MEMERANGI kemiskinan tampaknya tak cukup dengan serbuan mendadak atau sektor per sektor. Untuk menaklukkan kemiskinan, diperlukan serangan menyeluruh dan serempak. Karena itu pula, Presiden Soeharto pertengahan April lalu memanggil 14 menterinya untuk melaksanakan program mengentaskan kaum miskin. Sasarannya pun disebutkan oleh Pak Harto terdiri dari beberapa segi walau dengan bendera yang sama yakni berada di bawah garis kemiskinan. Ada rakyat yang mendiami kampung kumuh, petani gurem, kaum putus sekolah, penganggur, nelayan sampai petani perambah hutan. Totalnya, menurut Biro Pusat Statistik, adalah 27 juta atau 15% dari jumlah penduduk. Para menteri pun menyusun siasat untuk mengatasi kemiskinan yang bersegi banyak itu. Dan Sabtu pekan lalu, Presiden merasa perlu memanggil lagi delapan menterinya untuk menyempurnakan pengadaan pangan, yang tentu tak terpisahkan dari program ''antikemiskinan'' itu. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas, Ginandjar Kartasasmita, misalnya, mulai melangkah dengan memaparkan peta kemiskinan di Indonesia. Peta itu membuat orang kaget, karena 34% dari 67.000 desa lebih tergolong miskin. Pro- vinsi yang persentasenya lebih dari separuhnya adalah Aceh (51%), Timor Timur (82%), Kalimantan Barat (55%), Kalimantan Tengah (53%), dan Sulawesi Tenggara (58%). Hanya Jakarta yang kaya. Sebab, desa miskin cuma 1,5% dari 260 desanya. Langkah berikutnya, Menteri Ginandjar mengangkat asisten menteri selama ini belum pernah ada kursinya di Bappenas khusus untuk menangani kemiskinan. Dialah Prof. Dr. Mubyarto, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Yogya, yang dikenal dengan konsep: kiat memerangi kemiskinan di pedesaan. Namun, menurut Ginandjar, gerakan antikemiskinan yang diluncurkan sejak April lalu itu bukanlah hal baru. ''Bukan baru sekarang masalah kemiskinan mendapat perhatian serius,'' katanya. Ia menunjuk prestasi masa lalu, yang berhasil mengangkat separuh lebih mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Dari 54 juta jiwa pertengahan 1970-an menjadi tinggal 27 juta yang belum terkatrol dari ''lembah kemiskinan''. Ukuran utama untuk menentukan tingkat kemiskinan itu adalah besarnya kalori yang dikonsumsi setiap orang per hari. Untuk lolos ke atas garis kemiskinan, minimal 2.100 kalori per hari, atau kalau dirupiahkan saat ini setara dengan Rp 203.000 per kapita setahun atau Rp 17.000 sebulan. Namun, patokan itulah yang sering mengundang pertanyaan. Karena menggeser ke atas beberapa rupiah saja, yang ''jatuh'' ke bawah garis kemiskinan bisa jutaan. Ekonom dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Suroso Imam Zadjuli, punya versi lain. Seperti dikutip Kompas, Suroso berpendapat, penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan bukan cuma 27 juta, melainkan 46 juta. Angka ini diperoleh dari ukuran pendapatan per kapita Rp 240.000 per tahun atau Rp 20.000 sebulan. Lain lagi ukuran yang diperkenalkan Prof. Dr. Sayogyo, ahli sosiologi pedesaan Institut Pertanian Bogor. Ia melihat patokan BPS lemah karena didasarkan pada pengeluaran rumah tangga. ''Padahal, secara teoretis, yang digunakan adalah pendapatan,'' tuturnya. Sayogyo pada tahun 1973 sudah membuat patokan pendapatan per kapita setahun dengan ukuran beras. Dengan patokan setara beras itu, ia membagi kemiskinan menjadi tiga lapis dengan membedakan masyarakat desa dan kota. Miskin bila berpenghasilan setara beras kurang dari 240 kg (Rp 180.000) untuk pedesaan, dan 360 kg (Rp 270.000) untuk kota. Miskin sekali bila mendapat di bawah 240 kg untuk pedesaan, dan 270 kg di kota, serta paling miskin kalau kurang dari 180 kg di desa dan 270 kg di kota. Selama ini, di mata Sayogyo, sebagian besar kebijaksanaan pemerintah belum menyentuh kelompok terbawah. Beberapa kebijaksanaan sebenarnya ada yang efektif. Inpres, misalnya, banyak dipuji para ekonom karena langsung menyentuh harkat hidup orang banyak. Namun, dari segi anggaran, baru tahun 1991 dana Inpres naik cukup berarti. Pada tahun-tahun sebelumnya hanya Rp 1 triliun, pelan-pelan meningkat hingga Rp 4,8 triliun untuk tahun ini. Sementara itu, strategi lain di sektor moneter, seperti kredit untuk usaha kecil, belum mempan mengatasi kemiskinan. Diperkirakan, kini tak lebih dari 10% kredit yang tersalur pada pengusaha kecil. Upaya pengembangan koperasi juga belum mampu mengangkat rakyat yang miskin. Penyebabnya, menurut Mubyarto, antara lain program masa lalu belum menyentuh rakyat kecil. ''Karena pembangunan kita selama ini lebih berorientasi ke pertumbuhan ketimbang pemerataan,'' katanya kepada TEMPO. Ia berkeyakinan bahwa pemerataan akan kian cepat terwujud bila ekonomi rakyat menjadi kukuh lewat koperasi. Tampaknya, pemerataan dan mengatasi kemiskinan akan berjalan seiring. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 21 negara berkembang, satu-satunya strategi yang paling efektif untuk memberantas kemiskinan adalah membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Masih laporan Bank Dunia, tahun 1990 paling tidak 2,4 juta tenaga kerja memasuki lapangan kerja. Namun, apalah artinya angka-angka itu. Yang terpenting adalah bagaimana mereka dientaskan dari kemiskinan. Yopie Hidayat dan Iwan Qodar H. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini