Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Atas Nama Abang dan Harley-Davidson

Persidangan Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan menguak ketidakberesan izin pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 2011. Menggunakan direktur “boneka”, Zainudin diduga menyamarkan penerimaan dari perusahaan tambang batu bara yang mendapat izin tersebut. Pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam disebut dalam surat tuntutan.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Atas Nama Abang dan Harley-Davidson/ANTARA/Ardiansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI udara, puluhan lubang bekas tambang batu bara itu seperti telaga yang meriung. Air berwarna cokelat menggenanginya. Terletak di tepi kawasan hutan di Desa Serongga, Kotabaru, Kalimantan Selatan, vegetasi di sekitar lubang bekas tambang milik PT Baramega Citra Mulia Persada itu sudah dikupas. Jejak penambangan juga terlihat dari hamparan serpihan batu bara di tepi lubang tambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Atas Nama Abang dan Harley-Davidson/Dok./AURIGA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penambangan PT Baramega kini merangsek ke tengah hutan. Menurut Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Selatan Isharwanto, PT Baramega mendapat kuota produksi batu bara 598 ribu ton selama Januari-Februari tahun ini. Dari 93 perusahaan batu bara yang beroperasi di Kalimantan Selatan, kuota PT Baramega itu yang terbesar kedua—di bawah PT Bhumi Rantau Energi, yang mendapat jatah 1,6 juta ton. “Baramega sudah lama mendapatkan izin menambang,” ujar Isharwanto, Rabu, 3 April lalu.

Izin usaha pertambangan operasi produksi PT Baramega dikeluarkan Bupati Kotabaru pada 2010. Luas konsesinya mencapai 4.341 hektare. Rupanya, sebagian lahan, seluas 490,56 hektare, masuk kawasan hutan produksi terbatas, yang awalnya dikelola PT Kodeco Timber. Pada tahun itu, PT Baramega pun mengajukan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk mengeksploitasi batu bara di lahan yang beririsan dengan hutan produksi terbatas ke Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang kini Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional.

Melalui surat nomor S.570/Menhut-VII/2010 tertanggal 8 November 2010 perihal persetujuan prinsip, Zulkifli Hasan menjawab permohonan PT Baramega. Surat ini disusul dengan keluarnya izin pinjam pakai kawasan hutan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.06/Menhut-II/2011 tertanggal 17 Januari 2011. Berdasarkan surat tersebut, PT Baramega bisa mengeruk batu bara di hutan yang terhampar di Kecamatan Kelumpang Hilir itu selama 15 tahun.

Delapan tahun kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi menyingkap keganjilan dalam penerbitan izin tersebut. Izin keluar tiga hari setelah terjadi perubahan komposisi kepemilikan di PT Baramega. Pemegang saham perusahaan ini antara lain Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Samsudin, yang memiliki 449 lembar saham senilai Rp 224,5 juta, dan PT Citra Mineral, yang memiliki 825 lembar saham senilai Rp 412,5 juta, dari total 1.668 lembar saham. Di PT Citra Mineral, Haji Samsudin juga tercatat sebagai pemegang saham.

PT Borneo Lintas Khatulistiwa menjadi pemegang 168 lembar saham senilai Rp 84 juta. Jumlah saham Haji Samsudin—yang juga dikenal dengan nama Haji Isam—PT Citra Mineral, dan dua pemegang saham lain tak berubah. PT Baramega mengeluarkan saham baru khusus untuk PT Borneo. Dalam surat tuntutan terdakwa Zainudin Hasan, Bupati Lampung Selatan yang juga adik Zulkifli Hasan, yang dibacakan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang, Lampung, pada Senin, 1 April lalu, PT Borneo disebut dikendalikan Zainudin meski namanya tak tercatat di akta perusahaan.

Atas Nama Abang dan Harley-Davidson/Dok. TEMPO/Dwianto Wibowo

Zainudin mengatur penempatan orang-orangnya di PT Borneo di sebuah restoran di mal Pacific Place di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta, pada akhir Oktober 2010. Sarjono, sopir pribadi Zainudin, bercerita bahwa ia tergopoh-gopoh datang ke Pacific Place begitu Zainudin mengontaknya. Sesampai di sana, ia diminta menyerahkan salinan kartu tanda penduduknya dan meneken sejumlah dokumen di sebuah restoran.

Di Pacific Place, Sarjono melihat pegawai Zainudin bernama Sudarman diminta melakukan hal serupa. “Saat menyerahkan KTP, saya enggak tanya untuk apa karena yakin Pak Haji (Zainudin) enggak bakal jerumusin anak buahnya,” ujar Sarjono di Bandar Lampung pada 18 Maret lalu. Sebagaimana Sarjono, Sudarman mengatakan ia menyerahkan salinan KTP dan meneken dokumen karena disuruh Zainudin.

Sarjono baru tahu bahwa dokumen tersebut adalah kelengkapan untuk perubahan akta PT Borneo Lintas Khatulistiwa dan PT Ariatama Sukses Mandiri ketika ia diperiksa KPK pada Oktober 2018. Sarjono dipanggil sebagai saksi untuk Zainudin, yang ditangkap komisi antikorupsi pada akhir Juli 2018 karena menerima suap proyek pembangunan jalan di Lampung Selatan.

Tidak hanya dari pembangunan jalan, Zainudin juga dituduh menerima suap sekitar Rp 72 miliar dari berbagai proyek di Lampung Selatan selama dua tahun menjabat bupati, sejak 2016 hingga 2018. Menurut KPK, Zainudin juga menikmati keuntungan dari perusahaan yang dikelolanya menggunakan nama orang lain sebesar Rp 27 miliar dan menerima gratifikasi Rp 7,1 miliar. Pertanyaan penyidik kepada Sarjono tentang PT Borneo dan PT Ariatama terkait dengan gratifikasi tersebut.

Di PT Borneo dan PT Ariatama, Sarjono menjabat sebagai komisaris, sedangkan Sudarman direktur. Keduanya tercatat sebagai pemilik saham, tapi tidak mengetahui penyetoran modalnya. Di PT Ariatama, misalnya, Sarjono tercatat mempunyai 5.999 lembar saham senilai Rp 599,9 juta. Sedangkan Sudarman hanya memiliki selembar saham senilai Rp 100 ribu di PT Borneo dan PT Ariatama. Sebagai pemilik saham, mereka mengaku tak mengetahui aktivitas perusahaan.

Dalam akta, perubahan komposisi saham PT Borneo terjadi lima hari sebelum persetujuan prinsip terhadap permohonan PT Baramega Citra Mulia Persada diterbitkan Menteri Zulkifli Hasan, kakak Zainudin. Berikutnya, ketika izin pinjam kawasan hutan hampir turun pada Januari 2011, PT Borneo menjadi salah satu pemegang saham PT Baramega. Belakangan, saham PT Borneo di PT Baramega berlipat menjadi 12.740 lembar senilai Rp 6,37 miliar.

Setelah izin pinjam pakai kawasan hutan terbit, Zainudin menempatkan orangnya di PT Baramega. Kali itu, Zainudin menghubungi Gatoet Soeseno, dokter yang dikenalnya sejak 2004. Ketika diminta duduk sebagai komisaris di Baramega, “Saya langsung mengiyakan,” kata Gatoet dalam persidangan pada 25 Maret lalu.

Gatoet pun menyerahkan salinan kartu penduduknya kepada Zainudin. Sudarman, orang kepercayaan Zainudin yang menjadi “direktur” di PT Borneo, meminta nomor rekening beserta kartu anjungan tunai mandiri Gatoet yang jarang dipakai bertransaksi. Lantaran hanya punya sebuah rekening, Gatoet pun membuat rekening lain di Bank Mandiri pada 12 September 2011 untuk memenuhi permintaan Sudarman.

Setelah jadi, kartu ATM dan rekening bernomor 1010006541XXX diserahkan kepada Sudarman. “Karena itu permintaan Pak Zainudin,” ujar dokter yang bertugas di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta ini. “Saya sama sekali tidak pernah menggunakan kartu ATM tersebut.”

Dua bulan kemudian, Gatoet menjadi Komisaris PT Baramega. Tapi, hingga digeser dari posisinya sebagai komisaris di perusahaan tersebut pada 7 September tahun lalu—setelah Zainudin ditangkap—Gatoet tak pernah mengikuti rapat dan tak mengetahui aktivitas perusahaan. Ia baru mengetahui rekeningnya yang diserahkan kepada Sudarman mendapat dana Rp 103 juta tiap bulan ketika membayar pajak pada akhir 2013.

Tak pernah Gatoet nikmati, duit tersebut adalah gajinya sebagai komisaris. Duit itu bersumber dari PT Baramega sebanyak Rp 65,5 juta dan dari PT Jhonlin Baratama sebesar Rp 37,5 juta. Dalam surat tuntutan terdakwa Zainudin, sebagaimana tercatat dalam akta perusahaan, kedua perusahaan itu disebut terafiliasi dengan Haji Isam, pemilik Jhonlin Group.

Hingga Gatoet tak lagi menjadi komisaris, duit yang ditampung di rekening tersebut diperkirakan mencapai Rp 7,5 miliar. Tapi, lantaran Zainudin menjadi penyelenggara negara sejak menjabat Bupati Lampung Selatan pada 29 Februari 2016 hingga ditangkap pada akhir Juli 2018, KPK hanya menghitung Zainudin menerima gratifikasi dari PT Baramega dan PT Jhonlin Rp 3,16 miliar. “Transaksi disamarkan sebagai gaji komisaris,” seperti tertulis dalam surat tuntutan.

Oleh Zainudin, secara bertahap duit di rekening Gatoet ditransfer ke rekening Sudarman. Rekening terakhir ini kemudian dipakai Zainudin untuk membayar sebuah Harley-Davidson, sebuah Toyota Vellfire, dan dua Mitsubishi Xpander. “Sebagian besar untuk Pak Zainudin dan keluarganya,” kata Sudarman ihwal duit di rekeningnya.

Atas izin pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan Zulkifli Hasan, Zainudin mendapat keuntungan lain. PT Mitra Buana Bahari, perusahaan transportasi laut yang didirikan Zainudin, menjadi pengangkut batu bara produksi Jhonlin Group. Direktur Utama PT Jhonlin Marine, Ken Laksono, mengatakan perusahaannya berkongsi dengan PT Mitra Buana karena kekurangan kapal untuk mengangkut batu bara dari Pelabuhan Batulicin ke kapal besar di tengah laut. “Kami sewa tiga kapal,” ujarnya.

Atas Nama Abang dan Harley-Davidson

Zainudin menyanggah mendapat keuntungan dari PT Baramega dan PT Jhonlin sehubungan dengan izin yang dikeluarkan abangnya untuk PT Baramega. Ihwal menaruh pegawai dan koleganya di perusahaan-perusahaan yang dikendalikannya, Zainudin mengatakan itu semata-mata karena dia mempercayai mereka. “Orang dekat saya, tidak ada maksud lain,” ucapnya.

Meski menyebut segala penerimaan Zainudin dari PT Baramega dan PT Jhonlin sebagai gratifikasi, dalam surat tuntutan, jaksa menyebutkan sebenarnya Zainudin menerima keuntungan tersebut, “On behalf Zulkifli Hasan.”

Zulkifli Hasan menolak menjawab pertanyaan tentang izin pinjam pakai kawasan hutan yang diterbitkannya untuk PT Baramega, yang kini dipersoalkan KPK. “Enggak boleh tanya itu. Saya Ketua MPR sekarang,” kata Zulkifli, yang selama menjabat Menteri Kehutanan menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 240 ribu hektare untuk berbagai perusahaan.

Ia pun enggan menanggapi tuduhan komisi antikorupsi, yang menyebutkan keuntungan yang diterima adiknya dari PT Baramega dan PT Jhonlin sebenarnya atas namanya. “Nanti, deh,” ujarnya. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara mengenai tudingan tersebut ke kantor Zulkifli di MPR, tapi tak mendapat tanggapan.

Haji Samsudin alias Haji Isam, pemilik PT Baramega dan PT Jhonlin, juga menampik menjelaskan perkara yang menyeret namanya. “Waduh, maaf, aku enggak mau cerita,” katanya pada Kamis, 21 Maret lalu. Surat permohonan wawancara yang dikirimkan ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru pun tak direspons. Chief Executive Officer Jhonlin Group Ghimoyo mengaku tak mengetahui kasus tersebut. “Sama sekali enggak ngerti aku.”

Di Tanjung Karang, persidangan Zainudin sudah di ujung. Zainudin dituntut 15 tahun penjara dan mesti membayar uang pengganti korupsi Rp 66,7 miliar. KPK menyatakan tak akan berhenti pada Zainudin. Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, lembaganya akan memeriksa orang-orang yang mengetahui ketidakberesan izin pinjam pakai kawasan hutan PT Baramega. “Untuk pengembangan kasus, setiap orang yang diduga terlibat pasti akan dimintai keterangan,” ujarnya.

Hussein Abri Dongoran, Devy Ernis, Rosseno Aji

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus