DUAPULUH April lalu Kabupaten Bandung genap berusia 338 tahun.
Tapi meskipun para alim ulama sering melakukan sembahyang
istiharah, persoalan akan dipindahkan ke mana ibukota kabupaten
ini, masih belum terjawab. Hasil sembahyang itu menurut para
ulama memang menunjukkan Bale Endah sebagai pilihan yang baik
untuk ibukota Kabupaten Bandung.
Bale Endah terletak 11 km di arah selatan Kota Bandung. Bupati
Lily Sumantri yakin benar wilayah ini paling cocok untuk menjadi
pusat pemerintahan kabupaten. Karena itu sejak 1974 ia sudah
mempersiapkan sarana perkantoran. Bahkan gedung Pemda dan DPRD
Kabupaten Bandung nyaris rampung.
Tapi yang menjadi soal, Departemen Dalam Negeri belum memberi
kata setuju untuk menentukan Bale Endah sebagai ibukota
Kabupaten Bandung. Pada 1977 Mendagri Amirmachmud menyarankan
agar ibukota dipindahkan ke Soreang. DPRD Bandung menyatakan
keberatan. "Tanah di Soreang subur, lebih baik untuk pertanian,"
ungkap Haji drs Bahrul Hayat, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung
kepada TEMPO. Untung akhirnya Mendagri menarik usulnya. Namun
soal Bale Endah belum ada juga penegasan.
Bagi Pemda maupun DPRD Bandung, Bale Endah cukup wajar. Selain
sebelumnya telah diteliti oleh sebuah konsultan, juga wilayah
ini dianggap bersejarah. Yaitu tempat pertahanan terdepan
Siliwangi untuk merebut kembali Kota Bandung dalam peristiwa
Bandung lautan api. Untuk itu di sini telah berdiri tugu
peringatan. Bale Endah juga dikenal kurang subur, sehingga jika
wilayah ini ditutupi berbagai bangunan tak akan mengurangi
produksi pertanian.
Lebih dari itu konon sejak pertama kali kabupaten ini didirikan
pada 1641, ibukotanya yang pertama kali ada di Krapyak, Bale
Endah sekarang. Tapi sejak 1811 pusat pemerintahan dipindah ke
depan Alun-alun Bandung, dalam wilayah Kotamadya Bandung, agar
lebih dekat ke jalur jalan Anyer-Panarukan. Jadi sekarang, "kami
hanya bermaksud akan pulang kembali," kata Bupati Lily.
Sulit Tanah Kosong
Tapi tak kalah penting dari semua itu adalah Kota Bandung
sendiri yang semakin sesak dalam beberapa tahun belakangan ini.
Dengan penduduk 2,4 juta di dalam kota ini sudah sulit mendapat
tanah kosong. Bahkan untuk mendirikan bangunan-bangunan
pemerintah tak mudah menemukan lokasi. Jalan-jalan juga sulit
diperlebar, karena desakan bangunan semakin deras. Rencana
pemekaran kota ini sudah terdengar berkali-kali dalam beberapa
tahun belakangan ini. Namun belum juga terujud.
Menurut ir. Djoko Sujarto MSC memang ada ketentuan yang tak
memperkenankan pemekaran wilayah Kotamadya Bandung. Tapi "secara
pribadi saya berpendapat hal itu kurang obyektif," kata Djoko.
Menurutnya setiap kota memiliki ukuran optimum -- keseimbangan
antara jumlah penduduk, penyediaan fasilitas dan kemampuan Pemda
mengelolanya. Misalnya pemekaran Kota Bandung dilakukan 10 kali
lipat dari sekarang, "belum tentu optimum." Sccara pasti Djoko
memang tak mengemukakan harus menjadi berapa luas pemekaran kota
ini. Departemen Dalam Negeri sendiri sekarang sedang mempelajari
ketentuan ukuran optimum koa yang ideal. Tapi yang pasti, kata
Djoko, Kota Bandung sudah perlu dimekarkan.
Seorang ahli planologi Belanda, Karsten, pada 1930 memang pernah
memperkirakan pada 1955 penduduk Kota Bandung akan menjadi
750.000. Untuk itu katanya kota ini harus diperluas menjadi
12.758 hektar. Padahal pada 1955 urbanisasi begitu hebat
sehingga penduduk Kota Bandung menjadi hampir 1 juta. Dan
sekarang dengan luas 8.000 hektar (hasil perluasan 1949) kota
ini menyimpan 2,4 juta warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini