Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Partai dengan sekat-sekat

Kubu yang mempunyai potensi berkonflik makin menonjol di PDI. ada unsur balas dendam, kepentingan pribadi, atau oportunistis. pertikaian tak pernah disebabkan perbedaan pandangan politik yang mendasar. cuma soal pimpinan.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES Luar Biasa Surabaya telah membuat peta PDI lebih bersekat-sekat. Ada beberapa kelompok yang bersitegang karena konflik pemimpin yang mereka ikuti. Kalau ketua umum yang terpilih di Surabaya itu tak mampu merangkul semua kubu, mungkin partai berlambang kepala banteng itu akan semakin tercabik-cabik. Sampai kongres Surabaya saja, paling tidak sudah kelihatan ada beberapa kelompok seperti Kelompok 17 di bawah Marsoesi, DPP PDI Peralihan Achmad Soebagio, DPP caretaker seperti Latief Pudjosakti, pendukung Megawati, pengikut Soerjadi dan Budi Hardjono. Belum lagi kelompok yang ''pindah-pindah'' jalur, mengikuti ke mana angin bertiup. Yang disebut terakhir ini nyata terlihat pada saat menjelang kongres Medan sampai akhir kongres Surabaya. Semula mereka adalah pendukung fanatik Soerjadi, kemudian gencar menggusur Soerjadi di Medan, menjagokan Budi Hardjono di awal kongres Surabaya, dan kemudian beralih ikut Megawati. Munculnya berbagai kelompok itu tentu akan mewarnai format PDI lima tahun mendatang. Bahkan bukannya tak mungkin beraneka kubu itu akan membuat PDI semakin tak mampu menyatukan diri kecuali di bawah pemimpin yang kuat dan diterima semua pihak. Kelompok pendukung Soerjadi di atas kertas memang kuat menjelang kongres Medan, bulan Juni lalu. Mereka adalah pengurus cabang (setingkat kabupaten) dan daerah (provinsi) yang diangkat semasa kepengurusan Soerjadi. Mereka juga merasa punya ''hubungan batin'' karena konsolidasi partai yang dilakukan Soerjadi cukup intensif. Sejak Orde Baru, hanya Soerjadilah ketua partai yang paling rajin mengunjungi pengurus semua daerah dan cabang, bahkan sampai beberapa kecamatan. Namun, ketika angin bertiup menerpa Soerjadi dalam kongres di Medan, sebagian pada menghindar. Soerjadi tak lagi dikehendaki Pemerintah untuk memimpin PDI. Maka, pemilihan yang dilakukan oleh pendukung yang masih setia di kongres itu pun dibatalkan. Adapun yang lainnya, beberapa saat sebelum pemilihan, bahkan sudah menyeberang dan ikut menggoyang Soerjadi. Tak kurang ''tangan kanan'' Soerjadi Alex Asmasoebrata (Jakarta) dan Latief Pudjosakti (Jawa Timur) termasuk di antara kelompok tersebut. Kubu lain yang diakomodasi ketika kongres Medan berlangsung adalah Kelompok 17 dan DPP Peralihan. Dua kelompok ini lahir semasa Soerjadi menjadi Ketua PDI (1986-1993). Sesuai dengan amanat Pemerintah untuk mengakhiri konflik berkepanjangan dalam tubuh PDI, Soerjadi pun mengambil langkah membersihkan para tokoh yang dianggapnya mempunyai jalur konflik di masa lalu. Bersama timnya, DPP yang ditunjuk Pemerintah, ia menerbitkan Surat Keputusan 059/1986, yang melarang jabatan rangkap anggota DPR dan Ketua DPD daerah, atau anggota DPRD dan pengurus cabang. Maksudnya, agar ketua partai benar-benar konsentrasi memikirkan partai di daerahnya, tidak cuma duduk-duduk di DPR Senayan atau kantor DPRD. Keputusan itu tentu mengakibatkan beberapa Ketua PDI daerah seperti Marsoesi (Jawa Timur), Dudy Singadilaga (Jawa Barat), Thaib Ali (Aceh), harus memilih salah satu. ''Bagaimana urusan organisasi lancar kalau ketua partai daerah lebih banyak berada di Jakarta?'' ujar Soerjadi saat itu. Tapi mereka mencoba bertahan untuk menduduki kedua-duanya dan melawan keputusan DPP itu. Apalagi mereka bisa pula menyerang balik dengan alasan: ada pula Ketua DPD Jakarta, Ipik Asmasoebrata, yang dibolehkan Soerjadi merangkap sebagai anggota DPR. Jawaban dari Soerjadi, Ipik tinggal di Jakarta hingga tak perlu mondar-mandir ke daerah untuk mengurus partai dan anggota DPR. Ini yang membedakan Ipik dengan Ketua PDI daerah lainnya. Namun, Soerjadi sulit berkelit dan dianggap tak konsisten ketika kemudian Soetardjo Soerjo Guritno, Ketua PDI Yogya, terpilih menjadi anggota DPR dan dibolehkan merangkap, sampai sekarang. Kubu anti Soerjadi pun bertambah setelah ia menerbitkan surat keputusan yang membatasi masa jabatan anggota DPR. Dengan alasan untuk mempercepat proses regenerasi, seorang anggota DPR hanya boleh berada di Senayan untuk dua periode atau 10 tahun saja. Yang terkena peraturan ini adalah tokoh senior seperti Palaoensoeka, Kemas Fachruddin, Yusuf Merukh, dan Achmad Soebagyo. Ketika diselenggarakan rapat pimpinan di Cisarua, Bogor, pada tahun 1988, Marsoesi, Dudy, Yusuf Merukh, dan kelompoknya melakukan kudeta. Dudy memproklamasikan diri sebagai ketua umum, Yusuf menjadi wakil ketua, dan Marsoesi sebagai sekjen. Dan daftar tokoh anti Soerjadi pun tambah panjang setelah mereka itu dipecat. Ketika itu, Pemerintah merestui langkah Soerjadi dan menganggap konflik itu cuma masalah intern partai, yang harus diselesaikan partai sendiri. Mereka yang terkena sanksi ini kian gencar menyerang pemimpin PDI. Ketika genap lima tahun memimpin PDI Soerjadi tak kunjung mengadakan kongres (1991), mereka pun menyerang lagi. Soerjadi dianggap melanggar konstitusi partai kongres setiap lima tahun. Tangkisan Soerjadi, agar DPP lebih matang mempersiapkan pemilu, maka kongres diadakan setelah pemilihan umum, 1993. Maka, Agustus 1991, Achmad Soebagyo membentuk DPP Peralihan, dengan anggota antara lain Nyonya Any Sunawar Sukowati dan Djon Pakan. Kelompok ini bahkan sempat menduduki markas DPP, sampai berbuntut kasus penculikan dua aktivis DPP Peralihan yang ramai di pengadilan itu. Setelah mereka di luar, DPP Soerjadi relatif bisa konsolidasi. Tokoh-tokoh baru dirangkul, seperti bankir Laksmana Sukardi, Guruh Sukarno Putra, dan Megawati Soekarnoputri. PDI di bawah Soerjadi juga mampu menarik simpati kaum muda, paling tidak pada masa kampanye. Perolehan kursi di DPR pun naik dengan meyakinkan. Dari 24 kursi (1981) naik menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987, dan menjadi 56 kursi tahun 1992. Seperti analisa sejumlah pengamat, bila langkah Soerjadi yang mendapat dukungan dari berbagai daerah itu dibiarkan, bisa-bisa PDI mengancam mayoritas tunggal Golkar. Maka, mereka pun lantas menghubung-hubungkan upaya mendongkel Soerjadi dari pucuk pimpinan PDI. Dan, berakhirlah Soerjadi di kongres Medan itu. Dari Medan pula kelompok-kelompok yang sebelumnya berada di ''luar kandang'' dibolehkan masuk oleh Pemerintah. Kelompok 17 dan DPP Peralihan justru dimanfaatkan pula untuk mendongkel Soerjadi. Sejak itu, peta kubu-kubu dalam PDI semakin jelas dan beranak-pinak. Kelompok DPP caretaker semula memang cuma mempersiapkan kongres luar biasa. Tapi Latief Pudjosakti belakangan disebut-sebut ingin pula menjadi pemimpin PDI. Bendera yang selalu dikibarkan, yang layak memimpin PDI adalah mereka yang berjasa menyelamatkan kongres Medan. Namun, kelompok ini tampaknya agak baur dengan mereka yang memang ingin mendukung jago Pemerintah, yakni Budi Hardjono, yang gagal terpilih di kongres Medan. Bahkan pendukung dari berbagai daerah dan cabang telah disiapkan oleh Pemerintah dengan berbagai cara, seperti meneken pernyataan sampai konferensi cabang yang serba diatur. Maka, Budi Hardjono pun yakin sebelum kongres bahwa ia akan mendapat dukungan luas karena semua sudah diatur dari daerah asalnya. Kecuali itu, Budi juga mencoba meyakinkan pendukungnya dengan membagi-bagikan buku Budi Hardjono Siap Mengemban Tugas Memimpin PDI, tampaknya banyak pendukung yang berbalik setelah kemunculan Megawati Soekarnoputri sebagai calon. Tampilnya putri kedua Bung Karno sebagai calon Ketua PDI tiga pekan lalu itu dengan cepat mengubah peta kelompok dalam PDI. Cabang-cabang yang belum sempat menyelenggarakan konferensi lantas menjagokan Mega. Bahkan, setiba mereka di Surabaya pun dengan serta-merta sebagian besar peserta beralih mendukung Mega sebagai calon ketua umum. Apalagi setelah Menteri Yogie S.M. menghadap Presiden Soeharto Sabtu siang dan menyatakan pencalonan Mega terserah floor. Keberanian menjagokan Megawati boleh dibilang merupakan suatu dinamika baru dalam kehidupan sosial politik, yang selama ini selalu mengikuti skenario yang disiapkan sebelumnya oleh Pemerintah. Dalam pentas kongres Surabaya itu, tampak keberanian untuk berbeda dengan pengarahan dari atas itu. Mega, selama kongres di Surabaya, memang tak menampilkan tokoh menonjol yang punya pendukung. Satu-satunya ''mahapatih'' yang mengawal Mega adalah Aberson Marle Sihaloho, tanpa adanya penggarapan atau lobi khusus. Mega kelihatannya mendapat dukungan emosional dari para pendukungnya, termasuk sebagian besar bekas pengikut Soerjadi. Bibit-bibit konflik pun mulai tertanam di kongres Surabaya itu. Marsoesi dari Kelompok 17, misalnya, terang-terangan menghadang Mega dengan ikut mendukung sistem pemilihan lewat formatur. Di balik dukungan itu, ia minta konsesi agar mendapat jatah sepertiga dari kepengurusan mendatang. Dari 21 pengurus DPP, katanya, cukup tujuh orang saja. Belum lagi kelompok DPP Peralihan yang dipimpin Achmad Soebagio, anggota DPA. Beberapa pengikutnya bahkan ikut aktif menggulingkan Soerjadi di Medan dan ''menunggu keberuntungan'' di Surabaya. Di samping ada kubu-kubu seperti itu, PDI tampaknya tak bisa bersih dari noda pertikaian masa lalu. Sejak fusi 1973, PDI selalu diwarnai perebutan pengaruh di antara tokoh utama pemimpin asal PNI, yakni Sanusi Hardjadinata, Usep Ranuwihardja, Sunawar Sukowati, dan Mh. Isnaeni. Kemudian, sejak kongres 1981, muncul Hardjanto Sumodisastro. Pertikaian di antara para pemimpin itu selalu disertai klaim bahwa masing- masing mempunyai pendukung di bawah. Artinya, perpecahan di pucuk pimpinan akan berdampak ke pengikutnya di daerah. Sampai sekarang pun, masih ada kesan adanya bekas-bekas pengikut para tokoh di masa lalu itu. Dari berbagai konflik itu, sebenarnya tak jelas betul apa perbedaan pendapat di antara kubu masing-masing. Tak ada yang mendasar selain perbedaan kepentingan pemimpin masing-masing yang ingin menguasai PDI. Dan angin ribut pun akan segera reda bila pemimpin partai itu berhasil menduduki kursinya dan diterima semua pihak. Sambil, tentu saja, menunggu kubu lain memupuk kekuatan untuk menggoyangnya.Ardian T. Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus