Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada sebuah ruang kelas yang tak terlalu riuh, Selasa pekan lalu, jari-jemari Sulhan, 8 tahun, dan Najma Azkiya Dewi, 7 tahun, menari lincah di udara. Dalam sekian detik, begitu aba-aba mencongak berhenti dari sang guru, mulut mungil mereka menyerukan satu jumlah angka, hasil dari proses penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Teknik berhitung dengan memakai jemari tangan bukan hal baru bagi para siswa kelas dua Sekolah Dasar Islam Ter-padu Al-Kamil, Sukatani, Depok, Jawa Barat. Sudah setahun terakhir, guru mereka mengajarkan menghitung dengan- jari ketika harus melahap soal-soal matematika. Menurut Wan Hermiwati, salah satu guru, metode ini dikenal sebagai jarimatika. ”Metode ini mudah diterima anak. Praktis karena tak perlu alat,” kata Wan.
Semula, Wan menggunakan metode konvensional ketika mengajar matematika kelas 1 SD. Namun, cara berhitung konvensional itu dinilainya kurang berhasil membantu anak belajar berhitung dengan cepat.
Suatu hari, di tengah upayanya men-cari metode belajar yang tepat bagi murid-nya, seorang wali murid menyo-dorkan buku tentang jarimatika. Buku itu dipelajarinya. Dalam sepekan, Wan melatih jari-jemarinya agar luwes digu-nakan berhitung ala jarimatika sesuai dengan apa kata buku. Hasilnya? ”Le-bih mudah dan lebih cepat berhitung,” ujarnya.
Agar lebih terampil, Wan mengontak Septi Peni Wulandari, 32 tahun, si pe-nulis buku yang juga penggagas metode ini. Atas izin sekolah, Wan meminta- Septi- melatih dia bersama sejumlah gu-ru. Setelah terampil, ilmu menghitung dengan jari-jemari itu pun diajarkan ke murid-murid.
Sekilas cara berhitung jarimatika ini mirip swipoa alias mental aritmatika. Dalam metode swipoa, anak-anak berhitung dengan menggunakan alat bantu soroban atau swipoa. Alat hitung tradi-sional Cina kuno atau Jepang itu ber-upa kotak segi empat berisi manik-manik dalam jumlah tertentu.
Manik-manik itu bernilai satuan dan pu-luhan secara terpisah. Siapa saja yang mempelajarinya dapat menghitung dengan memakai pergerakan biji swipoa dan bisa menghitung cepat.
Dalam metode jarimatika, jari-jemari tangan tak ubahnya biji swipoa. Kelima jari tangan kanan mewakili nilai satuan, sedangkan yang kiri bernilai puluh-an. Telunjuk tangan kanan bernilai 1, 2 ketika ditambah jari tengah, dan menjadi 4 ketika jari telunjuk hingga kelingking tangan kanan ditunjukkan.
Angka 5 cukup diwakili jempol tangan- kanan. Angka 6 diwakili jempol dan telunjuk tangan kanan, dan terus ber-tambah menjadi 9 ketika kelima jari tangan kanan dibentangkan.
Pola serupa juga digunakan untuk nilai puluhan di jari tangan kiri, sehingga angka 55, misalnya, diwakili dengan acungan dua ibu jari kanan dan kiri. Angka 99 diwakili dengan 10 jari (lihat gambar).
Septi menciptakan metode jarimati-ka pada 2000. Semula, ibu ru-mah tangga dengan tiga anak ini kebingungan membantu anaknya yang baru memasuki SD untuk belajar matematika. Banyak kursus menawarkan metode berhitung cepat bagi anak, salah satunya swipoa. Namun, Septi merasa metode ini kurang efektif karena membuat anaknya bergantung pada alat peraga. Ia juga tak menggunakan metode kumon yang dianggap kurang memberi ruang cukup bagi komunikasi antara pengajar dan murid.
Ia hanya mengambil kisah sukses To-ru- Kumon, guru matematika SMU di Jepang yang berhasil menyusun metode pembelajaran matematika bagi anaknya, Takeshi, pada 1954 sebagai inspirasi. Septi lalu mempelajari semua metode berhitung. Logika aritmatika swipoa diutak-atiknya dengan menggerakkan jari-jari tangan. Tak lupa ia meniru disiplin berlatih yang ditekankan dalam metode kumon.
Berbagai rumus penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dipadukan. Ketika jurus ”campur sari” itu diterapkan, ternyata sukses. ”Dengan cara itu, daya tangkap anak saya semakin oke dalam pelajaran matematika,” ujarnya.
Kesuksesan Septi lekas menjalar dari mulut ke mulut. Berawal dari permintaan para tetangga untuk mengajari anak-anak mereka berhitung cepat, sampai akhirnya ke khalayak luas. Tak kuasa membendung permintaan, warga Depok Timur ini terpaksa menggelar kursus jarimatika di rumahnya.
Belakangan, yang meminta kursus bukan lagi anak-anak, tapi juga orang tua. ”Saya terpaksa membuat lembaga pelatihan,” kata lulusan Diploma 3 Kese-hatan Masyarakat Universitas Diponegoro 1995 ini. Pesertanya para orang tua dan guru.
Untuk melengkapi pelatihan, Septi membukukan catatan-catatan eksperi-men jarimatikanya. Ketika bukunya diterbitkan pada April 2005, Septi seper-ti mengikuti jejak Toru Kumon yang metode pengajarannya kini menyebar di 45 negara di dunia, termasuk Indonesia.
Permintaan kursus dan pelatihan -me-ng-alir deras ke alamat surat elektro-nik-nya. Perempuan asal Salatiga itu lalu mengembangkan metodenya- dengan- sistem waralaba. Dua unit lemba-ga pe-latih-an didirikan di Bekasi dan Jakarta Selatan. Mereka yang ingin mendirikan unit pelatihan harus dilatih dulu oleh tim yang dibentuknya.
Meski bagus dan tergolong manjur- mengobati anak-anak dari fobia ma-te-matika, jarimatika Septi tak terla-lu mulus diterapkan di kelas seba-gai metode pembelajaran matematika. Menurut Rini Astuti, Kepala SD Islam Terpadu Al-Kamil, padatnya materi pembelajar-an matematika seperti yang ditekankan kurikulum belum bisa dikompromikan dengan metode jarimatika yang membutuhkan banyak waktu pengajaran dan latihan. ”Tidak mungkin tiga bulan hanya melatih penambahan dan pengurangan, atau enam bulan untuk aritmatika saja,” ujarnya.
Selain waktu mepet, jumlah guru yang tergolong ”mahir” menggunakan metode ini amatlah sedikit. Lantaran tak efektif, Rini terpaksa tak meneruskan pengajaran metode itu kepada anak-anak kelas satu. ”Padahal, metode ini membuat anak cepat dan mudah belajar matematika,” ujarnya. Ia kini te-ngah mencari cara agar metode ini diajarkan saja dalam bentuk ekstrakurikuler, layak-nya metode swipoa dan matematika lainnya.
Agar penerapan metode jarimatika ini mulus, Septi menjelaskan, ada sejumlah persyaratan yang harus ditaati. Antara lain, sudah matangnya pemahaman anak terhadap konsep angka dan bila-ng-an. Begitu ia paham, langsung diajari jalan cepatnya.
Septi mengakui banyak orang tua dan anak yang ingin serba cepat. Diajari se-ben-tar, berlatih beberapa kali, langsung bisa. Cara seperti ini tak mungkin dilakukan karena berhitung adalah mem-ba-ngun nalar. Dan berhitung hanya bisa di-bentuk dengan ketekunan berla-tih meng-gerakkan jari dan menyelesai-kan soal.
Septi mengakui kreativitas guru da-lam mengajarkan metode ini amat me-nentukan. Sering kali anak-anak jen-uh ji-ka metode pengajarannya itu-itu sa-ja. ”Me-tode jarimatika mudah diterima jika dilakukan dengan kegembira-an,” ujar-nya.
Praktisi pendidikan Prihanti Handayani setuju pembelajaran matematika bagi anak-anak SD dilakukan dengan permainan. Menurut guru SD Al-Izhar, Pondok Labu, ini, usia SD memang tergolong usia bermain. Ketika mereka merasa senang, pembelajaran menjadi semakin mudah. Dan pelajaran matematika, kata Yani, amat mudah disajikan dalam bentuk permainan.
Widiarsi Agustina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo