Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah kalangan khawatir akan banyaknya calon legislator (caleg) berlatar belakang pengusaha dalam daftar calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Wakil rakyat yang terafiliasi korporasi selama ini dinilai cenderung terjebak dalam logika oligarki kapital yang mengutamakan kepentingan bisnis. Akibatnya, kebijakan yang dibuat Senayan mengabaikan kepentingan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan kesimpulan tersebut terbukti dari kinerja anggota DPR selama ini. Dia mengatakan sebanyak 318 anggota Dewan atau 55 persen penghuni Senayan merupakan pengusaha atau kalangan profesional yang terafiliasi dengan korporasi, terutama di sektor usaha energi dan manufaktur. Selama menjabat, kata Firman, mereka merumuskan kebijakan yang lebih diperlukan untuk kelangsungan bisnis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Omnibus law Cipta Kerja merupakan puncak dari fenomena gunung es bagaimana cara berpikir oligark tecermin dalam kehidupan politik,” kata Firman kepada Tempo pada Kamis, 18 Januari lalu.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan naskah pandangan pemerintah atas pengesahan Perpu Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 21 Maret 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Firman khawatir kebijakan pro-investasi akan kembali mewarnai kinerja DPR periode mendatang. Penelusuran Tempo terhadap daftar calon tetap (DCT) menemukan sedikitnya 2.029 orang calon anggota DPR yang terafiliasi dengan 6.059 korporasi. Ribuan orang itu pernah atau sedang menjadi pemegang saham ataupun pengurus perusahaan. Caleg DPR terafiliasi perusahaan tersebut tersebar di 18 partai politik peserta Pemilihan Umum 2024 dan menempati nomor urut teratas di daerah pemilihannya masing-masing.
Firman mengatakan sulit berharap calon legislator yang terafiliasi korporasi bakal berpihak kepada publik jika kelak terpilih. Sebab, pebisnis cenderung memikirkan keuntungan dan kelangsungan bisnisnya. “Dalam situasi itu (DPR yang dipenuhi pengusaha), politik menjadi kartel yang tidak mementingkan ideologi atau gagasan,” ujarnya. “Kalau komposisinya seperti ini, tidak akan ada perubahan signifikan.”
Dia menilai maraknya pebisnis yang berlaga dalam pemilu merupakan konsekuensi atas sistem politik Indonesia yang mahal, baik secara struktural, prosedural, maupun kultural. Seseorang yang ingin maju sebagai kontestan dalam pemilihan legislator harus mengeluarkan modal besar. Untuk mendapatkan modal itu, para calon kongkalikong dengan pengusaha. Partai politik bahkan menjadikan pengusaha sebagai caleg mereka. “Ini juga menjadi indikasi bahwa kaderisasi partai gagal,” kata Firman.
Kondisi tersebut mengkhawatirkan lantaran menjadikan parlemen dalam kungkungan oligark. Dialog yang terjadi di Senayan, kata Firman, dikuasai segelintir elite yang sarat kepentingan ekonomi. “Mereka kemudian menghambat partisipasi publik,” kata Firman.
Dia menilai wajah Senayan sejauh ini sudah seperti itu. Partisipasi publik dalam proses legislasi sekadar formalitas, bukan partisipasi yang bermakna. Akibatnya, ketika Undang-Undang Cipta Kerja secepat kilat bisa disahkan, pembahasan rancangan undang-undang lain yang krusial bagi kepentingan publik justru tak jelas nasibnya. “Seperti RUU Masyarakat Adat,” kata Firman.
RUU Masyarakat Adat dibahas di DPR sejak 2019, tapi tak kunjung disahkan. Firman menduga pembahasan RUU ini berlarut-larut karena berhubungan dengan keberlangsungan industri ekstraktif dan bisnis rakus lahan lainnya yang selama ini turut menyokong modal para politikus. “Karena banyak perusahaan yang berkonflik lahan dengan masyarakat adat,” ujarnya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara melakukan aksi damai menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 2016. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Wajah Gagalnya Reformasi Parpol
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry sependapat dengan Firman. Dia juga khawatir besarnya potensi pengusaha menguasai Senayan akan kembali menjadikan DPR sebagai wadah kartel politik. “Keadaan ini akan membuka jalan terjadinya state capture corruption, korupsi melalui kebijakan,” ujar Ashov. “Kebijakan publik terdistorsi, menjadi berat sebelah berpihak kepada pemilik modal.”
Ashov menilai banyaknya caleg terafiliasi korporasi menunjukkan gagalnya reformasi di tubuh partai politik. Buktinya, kata dia, hingga kini Dewan juga tak pernah serius merevisi Undang-Undang Partai Politik. Alih-alih memperkuat pendidikan politik, Ashov menambahkan, partai politik sibuk memperkuat modal untuk menghadapi pemilu dengan bersekutu dengan oligark. “Mereka memberikan ruang bagi kepentingan pemilik modal untuk menduduki posisi strategis pembuat kebijakan,” katanya. “Karena itu, masyarakat tak pernah percaya kepada DPR.”
Hasil survei sejumlah lembaga riset politik menunjukkan rendahnya tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap kinerja DPR serta partai politik. Sigi yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tiga tahun terakhir terus menempatkan DPR dan partai politik di posisi juru kunci untuk lembaga dengan tingkat kepercayaan publik terendah. Dalam survei terakhir LSI pada Juli 2023, misalnya, DPR berada di peringkat ke-8, satu tingkat di atas partai politik di posisi buncit.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Survei IPI pada Juni 2023 menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR hanya 68,5 persen, kedua paling bawah. Hasil survei IPI dua tahun sebelumnya tak jauh berbeda.
Baliho calon anggota legislatif suku Bajo di perkampungan Bajo Sampela di Desa Sama Bahari, Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Ancaman bagi Pelindungan Lingkungan
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra mengatakan rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR terjadi karena para wakil rakyat justru memuluskan undang-undang kontroversial yang berpihak pada investasi. Selain Undang-Undang Cipta Kerja, kata Roni, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi serta revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) merupakan contoh produk legislasi yang sarat akan kepentingan oligarki.
Menurut Roni, UU Cipta Kerja jelas sarat akan kepentingan pemilik modal. Aturan ini, misalnya, mengubah penanganan kejahatan lingkungan hidup menjadi mengutamakan administrasi ketimbang pidana.
Besarnya potensi korupsi pada bisnis rakus lahan justru dilindungi dengan melemahkan KPK lewat revisi undang-undang yang menjadikan pegawai komisi antikorupsi sebagai aparatur sipil negara. “Akibatnya, KPK tak lagi independen dan terpuruk seperti saat ini,” kata Roni.
Di sisi lain, DPR dan pemerintah juga mengesahkan UU Minerba yang memberikan banyak kelonggaran kepada pengusaha pertambangan. Sebaliknya, undang-undang ini justru mengancam pidana masyarakat yang menolak perusahaan tambang.
Warga asli terkena dampak proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City Pulau Rempang menolak untuk direlokasi di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, Batam, 5 Oktober 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Nasib undang-undang kontroversial itu berkebalikan dengan sejumlah RUU yang penting tapi pembahasannya tak kunjung terang di Senayan. Roni mencontohkan RUU Perampasan Aset yang diperlukan untuk memperkuat pemberantasan korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan kejahatan lingkungan. Ada pula RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang penting untuk pelindungan ekosistem dan sumber daya alam. “Penguasaan pemilik modal terhadap DPR telah membuat tidak ada satu pun kebijakan yang menguntungkan masyarakat dari para wakil rakyat,” kata Roni.
Hal senada diutarakan juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, M. Iqbal Damanik. Menurut dia, semua undang-undang bermasalah bisa melenggang karena DPR tak menjalankan fungsi checks and balances. Alih-alih sebagai pengawas, Dewan justru terkesan tunduk kepada pemerintah.
Dia mencontohkan meletusnya konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, yang dipicu rencana pembangunan kawasan industri Rempang Eco-City. Bukannya berpihak kepada masyarakat, kata dia, Dewan justru mengundang pemerintah memastikan penyiapan rumah untuk merelokasi warga Rempang, yang justru ditolak masyarakat. “Ini menunjukkan Dewan justru berada di posisi berseberangan dengan warga Rempang yang semestinya mendapat pelindungan,” kata Iqbal.
Iqbal khawatir DPR periode mendatang akan kembali mengabaikan upaya pelindungan lingkungan hidup jika Senayan kembali dikuasai para oligark dan kroninya. Dia mengingatkan, selama ini Dewan juga tak bersikap tegas terhadap pemerintah yang kebijakannya kontraproduktif terhadap mitigasi krisis iklim. “DPR mendatang tidak akan jauh berbeda karena ada kemungkinan akan diisi banyak calon yang terafiliasi korporasi,” katanya.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo