Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengungkapkan kemarahan- sambil tetap mawas diri ter-nyata bukan hal mudah untuk dite-rapkan. Kesimpulan ini mencuat setelah menyimak hiruk-pikuk pertengkaran pemerintah Indonesia de-ngan Australia yang ramai diberitakan. Keputusan Canberra untuk memberi visa sementara pada 42 warga Papua yang meminta suaka politik telah meng-akibatkan ramainya suara protes pa-ra elite di Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan langsung memanggil pulang Duta Besar RI di Australia.
Kekesalan Presiden memang ada da-sarnya. Sebelumnya ia sempat mene-lepon- Perdana Menteri John Howard, meminta agar pemerintah Australia me-no-lak permohonan suaka itu dan men-jamin semua keamanan pemohon ter-sebut bila mereka- dipulangkan ke Indo-nesia. Namun, visa ternyata tetap diberikan dan secara tak langsung itu ber-arti jaminan keamanan Presiden Yudhoyono tidak dipercaya.
Bagi para elite, ketidakpercayaan pada jaminan Kepala Negara RI tentu sebuah penghinaan. Apalagi, mengingat Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden Indonesia pertama yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Itu sebabnya, pernyataan keras dan protes melalui penarikan Duta Besar wajar dilakukan. Hanya saja setelah itu kita tentu perlu pula mawas diri. Terutama mengenai sejauh mana sebenarnya jaminan pemerintah kita dapat dipercaya?
Bagi pengikut kelompok Ahmadiyah, misalnya, hak kon-stitusional mereka untuk menjalankan kepercayaannya ter-bukti tak bisa dilindungi pemerintah. Buktinya, rumah dan tempat ibadah mereka di berbagai daerah diserang dan di-bakar, sementara polisi yang seharusnya memberi perlindungan malah sibuk mengevakuasi paksa mereka. Hal yang sama dialami oleh para pekerja PT Newmont di Pulau Sumbawa. Sebelumnya, nasib serupa dialami oleh berbagai kelompok Nasrani yang gerejanya ditutup paksa oleh massa dengan alasan tidak memiliki izin.
Berbagai bentuk tindakan anarkistis ini menunju-kkan bah-wa Indonesia memang belum menjadi negara yang sesungguhnya, atau meminjam istilah Gunar Myrdall, -pe-me-rintahannya masih masuk dalam kategori weak state alias pemerintahan lemah. Aparat penegak hukumnya pun -belum berfungsi penuh, terbukti dari begitu banyaknya -ke-putusan yang telah berkekuatan hukum yang belum juga di-eksekusi.
Keadaan pemerintahan lemah ini me-nyebabkan banyak kelompok, ter-utama- yang minoritas seperti warga Papu-a-, me-rasa tertindas. Ini tentu b-ukan ke-salahan yang dapat ditimpakan kepada Presiden Yudhoyono karena me-rupa-kan warisan dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Apalagi era reformasi, yang merupakan tran-sisi da-ri- rezim diktator ke pemerintahan -demokratis, mau tak mau memang -harus melalui tahapan weak states.
Kita tentu tak ingin berada pada ta-hapan ini dalam waktu lama. Presiden Yu-dhoyono pun tampaknya menyadari hal ini, seperti terlihat dari berbagai kebijakan yang telah diambil. Kinerja polisi setelah dipimpin Jenderal Sutanto, misalnya, telah menunjukkan perbaikan yang signifikan, kendati masih jauh dari sempurna.
Polisi kini mulai memberkas para pelaku kriminal yang menyerang kelompok Ahmadiyah, perusahaan Newmont, dan penutupan paksa gereja. Bahwa dalam bentrokan di Abepura yang jatuh korban justru di pihak polisi, juga me-nunjukkan dua hal, terjadi kesalahan taktis di lapangan tapi sekaligus membuktikan bahwa disiplin aparat berseragam cokelat ini telah jauh membaik.
Semua perbaikan ini, bila terus berlangsung, akan meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat dan du-nia internasional. Mudah-mudahan kondisi Indonesia se-bagai negara normal pun dapat selekasnya diraih. Namun, se-nyampang menggapai tujuan itu, kita harus cukup rendah hati untuk tidak memberikan jaminan yang belum mampu kita penuhi. Menghadapi kemungkinan mengalirnya para pencari suaka ke luar negeri, misalnya, tak perlu dengan ber-sitegang dengan negara penerimanya.
Persilakan saja siapa pun yang tak merasa aman di ne-geri ini untuk mencari tempat yang lebih baik di negara lain. Kan-tor perwakilan Indonesia di negeri tujuan pencari su-a-ka justru berkewajiban untuk melindungi hak-hak hukum me-reka yang merasa tertindas di negerinya itu di tempatnya yang baru. Sebab, selama mereka belum mendapatkan ke-warganegaraan yang baru, mereka adalah warga Indonesia dengan berbagai hak konstitusionalnya.
Jika hal ini kita lakukan, jaminan perlindungan peme-rin-tah Indonesia akan dipercaya di mana-mana tanpa harus di-ucapkan oleh seorang presiden. Percayalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo