Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Timbul-Tenggelam Komisi Kebenaran

Pemerintah berencana menghidupkan lagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Belum ada langkah nyata di Dewan Perwakilan Rakyat.

3 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA membangkitkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Selasa, 16 Agustus lalu. Presiden mengklaim sedang menyiapkan payung hukum baru KKR. “Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan,” kata Jokowi.

Indonesia pernah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun undang-undang ini ditolak korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya lantaran bisa memberi impunitas bagi pelaku. Salah satu ketentuan dalam aturan itu menyebutkan pelaku yang meminta maaf berhak mendapatkan amnesti. Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang itu pada 2006.

Rencana menghidupkan lagi KKR juga terlihat setelah Jokowi bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. di Istana Kepresidenan, Desember 2019. Mahfud berkata kepala negara ingin RUU KKR segera dimatangkan. Ia lantas berkontak dengan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Mualimin Abdi untuk menyiapkan rancangan itu.

Koordinator Humas Kementerian Hukum dan HAM, Tubagus Erif Fathurahman, menuturkan, perwakilan lembaganya mulai mengikuti sejumlah rapat yang digelar Mahfud pada awal tahun ini. Namun nasib RUU KKR tak kunjung terang. “RUU KKR masih menunggu keputusan dari Polhukam apakah akan disusun atau tidak,” kata Erif kepada Tempo, Jumat, 2 September lalu.

Mahfud Md. dan Mualimin Abdi tak menanggapi permintaan wawancara. Dalam keterangan video pada Kamis, 18 Agustus lalu, Mahfud mengatakan proses pembuatan payung hukum KKR bisa memakan waktu. Ia mengakui itu salah satu sebab pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Pentingnya Undang-Undang KKR pernah disampaikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, saat dua kali menemui Mahfud. Kepada Mahfud, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan aturan tersebut harus ada agar pemerintah bisa memfasilitasi upaya pemulihan korban HAM berat masa lalu.

Sidarto yang kerap berdiskusi dengan korban peristiwa 1965 mengatakan langkah pemulihan itu harus segera direalisasi. Sebab, kebanyakan korban dan keluarganya telah meninggal. “Yang bisa dilakukan adalah rehabilitasi dan memberi mereka kompensasi,” ucap mantan Ketua Panitia Khusus RUU KKR itu.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari NasDem, Taufik Basari, mengatakan fraksinya sempat berniat mengajukan RUU KKR masuk Program Legislasi Nasional 2020-2024. Namun ia urung maju lantaran pemerintah mengusulkan hal serupa. Rancangan Undang-Undang KKR akhirnya masuk daftar RUU kumulatif terbuka.

Meski tak masuk Prolegnas, RUU ini bisa sewaktu-waktu dibahas jika Presiden atau DPR mengajukannya. “Jika pemerintah mengajukan, kemungkinan besar DPR tidak banyak menolak,” tutur Taufik Basari.

Dalam menyusun RUU KKR, pemerintah juga berdiskusi dengan sejumlah pegiat hak asasi manusia. Ketua Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Tioria Pretty, mengatakan lembaganya menerima undangan diskusi kelompok terfokus dari Kementerian Hukum yang akan diadakan pada Senin, 5 September 2022.

Tioria menyatakan bakal memberi sejumlah masukan mengenai RUU KKR. Di antaranya korban pelanggaran HAM harus dilibatkan sedari awal. Komisi Kebenaran juga harus mendapat dukungan politik yang kuat agar kerjanya tak dihalang-halangi institusi lain, mendapat dukungan anggaran, dan berwenang mempublikasikan laporan.

“Kita perlu belajar dari hilangnya laporan kasus Munir,” ujar Tioria. Pada 2016, laporan Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia, diketahui hilang. Sekretariat Negara, anehnya, menyatakan tak memiliki dokumen tersebut.

Maria Catarina Sumarsih, ibu Bernardus Realino Norma Irmawan, korban peristiwa Semanggi I, berharap peristiwa yang menewaskan putranya tersebut tetap dibawa ke pengadilan. Menurut dia, keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak boleh mengingkari keadilan bagi korban. “Adil itu tidak bisa dinilai dengan materi,” kata Sumarsih.

RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus