Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Apa di balik Mega

Anak-anak Bung Karno pernah mendapat kesulitan untuk melakukan kegiatan sosial dan politik. sampai-sampai ada kesepakatan keluarga soekarno untuk tak bergiat di bidang politik.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEGAWATI Soekarnoputri, 46 tahun, benar-benar menjadi bintang di Kongres PDI Surabaya. Dia dielu-elukan, dipersoalkan, dan menjadi penentu lancar-tidaknya kongres tersebut. Tanpa kasak- kusuk ke pejabat Pemerintah atau pimpinan PDI pun, Mega ternyata mampu mendapatkan dukungan emosional luar biasa dari peserta kongres. Mereka dengan gegap-gempita mencalonkan Mega menjadi Ketua PDI. Dukungan menggebu-gebu yang meledak sejak tiga pekan lalu itu rupanya tak lepas dari nama besar Bung Karno di balik Mega. Sebagai politikus, Mega boleh dibilang baru dan tak menonjol. Bahkan, ia dikenal bukan sebagai politikus piawai dan jago berkasak-kusuk. Begitu pun di kongres Surabaya, Mega tak melakukan ''operasi khusus'' untuk memenangkan pemilihan Ketua Umum PDI itu. Ucapan dan gambarnya biasanya cuma muncul di koran sekitar masa kampanye pemilu. Ia memang termasuk anggota DPR yang tak suka ngomong atau memberikan pernyataan menggebu-gebu kepada wartawan. Pesaingnya suka meledek bahwa Mega lebih cocok sebagai ibu rumah tangga, bukan politikus. Walau kurang menonjol sebagai pemain politik, toh Mega selalu diperhitungkan oleh pihak lain. Sering ia disebut-sebut atau dituduh akan meneruskan paham Soekarnoisme dari almarhum ayahnya, Bung Karno. Namun, ia sering tak menangkis apa itu Soekarnoisme yang dituduhkan tersebut. ''Siapa sebenarnya Bung Karno itu? Kalau menurut pendirian Pemerintah yang resmi, Bung Karno diberi predikat proklamator dan juga sebagai pahlawan kemerdekaan. Kalau kita mau jujur dan terbuka melihat sejarah, pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan (pertama kali) bahwa falsafah kita adalah Pancasila. Jadi, kalau setiap hari kita bicara soal Pancasila, seharusnya mereka yang mengucapkan itu ingat pada orang yang bernama Bung Karno,'' kata Megawati (TEMPO, 4 Desember 1993). Ia memang tampak kurang tangkas menangkis serangan pihak lain dengan pernyataan-pernyataan politik yang tajam. Sejak menjadi anggota DPR, 1987, Mega jarang ditampilkan sebagai juru bicara fraksi atau memberikan pernyataan kepada pers. Bahkan, menurut Budi Hardjono, yang menjadi pesaingnya, Mega termasuk malas dan sering tak muncul di Senayan. Di PDI pun ia cuma muncul ke depan publik kalau kampanye atau acara-acara temu massa di daerah. Kebetulan ia memang tak punya posisi apa-apa di DPP atau Fraksi PDI. Tapi mengapa tiba-tiba namanya melambung dan mendapat dukungan sebagai calon Ketua PDI? Mungkin karena Mega adalah putri Bung Karno. Sebenarnya, di antara anak-anak presiden pertama Indonesia itu, pada mulanya, Mega ''kalah pamor'' dari kakaknya, Guntur Soekarnoputra. Dalam kampanye Pemilu 1971, Guntur diharapkan PNI ikut meramaikan kampanye setidaknya, ikut diarak untuk pengerahan massa. Sasarannya, tentu, agar partai itu mendapat dukungan dari mereka yang masih ingat Bung Karno. Namun, ketika itu, putra sulung Soekarno yang tampang dan gaya bicaranya mendekati atau mirip ayahnya itu, konon, tak mendapat izin ikut kampanye. Sampai-sampai kemudian keluarga Bung Karno membuat kesepakatan untuk tak giat bergerak di bidang politik. Mereka akan menekankan kegiatannya di bidang sosial, bukan politik praktis. Namun, ketika Rachmawati, adik Mega, mau mendirikan perguruan tinggi swasta di bawah naungan Yayasan Pendidikan Soekarno di Jakarta, tahun 1982, itu pun urung. Universitas yang direncanakan memakai nama Bung Karno itu akhirnya tak mendapat izin walau sudah punya gedung dan siap mengadakan tes masuk bagi 4.000 calon mahasiswanya. Alasannya, izin belum keluar sampai kini. Ketika Yayasan Bung Karno berniat mendirikan museum, izin pun tak kunjung datang. Usaha ini dirintis Guruh Sukarno Putra, yang menjadi ketua yayasan yang beranggotakan seluruh keluarga Bung Karno itu. ''Kami bermaksud mendirikan sebuah museum, tapi sampai sekarang izinnya belum turun,'' kata Guruh beberapa tahun lalu. Juga ketika Rendra dan N. Riantiarno dilarang mementaskan karya mereka termasuk drama Konglomerat Burisrawa Guruh pun tak dibolehkan mementaskan karya seninya, Swaramahardika. ''Kalau hambatan-hambatan itu karena kami putra Bung Karno, itu sungguh naif,'' katanya kepada TEMPO pekan lalu. Yang pertama kali boleh tampil ke dunia politik adalah Megawati. Ia terjun dalam kampanye Pemilu 1987 sebagai calon anggota DPR, dan akhirnya memang berhasil masuk Senayan. Langkahnya diikuti oleh adik bungsunya, Guruh Sukarno Putra juga di kandang banteng yang menjadi anggota DPR sejak 1992. Penampilannya selama kampanye pun selalu dihubung-hubungkan dengan nama besar almarhum ayahnya. Menjelang Sidang Umum MPR 1993, Guruh berani maju sebagai calon presiden. Ada yang bilang pencalonan Guruh itu sebagai pelesetan atau banyolan politik. Namun, Guruh toh dianggap sebagai orang yang tak ewuh pakewuh menggelar pentas politik, mencalonkan diri untuk kursi presiden. Ketika itu memang tak ada yang menggubris dan bersedia mencalonkannya paling tidak, fraksi-fraksi MPR yang punya hak untuk itu. Memang, dengan atau tanpa ''gebrakan'' politik seperti dilakukan Guruh, tampaknya, nama Bung Karno masih tetap diperhitungkan oleh sementara masyarakat. Bahkan, dalam berbagai kampanye pemilu, gambar Bung Karno tak jarang dibawa- bawa untuk menarik massa. Namun, setelah ada ketentuan bahwa selama kampanye tak boleh membawa gambar tokoh, sejak dua pemilu lalu, massa pun tak membawa gambar Bung Karno atau tokoh lain selain sesekali ada yang menggelar gambar poster penyanyi idola anak muda, Iwan Fals. Pemunculan gambar Bung Karno, atau tampilnya anak-anaknya di pentas politik, bukannya tak mungkin bisa dimanfaatkan menjadi simbol untuk mendapatkan dukungan emosional massa. Dukungan semacam itu tak jarang dicurigai bakal melahirkan massa yang tak terkendali atau radikalisme. Karena itu pula, menurut Guruh, dalam organisasi politik yang terus-menerus dilanda konflik seperti PDI, dibutuhkan pemersatu. ''Pemersatu tak harus orang yang berpengalaman dan andal dalam politik,'' katanya. Ia lantas menunjuk Cory Aquino. ''Sebelum menjadi presiden, apa yang ia tahu soal politik?'' katanya. Ia diangkat menjadi simbol pemersatu setelah kematian suaminya, yang ditembak lawan politiknya. Guruh juga menunjuk simbol pemersatu yang diperankan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam, yang naik takhta pada usia belasan tahun. Dia menjadi simbol pemersatu rakyat Brunei walau belum tahu banyak soal bagaimana memerintah negara ketika itu. Sebab, kata Guruh, dalam politik, yang diperlukan adalah dukungan massa. Bukan cuma pengalaman dan pengetahuan tentang politik yang dapat diandalkan. ''Apa gunanya cerdas dan piawai dalam berpolitik kalau tak didukung massa?'' kata Guruh. Untuk Bung Karno sendiri, Pemerintah telah mengukuhkannya sebagai pahlawan proklamator (1986) dan pahlawan kemerdekaan. Pada acara penganugerahan itu, lima anak Bung Karno yang dilahirkan di Istana Merdeka itu mendapat kesempatan diundang melihat tempat mereka dilahirkan dan tinggal 19 tahun sebelumnya mereka meninggalkan Istana Merdeka pada 1967. Selain itu, di tempat proklamasi kemerdekaan dibacakan, Pemerintah juga membangun monumen Bung Karno dan Bung Hatta, di Jalan Proklamasi, Jakarta. Nama Soekarno bersama Hatta juga diabadikan sebagai nama bandar udara internasional Cengkareng, Jakarta. Selain itu, makam Bung Karno di Blitar telah pula dipugar oleh Pemerintah. Kini, kata tokoh PDI Jawa Timur Marsoesi, banyak pula anak pejabat atau mantan pejabat yang terjun ke dunia politik, terutama di DPP Golkar. Tentunya, katanya, tampilnya anak-anak Bung Karno ke kancah politik sebenarnya merupakan hal yang biasa saja. Apalagi bila benar Pemerintah, seperti diucapkan Menteri Yogie Sabtu siang lalu, memang tak keberatan Megawati tampil sebagai Ketua PDI. Mungkin kekhawatiran akan adanya dukungan emosional terhadap nama itu sudah mulai surut. Apalagi, sebagian besar anak muda kurang mengenal dan memahaminya. Dan bayang-bayang nama besar Bung Karno itu mungkin tinggal diperlukan di PDI, yang relatif masih mempunyai ''hubungan primordial'' dengan almarhum. Setidaknya, masih ada sebagian massa yang menjadi pendukung emosionalnya. Dan Mega tampaknya memang diperlukan untuk menyatukan kubu- kubu yang ada dalam PDI itu dengan bayang-bayang nama almarhum ayahnya. Siapa tahu konflik yang ada di partai itu bisa dirujukkan oleh faktor-faktor yang tak rasional, yakni tampilnya pemimpin seperti Mega, anak Bung Karno itu. Sementara itu, Guntur, dalam waktu dekat, akan menggelar pameran lukisan dan foto koleksi Bung Karno yang disimpannya. Suatu kegiatan seni dalam bentuk lain yang disajikan oleh anak Bung Karno yang lain. Budiman S. Hartoyo, Linda Djalil, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Kelik M. Nugroho, dan Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus