlaila dan Jon-ny. Materi tuntutan jaksa dianggap tak memenuhi kriteria hukum yang bisa di-jerat dengan KUHP. ”Dakwaan tak di-jelaskan secara detail. Karena itu, demi hukum, kami membebaskan terdakwa da-ri segala dakwaan.” kata Johannes Su-hardi, ketua majelis hakim.
Kasus bermula sejak 2000, ketika lahan dan bangunan SMPN 56 Melawai itu ditukargulingkan alias ruilslag oleh Pemda DKI dengan PT Tata Disantara, milik mantan Menteri Abdul Latief. Proses ini tak melibatkan guru, siswa, dan orang tua siswa SMP 56. Karena itu, mereka memutuskan untuk menggugat proses itu ke PN Jakarta Selatan, tapi gugatan ditolak. Hakim menyatakan lahan sekolah itu status quo hingga keluar putusan perkara perdata berkekuatan hukum tetap.
Nurlaila, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP 56 ketika itu melihat sejumlah kejanggalan dalam proses dan dokumen perjanjian ruilslag. Akibatnya, negara dirugikan Rp 45 mi-liar. Dari kasus itu, guru yang kini ber-usia 48 tahun itu menilai pro-ses pendidik-an juga banyak dikorbankan de-mi kepentingan bisnis .
Pada 2003, Pemda meminta kegiatan belajar-mengajar dipindahkan ke SMP 56 baru di wilayah Jeruk Purut, dan ba-ngunan pengganti telah disediakan. Namun, Nurlaila memilih tetap berta-han mengajar murid-muridnya di se-ko-lah la-ma. Sampai suatu saat Nurlaila ber-urusan dengan aparat hukum dan ke-giatan belajar-mengajar di bangunan se-kolah lama dihentikan.
Perlawanan Nurlaila ini membutu-h-kan pengorbanan. Misalnya, gajinya sebagai pegawai negeri sipil tak dibayar se-lama setahun lebih. Akhir Dese-mber 2003, pangkatnya diturunkan satu ting-kat. Sebagai janda dengan tiga anak yang mulai beranjak dewasa, hidup Nur-laila tentu jauh dari nyaman. Selain hi-dup dari gaji sebagai guru, keluarga itu juga ditopang oleh uang pensiun sang suami—mantan Kepala SMP 89 Jakarta Barat—yang telah meninggal pada 1999, serta bantuan dari sanak saudara.
Belakangan, muncul surat pemecatan dirinya sebagai pegawai negeri sipil dari pemerintah DKI karena dinilai indisip-liner. Putusan ini membuat ekonomi ke-luarga kian limbung. Demi menutup ke-hidupan sehari-hari, Nurlaila berjual-an kacang goreng dan kue kering yang dititipkan di warung.
Gugatan Nurlaila atas kebijakan Gubernur terhadap pemberhentian dirinya dari status pegawai negeri sipil kandas di meja Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta pada September 2005. Kini sambil menunggu kasasi MA soal perkara ruilslag SMP 56, ia menyiapkan diri untuk mengajukan banding.
Widiarsi Agustina, Maria Ulfah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo