ADA dua macam buruh minyak di daerah Riau. Yang langsung sebagai
pegawai PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) dan buruh dari
kontraktor PT CPI. Yang belakangan itu tergabung dalam SBMGPU
(Serikat Buruh Minyak, Gas dan Pertambangan Umum) Riau.
Belum lama ini ada surat dari SBMGPU kepada Dirjen Perwatan
(Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja) Dep Nakertrans tentang
penyesuaian upah buruh. Alasannya -- seperti biasa terdengar
akhir-akhir ini -- ialah adanya Kenop-15 dan dalam rangka
melaksanakan "Delapan Jalur Pemerataan." Yang menarik,
disebutnya juga perbedaan upah menyolok antara dua macam buruh
itu Rp 15 ribu dan Rp 85 ribu. Padahal "tanggung jawab kerja
sama," bunyi surat tersebut.
Dari Bakopenas (Badan Kordinasi Kontraktor Nasional) dalam
lingkungan PT CPI diketahui kontraktor yang terdaftar ada 60.
"Tapi yang beroperasi memburu rezeki Caltex lebih dari 100,"
kata D. Pattinasarani Ketua Bakopenas. Akibatnya persaingan
untuk memperoleh kontrak dan penekanan harga. "Caltex sendiri
selalu memberikan kontrak kepada yang menawar paling rendah,"
keluh Pattinasarani.
Yan Wagiran Kepala Humas PT CPI secara tak langsung menolak
tuduhan adanya "permainan" di dalam PT CPI, yang mencoba
mengobyekkan soal kontrak itu. Bahkan ditambahkannya, kalau ada
perubahan harga akibat kebijaksanaan pemerintah, "CPI selau
bersedia memperbaharui isi kontrak." Jadi tak urung kontraktor
itu sendirilah yang jadi sasaran mengenai upah buruh yang begitu
rendah itu. Seperti dikatakan Yan: "Soal itu sebenarnya tak ada
sangkut-pautnya dengan CPI."
Sangkut-paut PT CPI barangkali memang tidak ada, andai saja
kontraktor sepenuhnya berdiri sendiri. Tapi menurut seorang
buruh minyak yang sudah bekerja 8 tahun, bagaimana pun PT CPI
ikut bertanggungjawab. Katanya: "Semua pekerjaan langsung diatur
dan diawasi Caltex sendiri." Maksudnya, kontraktor kebanyakan
hanya nama saja, hanya modal dengkul saja, karenanya "semuanya
tergantung Caltex," kata Bul Bema, salah seorang pengurus
SBMGPU.
Buktinya, "kalau droping uang dari Caltex macet, buruh pun
setengah mati," jawab Bul yang pernah menjadi karyawan Caltex
itu. Lalu diceritakannya bagaimana buruh kontraktor Fa Huser,
yang memborong pengecatan rumah di perumahan karyawan PT CPI
terlantar karena pembayaran PT CPI tidak lancar. Bakopenas
sendiri agaknya tak bisa berbuat banyak bagi anggotanya. Padahal
menurut Pattinasarani, "hanya ada 6 kontraktor yang bonafit,
yang lain hanya main koneksi dan relasi saja." Tak mengherankan
kalau kemudian para buruh bingung, kepada siapa mereka harus
mengadukan nasib. Buruh-buruh minyak itu, yang berjumlah sekitar
10 ribu, memang sejak lama mengerjakan pekerjaan PT CPI, tapi
dengan majikan yang selalu berganti: satu kali dengan kontraktor
anu, lain kali lain kontraktor lagi.
Memang pernah buruh-buruh itu usul agar dianggap sebagai buruh
tetap PT CPI saja. Tak kurang surat dilayangkan kepada Ditjen
Perwatan, Agustus 1978. Dan memang ada anjuran dari Ditjen
tersebut agar sistim kontrak diperbaiki. Toh, sampai sekarang
masih begitu-begitu saja.
Mungkin PT CPI sendiri keberatan. Sebab kalau usul tersebut
dikabulkan, berarti biaya operasionil perusahaan minyak ini jadi
naik. Sedangkan sistim kontrak, dulu-dulunya konon sudah
dimaksudkan sebagai pemerataan kesempatan kerja.
UU Kurang Kukuh
Jadi banyak benarnya apa yang dikatakan Kepala Kanwil Ditjen
Perwatan Riau, drs Sutanto Hadisoro: "Tak cukup dengan
mendesak-desak pemborongnya. Banyak tergantung kepada CPI
sendiri." Sementara dia ini merasa undang-undang yang ada kurang
kukuh untuk mendesak pengusaha agar memperhatikan buruhnya.
Misalnya soal kenaikan upah 8% sejak Januari 1978 berdasar SK No
97/77 Dirjen Perwatan. Banyak buruh yang hanya menerima kenaikan
itu baru Oktober 1978. Alasan kontraktor, ada pernyataan dari
CRG (Contract Representative Group), satu departemen PT CPI
yang mengkordinir dan mengawasi kontraktor asing, yang menilai
SK tersebut hanya berlaku bagi kontrak baru dan seyogyanya
berlaku sejak Oktober saja.
Buruh PT CPI sendiri turut gelisah juga. Cuma masalah mereka tak
langsung berhubungan dengan periuk nasi. Mereka cuma menyesal,
bahwa kenaikan gaji yang 10% tahun 1979 ini ternyata diikuti
peraturan pungutan pajak nilai rumah bagi yang menempati
perumahan perusahaan sebesar 25% dari gaji. Makanya di kantor
itu sekarang bertebaran pamflet, mengejek sistem pengelolaan
hubungan buruh perusahaan. Antara lain ada karton Charlie Brown,
yang menyobek-nyobek surat petisi karena tak mau diganggu soal
petisi.
Dan bagaimana dengan para buruh kontraktor? "Kalau tidak
disabar-sabarkan, mereka sudah mau mogok saja," kata seorang
pengurus SBMGPU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini