Kebakaran di Jakarta, terutama di permukiman kumuh, meningkat. Mengapa ada lokasi yang tak boleh dibangun kembali? MUSIM kemarau musim api gampang menyambar -- terutama di permukiman padat di daerah kumuh. Di Jakarta, pekan lalu saja, tercatat tiga kali kebakaran rumah penduduk yang cukup besar: di Bendungan Hilir, di Kebon Kacang, dan di Karet Semanggi -- masing-masing menghanguskan 163, 93, dan 8 rumah. Belum lagi kebakaran-kebakaran kecil yang minta korban satu atau dua rumah saja. Dalam catatan Kepala Dinas Kebakaran DKI Jakarta, Gatot Suharno, setiap tahun rata-rata terjadi 700 peristiwa kebakaran di Ibu Kota, dengan kerugian sekitar Rp 13 milyar. Sedihnya, tak semua lokasi bekas kebakaran itu bisa dibangun kembali. Tak heran bila Sudaryono, yang menghuni rumah petak di atas tanah 5 x 7 meter di Bendungan Hilir bersama adik, anak, dan keponakannya (semua berjumlah 14 jiwa), tampak lesu ketika mendengar kabar bahwa bekas rumah mereka tak boleh dibangun kembali. Tapi pekerja bangunan itu telah bertekad, sebelum ada pemberitahuan resmi dari Pemda Jakarta, ia akan membangun kembali tempat berteduh bagi keluarga besarnya. Maka, Rabu pagi pekan lalu, sehari setelah kebakaran, Sudaryono mengumpulkan seng-seng bekas rumahnya yang masih bisa dipakai. "Saya akan membangun kembali sebisanya, meski hanya berupa bedeng dari tripleks," katanya. Minggu lalu, Sudaryono bersama 600 korban lainnya masih ditampung di kantor karang taruna dan Mesjid Al-Falah, yang terletak tak jauh dari lokasi kebakaran. Mengapa kebakaran banyak terjadi di permukiman padat dan kumuh? Penyebabnya, kata Gatot, berbagai faktor di lingkungan itu sendiri. "Segi keamanan di permukiman seperti itu minim. Ada kompor minyak di dekat kertas, ada rokok di sebelah minyak, belum lagi anak-anak yang suka bermain api," tambahnya. Pengamatan Kepala Dinas Kebakaran DKI Jakarta itu ada benarnya. Ada saksi mata mengatakan, penyebab kebakaran yang melanda tiga rukun tetangga (RT) di Bendungan Hilir adalah sepercik api yang tiba-tiba meloncat ke kasur di sebuah rumah berdinding kayu. Sedangkan di Kebon Kacang, Tanah Abang, kebakaran yang terjadi pada 8 Oktober lalu, selang beberapa saat dengan kebakaran di Bendungan Hilir, penyebabnya adalah gara-gara kompor seorang penjual nasi meledak. Adalah kelengahan warga pula yang dianggap sebagai penyebab hangusnya sebuah pabrik mebel dan penjahit pakaian serta lima rumah di Karet Semanggi, selang dua hari kemudian. Pada hari yang sama 20 buah rumah sederhana yang berdempet-dempetan di Johar Baru nyaris pula dilalap api, gara-gara seorang pemulung melempar puntung rokok seenaknya. Untung, sebelum api marak, warga berhasil memadamkannya. Kecerobohan warga juga hampir menghanguskan dua daerah padat lainnya: Pisangan Timur dan Cawang. Tapi petugas pemadam kebakaran cepat datang, api tak sempat beraksi. Betulkah penyebab semua kebakaran itu kelalaian? Banyak juga yang curiga bahwa kemarau, kompor meledak, atau puntung rokok adalah skenario cerdik pihak-pihak tertentu. Terdengar selentingan bahwa kebakaran di Bendungan Hilir dan Kebon Kacang berkaitan dengan rencana Pemerintah membebaskan kedua lokasi itu dari tangan warga. "Pada 2005 daerah ini akan didirikan pertokoan," kata seorang warga Bendungan Hilir, yang entah dari mana mendapat info tersebut. Sedangkan kebakaran di Karet Semanggi dihubung-hubungkan dengan rencana seorang konglomerat meluaskan kawasan bisnisnya. Munculnya kecurigaan itu mungkin karena ada sejumlah lokasi bekas kebakaran yang tak bisa dijadikan permukiman penduduk lagi. Penghuni hampir 750 rumah kumuh di Kampung Sawah, yang terbakar pada 1986, misalnya, terpaksa angkat kaki karena tak diizinkan Pemda Jakarta membangun kembali di bekas daerah kebakaran yang kabarnya diperuntukkan bagi perluasan Hotel Orchid itu. Warga Duri Kepa, korban kebakaran September lalu, sampai minggu lampau masih dilanda kegelisahan. Sekitar 5.000 jiwa yang kehilangan sekitar 1.000 rumah merasa dihalangi untuk tinggal di lokasi itu lagi. Beredar isu ada pihak ketiga yang "main mata" dengan Pemda Jakarta untuk membebaskan tanah itu. Sebelum kebakaran, kata sejumlah warga, banyak calo tanah berkeliaran di daerah tersebut. Betulkah? "Ngapain merepotkan diri sendiri? Kalau ada kebakaran, Pemda juga harus mengeluarkan bantuan. Jadi, apa masuk akal kalau kebakaran itu disengaja?" kata Gubernur Wiyogo Atmodarminto. Bila kemudian penghuni-penghuni permukiman kumuh yang terbakar terkesan dipersulit membangun rumah kembali, menurut Kepala Bangda DKI Jakarta Ir. Madjid, tidak berarti mereka didorong meninggalkan lokasi tersebut. Untuk membangun rumah, diperlukan persyaratan tertentu, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Peruntukan wilayah bisnis atau permukiman, ujar Madjid lagi, sudah disusun sampai untuk tahun 2005. "Duri Kepa misalnya, diperuntukkan bagi permukiman dan bisnis," ujarnya. Itulah sebabnya bangunan baru belum boleh ditegakkan. Selain itu, bagi korban kebakaran yang diizinkan membangun lagi di bekas lokasi lama akan dikenai persyaratan, seperti lingkungan baru tidak boleh semrawut. Mengingat umumnya penghuni lama rata-rata golongan berpenghasilan rendah, Pemda Jakarta biasanya menawarkan rumah susun. Peremajaan permukiman kumuh kata Madjid, merupakan program Pemda Jakarta, dan itu telah dilakukan di antaranya di Kampung Sawah Besar, Jelambar, yang terbakar pada 1988. Sekarang di Kampung Sawah Besar, sebagian besar penghuni lama menempati rumah susun dengan sistem sewa. Sukses di Kampung Sawah Besar itu mendorong Pemda Jakarta menggelar penyuluhan tentang rumah susun ke lingkungan kumuh, terutama di lokasi bekas kebakaran. Upaya itu mendapat dukungan penuh dari Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo. Priyono B. Sumbogo, Linda Djalil, Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini