Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ban serap yang strategis

Jabatan wakil presiden untuk periode 1993-1998 dinilai strategis. wakil presiden diharapkan bisa bekerja sama dengan presiden. beberapa calon mulai beredar, di antaranya try sutrisno, rudini.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jabatan wakil presiden dinilai sangat strategis untuk periode 1993-1998. Ada pendapat, wakil presiden tak otomatis menjadi mandataris. Beberapa nama calon mulai beredar. ADA satu hal yang paling sulit diduga dalam dunia politik Indonesia. Menebak calon wakil presiden. Ini sungguh berbeda dengan presiden, yang acap kali sudah banyak menerima dukungan jauh hari sebelum sidang umum MPR. Nama wakil presiden biasanya baru terungkap dekat sekali dengan hari pelantiknya. Yang muncul biasanya juga di luar dugaan semua orang. Padahal, posisi ini sungguh penting. Tengok saja pengalaman dalam Sidang Umum MPR 1988 yang lalu. Kala itu orang menilai posisi wakil presiden sangat strategis. Dasar pertimbangannya adalah sambutan Presiden dalam HUT Golkar ke-22, 1986, dua tahun sebelum Sidang Umum MPR berlangsung. Ketika itu dengan tegas Golkar sudah menyatakan dukungan dan bertekad akan mencalonkan kembali Pak Harto sebagai presiden untuk masa bakti sekarang ini. Dan sambutan Pak Harto sangat mengejutkan. Selain menyebut bahwa ia miris melihat tugas berat yang harus dipikulnya, Pak Harto juga menegaskan, "Bilamana dalam melaksanakan tugas nanti selama lima tahun di tengah jalan dipandang tidak mampu, supaya segera diganti." Dari sini pengamat politik lantas mengarahkan teropongnya kepada posisi wakil presiden. Maklum, menurut UUD 45, pengganti presiden jika yang bersangkutan berhalangan tetap adalah wakil presiden sampai masa jabatan presiden habis. Pasal 8 UUD ini lantas dipertegas lewat Ketetapan MPR No. VII/1973 Pasal 2. Yang dimaksud berhalangan tetap adalah jika presiden mangkat, berhenti, atau tak dapat melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya. Dalam TAP MPR ini juga ditegaskan, jika presiden berhalangan sementara, ia menugasi wakilnya untuk melaksanakan tugas. Yang dimaksud berhalangan sementara adalah keadaan berhalangan yang tak termasuk kategori tetap tadi. Namun, ada lagi yang menafsirkan bahwa yang mendapat mandat dari MPR hanya presiden yang disebut namanya. Bila mandataris berhalangan, maka "paket mandataris" perlu diperbarui oleh MPR. Artinya, MPR bisa mengundang sidang istimewa untuk memilih mandataris baru. Sebab, wakil presiden tak disebut sebagai wakil mandataris yang harus melaksanakan mandat lembaga tertinggi negara itu. Tak heran jika kemudian pencalonan wapres dalam sidang umum yang lalu berjalan sangat serius. Fraksi ABRI, misalnya, harus menunggu beberapa hari sebelum akhirnya menyatakan mendukung calon yang diajukan Fraksi Karya Pembangunan, Sudharmono. Sikap yang sama juga diambil oleh Fraksi Demokrasi Indonesia. Sementara itu, H.J. Naro, yang kala itu mencalonkan dirinya sebagai wapres, juga ikut-ikutan ulet bertahan. Naro, yang saat itu juga menduduki kursi Ketua Partai Persatuan Pembangunan, ngotot mempertahankan pencalonannya sampai saat terakhir menjelang sidang pleno pemilihan wapres dibuka. Ia akhirnya mengundurkan diri sebelum sidang pleno majelis mengadakan pemungutan suara. Ternyata, sampai sekarang, alhamdulillah Presiden masih mampu mengemban amanat MPR. Maka, belum perlu terjadi perubahan posisi di pucuk pimpinan negara. Itulah sebabnya kemudian muncul julukan "ban serap" untuk posisi wapres ini. "Sebenarnya itu wajar-wajar saja. Di Amerika pun begitu," tutur ahli hukum tata negara yang juga guru besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ismail Suny. Namun, jika kita menengok sejarah ternyata wakil presiden tidaklah sekadar "ban serap". Dalam pengamatan Drs. Herqutanto Sosronegoro, anggota Tim Walisongo dari Universitas Gadjah Mada yang bertugas menjawab MPR untuk bahan GBHN, presiden selalu memberi tugas kepada wakilnya. Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah wapres yang banyak melobi negara-negara asing dalam hal pemberian bantuan pada Indonesia. Umar Wirahadikusumah menangani masalah pengawasan pembangunan. Sementara Pak Dhar ditugasi membenahi tertib administrasi pemerintahan dan pengawasan pembangunan. Itu sebabnya, ia membuka Kotak Pos 5000 untuk menampung pengaduan dari masyarakat. Sekarang ini, suasana kembali mirip dengan gelegak menjelang Sidang Umum MPR 1988 lalu. Pak Harto kembali mendapat dukungan untuk sekali lagi menjad presiden. Posisi wapres pun menjadi sasaran pengamatan serius. Para pengamat politik kembali menilai, posisi wapres sebagai amat menentukan dalam lima tahun mendatang ini. Terlebih lagi Pak Harto juga selalu mengingatkan bahwa usianya sudah lanjut. Tahun 1993 nanti beliau sudah akan berusia 72 tahun. Dalam sebuah kesempatan tatap muka dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Pak Harto juga sempat berkelakar bahwa beliau sudah tergolong orang "Tua yang Ompong Peot dan Pikun", yang disingkatnya menjadi TOPP. Maka, Dr. Afan Gaffar, seorang ahli politik alumnus Ohio State University, menegaskan betapa pentingnya posisi wapres pada periode mendatang ini. "Maka, orangnya harus benar-benar punya kapasitas sebagai presiden. Dan dari segi usia ia harus lebih muda dari Pak Harto," tutur Afan, dosen Universitas Gadjah Mada. Beberapa pihak memang sudah menyebut-nyebut soal ini. Kabar burung pun beredar. Beberapa nama juga mulai disebut. Mulai dari Pangab Jenderal Try Sutrisno, Menteri Dalam Negeri Rudini, Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Umum ICMI B.J. Habibie, Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Soesilo Sudarman, sampai Menteri Penerangan Harmoko. Dan seperti biasanya sopan santun orang Timur, mereka semua merasa risi dan menolak berkomentar. Cuma Menteri Harmoko yang menjelaskan soal itu. "Pencalonan wapres kan ada aturannya. Lewat fraksi di MPR dan juga mesti bisa bekerja sama dengan presiden. Lha, yang muncul sekarang kan cuma isu, kalau ditanggapi malah berbahaya," katanya kepada Iwan Q. Himawan dari TEMPO. Yang lebih dari sekadar kabar angin juga mulai muncul. Sekjen PPP, Matori Abdul Djalil, malah sudah berancar-ancar dengan memberikan kriteria. "Seyogyanya, dia dari ABRI, sebab ABRI bisa berdiri di atas semua golongan," kata Matori. Suara yang relatif senada juga muncul dari K.H. Badri Masduki, pimpinan Pondok Pesantren Badrijjuda, Jawa Timur, yang sekarang sedang aktif mengumpulkan tanda tangan ulama untuk mendukung Pak Harto sebagai calon presiden nanti. "Harus pucuk pimpinan ABRI yang masih langsung punya hubungan dengan pasukan," kata Kiai Badri. Isyarat yang sedikit lebih jelas diberikan oleh Sekjen Partai Demokrasi Indonesia, Nico Darjanto. Nico juga sependapat, dengan mempertimbangkan kepentingan strategis, sebaiknya wapres yang akan datang berasal dari ABRI. Alasannya, ABRI paling siap, baik orang maupun organisasinya. Siapa? "Saya tak mau menyebut nama. Tapi kalau dari ABRI ya, mungkin Pangab yang kami calonkan, di ABRI yang paling tinggi kan Pangab," kata Nico kepada Bambang Sujatmoko dari TEMPO. Tetapi, pencalonan wapres ini masih akan panjang jalannya. Terlebih lagi bukan cuma MPR yang punya peran dalam menentukan wakil presiden. Ini adalah pelajaran sejarah yang dipetik pemerintah Orde Baru dari retaknya hubungan dwitunggal Soekarno-Hatta dulu. Hubungan presiden dan wakilnya seyogyanya cukup harmonis itu sebabnya dipasang syarat bahwa wapres harus bisa bekerja sama dengan presiden. Presiden juga diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya tentang hal ini. Maka, wajar-wajar saja jika nama calon wapres tersimpan rapi di kantung presiden. Dan selama ini, mengingat presiden memiliki kesempatan untuk bersuara dalam menentukan wapres, pimpinan MPR lebih suka menanyakan terlebih dahulu kepada Pak Harto, siapa calon wapres yang dinilai bisa bekerja sama. Bagaimana jalannya pemilihan dalam Sidang Umum 1993 nanti, nampaknya memang masih terlalu dini untuk dikupas-kupas sekarang. Lagi pula, soal pencalonan presiden dan wakil presiden adalah pekerjaan akbar yang menjadi wewenang lima fraksi di MPR, yang baru akan dipilih dalam Pemilu 1992 nanti. Namun, jauh hari sebelumnya tentunya tak salah jika masing-masing mulai mengeluselus jagonya. Yopie Hidayat (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus