Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Banteng masa depan

Hari jadi pdi ke-18 diramaikan di denpasar. diselingi rapat pimpinan. pembenahan intern partai sudah selesai. pembentukan komcam dan komdes berjalan mulus. pdi akan pertahankan citra partai rakyat kecil.

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT banteng terasa berembus dari Wantilan (pendopo) Darma Graha Lumintang, Denpasar, Kamis pekan lalu. Sedikitnya 10 orang massa berkumpul, berdesak-desak mengisi bangunan tak berdinding itu, dan luber hingga ke sudut-sudut pekarangannya. Warna merah, hitam, dari simbol kepala banteng bertaburan. Hari itu, PDI merayakan puncak perayaan ke-18 hari jadinya. Jumlah hadirin yang sepuluh ribuan itu, menurut banyak orang, sangat mengagetkan. "Menjelang Pemilu 1987 dulu mengumpulkan seribu orang dalam suatu rapat PDI sangat sulit," ujar seorang pengamat. "Kini orang Bali tidak takut lagi masuk PDI," kata seorang pengurus PDI Bali. Di podium, hari itu Ketua Umum Soerjadi berpidato berapi-api. Ada yang menarik untuk dicatat dalam-pidatonya. Ia menghendaki agar tolok ukur dalam menilai keberhasilan pemilu diperbarui. Sebab, selama ini, kata Soerjadi, pemilu hanya dikatakan "sukses" jika produknya dianggap menjamin kepemimpinan Orde Baru, tidak mengancam kesatuan bangsa, Pancasila, serta UUD 1945. Peta politik Indonesia telah berkembang. Tak ada alasan untuk khawatir terhadap ancaman itu. Semua kekuatan politik, kata Ketua Umum PDI itu, telah mematok komitmen yang sama: melestarikan cita-cita Orde Baru. Maka, kini tiba saatnya kriteria penilaian itu diubah. Dan yang ditawarkan Soerjadi adalah penilaian yang berdasarkan ketaatan pada asas "luber" dan "jurdil". Di masa-masa yang lalu, asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) serta asas jurdil (jujur dan adil) seperti tak mendapatkan perhatian yang cukup. Alhasil, muncul keluhan, terutama dari parpol, tentang pelaksanaan kampanye, prosedur perolehan hak suara, atau penghitungan suara. "Panitia Pemilu kini harus bisa menjadi wasit yang adil," ujarnya. Pesta ulang tahun itu digelar bersamaan dengan rapat pimpinan (Rapim) PDI yang dihadiri oleh 27 pimpinan partai tingkat daerah (provinsi) serta pengurus pusat. Di sela-selanya, panitia HUT sempat pula menyelenggarakan sarasehan kebudayaan dengan pembicara, antara lain, Guruh Sukarnoputra. Rangkaian acara ini menunjukkan persiapan PDI menghadapi Pemilu 1992. "Kami telah menetapkan 1991 ini sebagai tahun persiapan pemilu," tutur Soerjadi kepada TEMPO. Menandai persiapan itu, rapim kali ini dimanfaatkan untuk pengecekan terakhir soal konsolidasi partai di daerah-daerah. Hasilnya, kata Soerjadi, pembenahan intern partai boleh disebut telah selesai. Bahkan pengurus partai di tingkat daerah telah mulai memikirkan kegiatan partai di kecamatan dan desadesa. Komisaris kecamatan (komcam) dan komisaris desa (komdes), sebagai aparat partai di lapisan terbawah, mulai muncul di banyak tempat. Hampir 100 persen posisi komcam telah terisi. Tapi posisi komdes masih banyak lowong, baru sekitar 50%. "Ini indikasi bahwa orang tak takut lagi jadi PDI," kata Soerjadi. Yang menggembirakan Soerjadi, dia tidak pernah mendengar adanya ganjalan serius untuk pembentukan komcam dan komdes itu. "Mungkin, karena PDI selalu mengadakan komunikasi terbuka dengan pejabat pemerintah setempat dan pejabat ABRI," ujarnya. Di Ja-Tim dan Bali, pembentukan komcam dan komdes berjalan mulus. Lebih dari 90% posisi-posisi komcam di Jawa Timur telah terisi. "Komdesnya baru sekitar 60%," kata Latif Pudjo Sakti, Ketua DPD Ja-Tim. Lalu, Ketua DPD Bali, I Gusti Ketut Adi Suendadi, memastikan semua kecamatan di wilayahnya telah memiliki komcam. Namun, seperti di Ja-Tim, komdesnya baru sekitar 70%. Menghadapi Pemilu 1992 ini, PDI juga membentuk komisi intern, yang disebut Pappu (Panitia Pelaksana Pemilu). Panitia ini dibentuk dari tingkat pusat hingga kecamatan. Panitia semacam ini disebar sampai desa-desa, dan disebut Gurakdes (Regu Penggerak Desa). Di lapangan tugas yang dibebankan terutama dalam pengawasan pesta demokrasi itu. Slogan "PDI untuk kaum muda" masih akan dikerek oleh PDI untuk Pemilu 1992 nanti. Namun, kali ini, PDI juga ingin merangkul kaum wanita. "Karena wanita merupakan pemilih potensial, jumlahnya lebih dari separuh penduduk Indonesia," kata Fatimah Achmad, Ketua Departemen Wanita Pengurus Pusat PDI. Bendera PDI sebagai "partai masa depan" dan "partai alternatif" juga tetap dikibarkan. Untuk itu, suatu ormas pemuda, yang tidak punya kaitan dengan PDI tapi menyalurkan aspirasinya lewat PDI, kini dipertimbangkan untuk dibentuk. Untuk menggaet tokoh masyarakat agar mau dicalonkan menjadi calon PDI dalam pemilu mendatang (konon para purnawirawan ABRI), ketentuan bahwa mereka minimal telah menjadi anggota PDI selama empat tahun diterobos dengan klausul "dengan seizin DPP". Kedua hal itu diputuskan dalam rapim pekan lalu. Citra PDI sebagai "partai rakyat kecil" juga tetap dicanangkan. Untuk itu, hak hidup sektor informal, perlindungan hak atas diri dan hak milik wong cilik, akan diangkat menjadi topik PDI di sepanjang kampanye. Tapi menu pokok yang dijual PDI adalah demokratisasi. Dalam tema ini akan disoroti proses pembangunan ekonomi yang berjalan di depan politik. Padahal, "Tidak ada demokratisasi ekonomi tanpa demokratisasi politik," kata Soerjadi. Lembaga-lembaga politik, termasuk parpol, harus dijaga kesehatannya, dan pemusatan kekuasaan dihindari. Berkaitan dengan perkara ini, "PDI mengusulkan agar masa jabatan presiden dibatasi," tambahnya. Betulkah Guruh Sukarnoputra akan menjadi calon PDI? Banyak orang PDI yang mengharapkan itu. "Kalau Guruh mau dicalonkan sebagai wakil Bali, saya kira perolehan suara PDI di Bali akan meledak," ujar seorang pengurus PDI Denpasar. Tapi Guruh sendiri ternyata belum memastikan kesediaannya. Namun, menurut Soerjadi, soal calon-calon PDI untuk DPR belum disusun. "Kami belum ngomong soal calon," ujarnya. Yang dibicarakan di rapim baru menyangkut prosedur pencalonannya. "Masih cukup waktu untuk memikirkan daftar calon," tambahnya. Putut Trihusodo, I G.A. Silawati, dan I Nengah Wedja ( Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus