Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Boleh vokal, jangan ubah sistem

Pidato presiden tanpa teks pada rapim abri disiarkan tvri dua kali. presiden menegaskan kembali tekad orde baru untuk kembali ke pancasila dan uud 45 dan soal abri, kritik dpr dan suara vokal.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pidato Presiden tanpa teks di depan peserta Rapim ABRI disiarkan dua kali. Ia bicara tentang soal F-ABRI, suara vokal, kritik DPR. BANYAK pemirsa TVRI bertanya-tanya: mengapa acara Pak Harto menerima peserta Rapim ABRI di Tapos sampai perlu ditayangkan dua kali. Pertama kali Minggu malam dua pekan lalu, beberapa jam setelah acara ramah-tamah di peternakan "Tri S" milik Pak Harto itu berlangsung pagi harinya. Lebih dari sepekan kemudian, Senin malam pekan lalu, TVRI menayangkan lagi acara di Tapos tadi. Penayangan pertama hanya sekitar 30 menit, tetapi siaran kedua berlangsung lebih dari satu jam. Mengapa sampai perlu dua kali? Jawaban bukan datang dari Stasiun TVRI di Senayan Jakarta, melainkan dari kantor Sekretariat Negara. Acara Pak Harto yang disiarkan TVRI pada Minggu malam tanggal 29 September lalu itu memang "terpotong". Menurut Menteri Moerdiono, Pak Harto ingin acara di Tapos itu disiarkan lebih lengkap. "Ya, memang benar Pak Harto menginstruksikan saya untuk menyiarkan acara Tapos yang lengkap karena beliau merasa banyak sekali yang terpotong," katanya. Keesokan harinya, setelah acara Tapos, Pak Harto menerima peserta Rapim ABRI di Istana Negara. Kabarnya, sebelum acara dimulai, Pak Harto sempat menyampaikan soal "siaran terpotong" itu lewat stafnya. Penyuntingan pada kaset rekaman acara Tapos itu kabarnya dilakukan atas saran Pusat Penerangan ABRI. Sebenarnya, saran semacam ini bukanlah hal baru. Ketika Pak Harto berbicara di depan Rapim ABRI pada 1980 di Pekanbaru, juga ada bagian-bagian yang tak seluruhnya bisa disiarkan. Baik di Tapos maupun di Pekanbaru, Pak Harto memang berbicara tanpa teks. Pada siaran kedua di TVRI, Pak Harto menegaskan kembali tekad Orde Baru untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Sebelumnya, sistem liberal dan parlementer pernah dicoba dan akibatnya kabinet jatuh bangun. "Itu menunjukkan, tidak stabilnya pemerintah mengakibatkan tidak bisanya kita membangun." Lalu masuk zaman Demokrasi Terpimpin, dan semuanya dilaksanakan dengan sentralistis sehingga ada politik Nasakom yang menyatukan agama dan komunis sampai menimbulkan pemberontakan PRRI dan Permesta. Itulah sebabnya, kata pak Harto, walaupun UUD '45 lahir sehari setelah Proklamasi, kalau tak dilaksanakan secara murni dan konsekuen itu jelas salah. Di bagian lain, Pak Harto membahas peringkasan jumlah parpol dari sepuluh menjadi hanya tiga sekarang ini dengan asas Pancasila dan soal ABRI sebagai kekuatan sosial politik. ABRI, sebagai kekuatan sosial politik, tak hanya mewakili rakyat, melainkan juga mewakili missionnya sebagai kekuatan Hankam. Ini berkaitan dengan keikutsertaan ABRI dalam pemilu. Kata Pak Harto, "ABRI juga punya hak ikut pemilu. Namun, caranya dengan ditunjuk saja. Sebab, ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator tak membutuhkan suara banyak, cukup 20 persen saja atau seperlimanya. Ini bukan berarti ABRI harus menang-menangan. Kalau mau menang-menangan, pakai bayonet saja. Tapi bukan itu yang akan ditempuh." Kursi sebanyak 20 persen untuk ABRI, kata Pak Harto, cukup untuk melaksanakan fungsi sebagai stabilisator dan dinamisator. Pengangkatan ABRI di DPR memang dimaksudkan untuk mengamankan Pancasila dan UUD 1945 karena berdasarkan Pasal 37, "Kita bisa mengubah UUD 1945, dengan ketentuan dua pertiga suara menghendaki itu," ujar Presiden. Hal penting yang diutarakan Pak Harto, seperti disiarkan TVRI yang kedua, adalah soal kritik anggota DPR pada pemerintah. DPR dibenarkan melontarkan kritik pada pemerintah. "Namun, harus dalam batas wewenangnya. Jangan lantas mengkritik asal njeplak saja. Tetapi harus sesuai aturan permainannya," katanya. Suara vokal di DPR juga tak dilarang. "Namun, yang bersangkutan harus tetap memegang teguh Pancasila. Yang dilarang adalah apabila yang dikemukakan itu pendapat untuk mengubah sistem, mengubah ideologi Pancasila," kata Mandataris MPR ini. Kalau ada suara yang berniat mengubah Pancasila, kata Pak Harto, "Kita harus berani membetulkan. Jangan kemudian kita katut arus supaya dinilai. 'wah berani juga ini orang'." Kepala Negara kemudian berbicara tentang Fraksi ABRI di DPR. "Demikian pula ABRI, khususnya yang duduk dalam lembaga legislatif, juga harus memegang peranannya. Jangan kemudian katut dan tiru-tiru supaya dianggap seolah betul-betul wakil rakyat." Menurut Presiden, yang memperjuangkan rakyat bukan hanya DPR, tapi juga pemerintah. Bagian lain yang terpotong dalam tayangan pertama adalah ucapan Pak Harto sambil berkelakar soal kepanjangan singkatan yang beredar di masyarakat. Misalnya, "PPP" singkatan dari "putra-putri presiden" atau "Tri S" untuk "Soeharto, Siti Suhartinah (Ny. Tien Soeharto), dan Sigit (putra pertama Pak Harto). Dengan tertawa lebar, Kepala Negara menambahkan, "Saya kira Saudara-Saudara tahu juga." Kapuspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro menjelaskan bahwa dua kali siaran itu hanya masalah penonjolan berita dan waktu siaran TVRI. "Dulu pihak TVRI hanya punya setengah jam, jadi yang ditonjolkan adalah masalah ekonomi dan tentang Tapos sendiri," kata Nurhadi. Tentang siaran kedua, memang ada perintah dari Pangab. "Menurut Pangab, lebih baik kalau disiarkan lengkap, sebab pesan Pak Harto bagus diketahui seluruh lapisan masyarakat," kata Nurhadi lagi. Soal pertemuan antara Pak Harto dan peserta Rapim ABRI di Tapos yang tertutup bagi wartawan, kata Nurhadi, itu hanya memberi kesempatan lebih leluasa pada peserta rapim untuk bernostalgia dengan Pak Harto. "Nanti kalau ada pembicaraan yang gosip-gosip..., bisa macam-macam," katanya. Toriq Hadad dan Linda Djalil (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus