Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Jalur Kilat untuk Legasi

Pemerintah hendak menyelesaikan pelanggaran HAM berat lewat jalur non yudisial. Bisa mencuci pelaku.

3 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGGELAR rapat perdana Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu, pada Kamis pagi, 1 September lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. membeberkan alasan pembentukan tim itu. Mahfud menyatakan tim tersebut diperlukan untuk menyelesaikan 13 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Karena langkah yudisial tidak berjalan berpuluh-puluh tahun,” ujar mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, As’ad Said Ali, menirukan ucapan Mahfud kepada Tempo, Kamis, 1 September lalu. Menurut As’ad, Mahfud menyatakan proses hukum tetap berjalan meski Tim Non-Yudisial bekerja. “Jadi ada dua jalur, dan ini jalan cepat,” kata As’ad.

Selain As’ad, anggota Tim Non-Yudisial yang hadir dalam pertemuan daring dan luring itu adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Makarim Wibisono; mantan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo; serta mantan Ketua Komisi Nasional HAM, Ifdhal Kasim.

Ada juga mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat; mantan Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kiki Syahnakri; Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej; serta Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani.

Baca: Mengapa Pemaksaan Jilbab Terjadi di Berbagai Daerah

Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Presiden Joko Widodo mengumumkan pembentukan tim ini saat berpidato dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Selasa, 16 Agustus lalu. “Saya sudah meneken keppres-nya,” ujar Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah tahanan yang diduga dari Partai Komunis Indonesia ditangkap oleh RPKAD, di Jakarta, 1966. Dok. Perpustakaan Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat di kantor Kementerian Koordinator Politik juga membicarakan pencegahan kejahatan HAM berulang pada masa depan. Anggota Tim Non-Yudisial, Kiki Syahnakri, mengatakan salah satu cara mencegah keberulangan itu adalah memberikan pendidikan HAM kepada anggota TNI dan Kepolisian RI. Dengan begitu, personel Polri dan TNI bisa mengedepankan hak asasi saat bertugas.

As’ad dan Kiki menyatakan rapat juga membahas dana operasional Tim Non-Yudisial. Rencananya, mereka akan berkantor di Kementerian Koordinator Politik. Namun belum ada kepastian ihwal pembagian tugas.

Hingga Sabtu, 3 September lalu, isi keputusan presiden mengenai Tim Non-Yudisial belum benderang. Tenaga ahli utama Kantor Staf Kepresidenan, Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan keputusan presiden itu masih dalam tahap administrasi. “Bisa ditunggu sampai ada keterangan resmi tentang keppres tersebut,” tuturnya melalui pesan WhatsApp, Kamis, 1 September lalu.

Tak lama setelah pidato Jokowi tentang pembentukan Tim Non-Yudisial, beredar rancangan keputusan presiden. Salah satu isinya adalah ihwal tiga tugas utama Tim Non-Yudisial. Mereka bertugas menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, memulihkan korban dan keluarganya, serta mencegah keberulangan pelanggaran HAM berat.

Draf itu juga menyebutkan berbagai bentuk rekomendasi pemulihan. Di antaranya rehabilitasi fisik, pemberian bantuan sosial, jaminan kesehatan, dan beasiswa, serta rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Melalui keterangan pers pada Jumat, 19 Agustus lalu, Menteri Koordinator Politik Mahfud Md. menyebutkan pembentukan Tim Non-Yudisial bertujuan mempercepat penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Ia menyatakan jalur non-yudisial ditempuh untuk menggantikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Saat ini, pemerintah masih menggodok draf Undang-Undang KKR. Pada 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh isi Undang-Undang KKR karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Kalau menunggu KKR jadi undang-undang, (penyelesaian kasus HAM berat) tidak jadi-jadi,” ujar Mahfud.

Adapun As’ad Said Ali mengatakan Tim Non-Yudisial bisa menuntaskan janji Presiden Jokowi pada kampanye pemilihan presiden 2014. Jokowi berjanji menuntaskan pelanggaran HAM berat. As’ad menilai penyelesaian kasus HAM berat bisa menjadi warisan atau legasi pemerintahan Jokowi. “Iya (legasi), karena harus ada sesuatu yang diberikan,” katanya.

Baca: Cerita Korban Pemaksaan Jilbab Menghadapi Trauma

•••

PEMBENTUKAN Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu tak lepas dari peran Mahfud Md. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu melobi berbagai tokoh agar mau bergabung dengan tim tersebut.

Bekas Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kiki Syahnakri, mengatakan Mahfud memintanya langsung untuk bergabung. Kiki menyatakan siap diberi tugas meski namanya disorot karena masuk dakwaan Serious Crimes Unit, lembaga ad hoc Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada 1999.

Kiki yang saat itu menjabat Panglima Penguasa Darurat Militer Timor Timur mengklaim berusaha mencegah kekerasan. “Lucu kalau saya dipersoalkan karena pernah menjadi panglima darurat militer,” ucapnya.

Adapun As’ad dihubungi oleh Mahfud pada awal Agustus lalu untuk bergabung karena berpengalaman sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Negara dan Wakil Ketua Umum Nahdlatul Ulama. Mahfud juga menyinggung peran As’ad dalam penyelesaian konflik di Poso, Sulawesi Tengah. “Setelah itu, utusan Pak Mahfud datang ke kantor saya,” kata As’ad.

Demonstran yang ditangkap oleh TNI di Semanggi, Jakarta, November 1998. Dok. TEMPO/Donny Metri

Mahfud juga mengontak sejumlah tokoh lain, seperti Jaksa Agung periode 1999-2001, Marzuki Darusman, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Marzuki bercerita, ia diajak berdiskusi oleh Mahfud tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial sejak 2021.

Menurut Marzuki, Mahfud menyatakan langkah pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM berat terganjal oleh ketiadaan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. “Beliau memikirkan cara non-yudisial sebagai salah satu alternatif penyelesaian,” tuturnya, Kamis, 25 Agustus lalu.

Satu setengah tahun perbincangan itu dilakukan, Marzuki diajak bergabung ke Tim Non-Yudisial. Tapi pada Selasa, 9 Agustus lalu, dia menolak dan memilih membantu dari luar.

Baca Opini Tempo: Cuci Dosa Pelanggar HAM Berat

Adapun Usman dihubungi oleh Mahfud pada Senin, 8 Agustus lalu. Kepada Usman, Mahfud mengatakan Presiden ingin memenuhi janji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat untuk menyambut peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2022. Caranya adalah jalur yudisial melalui Komisi Nasional HAM dan Kejaksaan Agung serta jalur non-yudisial dengan pembentukan tim khusus.

Usman mengajukan sejumlah permintaan kepada Mahfud. Ia meminta rancangan Keputusan Presiden tentang Tim Non-Yudisial serta meminta ada keppres lain, antara lain tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Usman juga meminta waktu berkoordinasi dengan Amnesty International karena lembaga itu tak lumrah bekerja sama dengan pemerintah.

Berselang sehari, Usman menyatakan tak bisa bergabung dengan tim. Pesan Usman baru dibalas oleh Mahfud dua hari kemudian. “Saya paham, dan untuk memberikan fungsi kontrol dan keberimbangan,” ujar Usman membacakan pesan WhatsApp dari Mahfud.

•••

JAUH sebelum Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu dibentuk, pemerintahan Joko Widodo membentuk Komite Pengungkapan Kebenaran pada pertengahan 2015. Komite itu bertujuan mengusut enam kasus HAM berat, antara lain peristiwa 1965 serta tragedi Semanggi dan Trisakti. Namun tim itu tak terlihat jejaknya.

Pada awal 2017, muncul gagasan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Mengklaim pembentukan itu disetujui oleh Presiden, Wiranto menyatakan Dewan tersebut bertujuan menyelesaikan perkara HAM berat. Nama Wiranto kerap disebut dalam kasus HAM berat di Timor Timur. Namun ia selalu membantah terlibat.

Maria Katarina Sumarsih, ibu Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam tragedi Semanggi I pada 1998, mengatakan Dewan Kerukunan Nasional kemudian diputuskan tidak menangani kasus HAM berat masa lalu.

“Untuk menangani konflik horizontal,” kata Sumarsih pada Kamis, 1 September lalu. Menurut Sumarsih, perubahan itu dicetuskan Wiranto setelah para korban yang tergabung dalam Aksi Kamisan menemui Presiden Jokowi pada Mei 2018.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Dewan Kerukunan bertujuan menuntaskan masalah HAM berat dengan cara musyawarah. Karena itu, Komnas HAM tak pernah mau ikut dalam rapat-rapat yang diadakan oleh Wiranto. “Itu ngawur, dan saya tak pernah ikut dalam pertemuan lanjutannya,” ujar Taufan kepada Tempo, Rabu, 31 Agustus lalu.

Dewan Kerukunan pun lenyap setelah Wiranto tak menjabat Menteri Koordinator Politik pada Oktober 2019. Pada Maret 2021, muncul Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat. Sejumlah kalangan, termasuk Komnas HAM, mengkritik rancangan peraturan presiden itu.

Ahmad Taufan Damanik mengatakan draf tersebut tak melibatkan korban pelanggaran HAM dan masyarakat sipil. Menurut dia, saat itu sempat muncul wacana pembuatan peraturan presiden untuk menyelesaikan kemandekan penyelesaian kasus HAM berat. “Kami dilibatkan dalam diskusi dengan pemerintah pada 2020,” ucap Taufan.

Diskusi itu melibatkan banyak pejabat, seperti Menteri Koordinator Politik Mahfud Md., Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Taufan mendukung wacana itu karena proses hukum bisa tetap berjalan meskipun pemerintah menggunakan cara non-yudisial.

Selain itu, ada kesepakatan bahwa pengungkapan kebenaran dilakukan dengan menggunakan hasil penyelidikan Komnas HAM. “Kalau tidak, saya akan komplain,” kata Taufan.

Meski Tim Non-Yudisial belum aktif bekerja, pemerintah diam-diam mendekati keluarga korban pelanggaran HAM berat. Seorang pejabat yang mengetahui pendekatan itu mengatakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, ikut memberi informasi ihwal rencana pembentukan Tim Non-Yudisial. Tujuannya agar keluarga korban lebih mudah menerima.

Ditemui Tempo di rumahnya pada Rabu, 31 Agustus lalu, Sidarto menampik jika disebut ikut melobi keluarga korban. “Saya enggak ikutan,” ujarnya. Namun politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mendukung pembentukan Tim Non-Yudisial agar korban dan keluarganya bisa mendapat keadilan.

Pada April dan Mei lalu, pemerintah memberikan bantuan rumah dan uang masing-masing Rp 750 juta untuk empat keluarga korban tragedi Trisakti. Pemberian bantuan itu awalnya digagas oleh politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, beserta aktivis 1998. Melalui siaran pers, Adian bercerita, pemberian bantuan itu diawali dari pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo pada 2018.

Tiga tahun kemudian, atau pada 2021, Adian kembali membuka pembicaraan soal bantuan rumah bagi keluarga korban pelanggaran HAM berat kepada koleganya di Dewan Perwakilan Rakyat. Adian juga berkomunikasi dengan seorang anggota staf khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pada awal 2022.

Unjuk rasa Pemuda Wamena menuntut agar pemerintah menarik Tentara Nasional Indonesia dari Papua di depan Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, April 2003. Dok. TEMPO/Wahyu Setiawan

Belakangan, Erick Thohir, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto patungan memberi bantuan. “Ini lebih pada persoalan kemanusiaan, dan bukanlah upaya untuk meniadakan pengusutan,” tutur Adian.

Cara non-yudisial yang digunakan pemerintah disikapi berbeda oleh keluarga korban pelanggaran HAM berat. Paian Siahaan, ayah Ucok Munandar Siahaan, mahasiswa Perbanas korban penculikan aktivis 1998, bercerita, ia mendapat informasi pembentukan Tim Non-Yudisial dari grup WhatsApp Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia pada awal Agustus lalu. Informasi itu disampaikan oleh perwakilan Kantor Staf Kepresidenan.

Paian mendukung rencana itu karena penanganan kasus putranya tak kunjung menemui titik terang. Padahal Paian sudah berusia 75 tahun dan istrinya, Damaris Hutabarat, mengalami sakit berat. Ia juga setuju dengan konsep kompensasi yang bisa diberikan kepada keluarga korban. “Kami, kehilangan anak, terkena dampak fisik, dan terguncang secara ekonomi,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis, 1 Agustus lalu.

Adapun ibu Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I, Maria Katarina Sumarsih, mengatakan pilihan penyelesaian kasus HAM berat secara non-yudisial memecah kekompakan keluarga korban. Mereka yang awalnya ingin penuntasan kasus secara hukum, belakangan tak mempermasalahkan jalur non-yudisial.

Sumarsih berharap kasus yang menewaskan putranya dibawa ke pengadilan. Ia tak akan mengikuti penyelesaian melalui Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. “Karena penyelesaian non-yudisial berpotensi memutihkan pelaku pelanggaran HAM berat,” katanya.

BUDIARTI UTAMI PUTRI, RAYMUNDUS RIKANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus