Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Antara Langsung & Kontraktor

Buruh dari kontraktor PT. CPI mengajukan tuntutan penyesuaian upah. Buruh yang langsung sebagai pegawai PT. CPI mendapat upah yang lebih tinggi. Ditjen perwatan menganjurkan agar sistim kontrak diperbaiki. (dh)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua macam buruh minyak di daerah Riau. Yang langsung sebagai pegawai PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) dan buruh dari kontraktor PT CPI. Yang belakangan itu tergabung dalam SBMGPU (Serikat Buruh Minyak, Gas dan Pertambangan Umum) Riau. Belum lama ini ada surat dari SBMGPU kepada Dirjen Perwatan (Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja) Dep Nakertrans tentang penyesuaian upah buruh. Alasannya -- seperti biasa terdengar akhir-akhir ini -- ialah adanya Kenop-15 dan dalam rangka melaksanakan "Delapan Jalur Pemerataan." Yang menarik, disebutnya juga perbedaan upah menyolok antara dua macam buruh itu Rp 15 ribu dan Rp 85 ribu. Padahal "tanggung jawab kerja sama," bunyi surat tersebut. Dari Bakopenas (Badan Kordinasi Kontraktor Nasional) dalam lingkungan PT CPI diketahui kontraktor yang terdaftar ada 60. "Tapi yang beroperasi memburu rezeki Caltex lebih dari 100," kata D. Pattinasarani Ketua Bakopenas. Akibatnya persaingan untuk memperoleh kontrak dan penekanan harga. "Caltex sendiri selalu memberikan kontrak kepada yang menawar paling rendah," keluh Pattinasarani. Yan Wagiran Kepala Humas PT CPI secara tak langsung menolak tuduhan adanya "permainan" di dalam PT CPI, yang mencoba mengobyekkan soal kontrak itu. Bahkan ditambahkannya, kalau ada perubahan harga akibat kebijaksanaan pemerintah, "CPI selau bersedia memperbaharui isi kontrak." Jadi tak urung kontraktor itu sendirilah yang jadi sasaran mengenai upah buruh yang begitu rendah itu. Seperti dikatakan Yan: "Soal itu sebenarnya tak ada sangkut-pautnya dengan CPI." Sangkut-paut PT CPI barangkali memang tidak ada, andai saja kontraktor sepenuhnya berdiri sendiri. Tapi menurut seorang buruh minyak yang sudah bekerja 8 tahun, bagaimana pun PT CPI ikut bertanggungjawab. Katanya: "Semua pekerjaan langsung diatur dan diawasi Caltex sendiri." Maksudnya, kontraktor kebanyakan hanya nama saja, hanya modal dengkul saja, karenanya "semuanya tergantung Caltex," kata Bul Bema, salah seorang pengurus SBMGPU. Buktinya, "kalau droping uang dari Caltex macet, buruh pun setengah mati," jawab Bul yang pernah menjadi karyawan Caltex itu. Lalu diceritakannya bagaimana buruh kontraktor Fa Huser, yang memborong pengecatan rumah di perumahan karyawan PT CPI terlantar karena pembayaran PT CPI tidak lancar. Bakopenas sendiri agaknya tak bisa berbuat banyak bagi anggotanya. Padahal menurut Pattinasarani, "hanya ada 6 kontraktor yang bonafit, yang lain hanya main koneksi dan relasi saja." Tak mengherankan kalau kemudian para buruh bingung, kepada siapa mereka harus mengadukan nasib. Buruh-buruh minyak itu, yang berjumlah sekitar 10 ribu, memang sejak lama mengerjakan pekerjaan PT CPI, tapi dengan majikan yang selalu berganti: satu kali dengan kontraktor anu, lain kali lain kontraktor lagi. Memang pernah buruh-buruh itu usul agar dianggap sebagai buruh tetap PT CPI saja. Tak kurang surat dilayangkan kepada Ditjen Perwatan, Agustus 1978. Dan memang ada anjuran dari Ditjen tersebut agar sistim kontrak diperbaiki. Toh, sampai sekarang masih begitu-begitu saja. Mungkin PT CPI sendiri keberatan. Sebab kalau usul tersebut dikabulkan, berarti biaya operasionil perusahaan minyak ini jadi naik. Sedangkan sistim kontrak, dulu-dulunya konon sudah dimaksudkan sebagai pemerataan kesempatan kerja. UU Kurang Kukuh Jadi banyak benarnya apa yang dikatakan Kepala Kanwil Ditjen Perwatan Riau, drs Sutanto Hadisoro: "Tak cukup dengan mendesak-desak pemborongnya. Banyak tergantung kepada CPI sendiri." Sementara dia ini merasa undang-undang yang ada kurang kukuh untuk mendesak pengusaha agar memperhatikan buruhnya. Misalnya soal kenaikan upah 8% sejak Januari 1978 berdasar SK No 97/77 Dirjen Perwatan. Banyak buruh yang hanya menerima kenaikan itu baru Oktober 1978. Alasan kontraktor, ada pernyataan dari CRG (Contract Representative Group), satu departemen PT CPI yang mengkordinir dan mengawasi kontraktor asing, yang menilai SK tersebut hanya berlaku bagi kontrak baru dan seyogyanya berlaku sejak Oktober saja. Buruh PT CPI sendiri turut gelisah juga. Cuma masalah mereka tak langsung berhubungan dengan periuk nasi. Mereka cuma menyesal, bahwa kenaikan gaji yang 10% tahun 1979 ini ternyata diikuti peraturan pungutan pajak nilai rumah bagi yang menempati perumahan perusahaan sebesar 25% dari gaji. Makanya di kantor itu sekarang bertebaran pamflet, mengejek sistem pengelolaan hubungan buruh perusahaan. Antara lain ada karton Charlie Brown, yang menyobek-nyobek surat petisi karena tak mau diganggu soal petisi. Dan bagaimana dengan para buruh kontraktor? "Kalau tidak disabar-sabarkan, mereka sudah mau mogok saja," kata seorang pengurus SBMGPU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus