H. ISMAIL Hasan Metareum, yang biasa lembut, belakangan ini sering bicara keras. Dalam penutupan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu pekan lalu, misalnya, Ketua Umum Partai Bintang itu menyatakan dapat menerima usul Mendagri Rudini untuk meniadakan reli-relian dalam kampanye Pemilu mendatang. Tapi ia katakan kemudian bahwa reli panser seperti yang terjadi dalam Pemilu 1982 juga tak diperlukan. Karena kerusuhan dalam kampanye Golkar di Lapangan Banteng, 1982, panser memang banyak berseliweran di Jakarta. Ketika itu, ada kekhawatiran terjadi gontok-gontokan massa Golkar dengan pendukung PPP. "Reli panser itu menurunkan jumlah suara PPP," ujar Buya, panggilan akrab Ketua Umum PPP itu. Maksudnya, panser itu membuat pendukung PPP jadi ketakutan. Sehari kemudian berbicara di forum seminar yang diadakan Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI) untuk memperingati 25 tahun Tritura, di Jakarta, Buya menghantam konglomerat, dan terutama menyoroti ketidakadilan politik dan ekonomi, secara terbuka. Ia menuntut adanya perubahan. "Suatu orde yang memfinalkan dirinya akan menutup diri bagi perkembangan dan tuntutan zaman, akan menjadi konservatif dan reaksioner," katanya. Pimpinan PPP ini kampanye? Mungkin belum. Namun, tampaknya PPP mulai bersiap-siap menghadapi Pemilu. Sejak terpilihnya pengurus baru dalam muktamar di Ancol, Jakarta, September 1989, PPP tampaknya berhasil menghapuskan citra sebelumnya: partai yang penuh konflik. Setidaknya, seperti dikatakan Yusuf Syakir, Wakil Sekjen PPP, "Berita tentang PPP di koran tak lagi ramai oleh konflik dan perpecahan." Konsolidasi pun agaknya sudah pula dilakukan, dengan selesainya musyawarah daerah di provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia. Maka, Mukernas pekan lalu itu tak lain dari langkah awal partai itu untuk bersiap-siap menghadapi Pemilu Mukernas itu, misalnya, memutuskan pembentukan berbagai badan yang diperlukan partai itu menghadapi Pemilu 1992, seperti lajnah Pemilu, tim dana, tim pembelaan, dan lajnah penetapan calon. Sekalipun telah mengganti asasnya dengan Pancasila, partai yang lahir dari fusi sejumlah partai Islam, NU, MI, SI, dan Perti itu, sampai Pemilu mendatang (setidaknya) masih tetap akan mengandalkan daya perekat Islam dalam menghimpun pengikut. Sekalipun Ismail Hasan Metareum mengatakan, di Timor Timur, PPP punya aktivis seorang Kristen. Yusuf Syakir mengakui, PPP akan terus mempertahankan para pemilih tradisionalnya, ya kalangan Islam. Karena itu, kata Syakir, PPP masih akan terus menghubungi para kiai, mengunjungi pesantren, menggunakan isu Islam, dan sebagainya, seperti yang dulu-dulu juga. "Itu karena kami ingin mempertahankan sesuatu yang merupakan milik kami sejak dulu," katanya. Baik Ismail Hasan Metareum, Yusuf Syakir, maupun tokoh PPP lainnya seperti Darussamin dan Aisyah Aminy, dalam suatu pertemuan di TEMPO Jumat pekan lalu, merasa yakin sekali bahwa mayoritas pendukung PPP dalam Pemilu adalah para pemilih tradisional itu. Kalaupun perolehan suara mereka rontok dalam Pemilu yang lalu, menurut Syakir, tak lain karena ketika itu PPP dilanda konflik terus-menerus. Akibatnya, sejumlah aktivis PPP yang NU muncul jadi penggembos suara PPP di masa kampanye. Maka, 94 kursi DPR yang mereka raih dalam Pemilu 1982 anjlok tinggal 61 kursi dalam Pemilu 1987. Sekarang rupanya para penggembos sudah direkrut kembali. "Banyak penggembos besar yang datang dan minta diterima kembali," kata Buya. Sekalipun demikian, tampaknya, untuk menghadapi Pemilu nanti, PPP tak cuma memakai isu Islam. Itu bisa dilihat dari pernyataan politik yang dihasilkan Mukernas PPP yang lalu. Betul, dalam pernyataan ini, mereka meminta agar pemerintah menghentikan penayangan acara hiburan di TVRI dan RCTI yang dapat merusak moral, atau mereka juga mengusulkan agar sekolah diliburkan di bulan puasa. Tapi sebagian besar pernyataan politik itu menangkap isu-isu yang selama ini memang ramai dibicarakan masyarakat. Misalnya soal kesenjangan sosial, kreativitas seniman, penggusuran, ganti rugi tanah rakyat, dan sebagainya. Malah pernyataan ini sempat pula menyoroti pabrik rokok kretek yang berkibar berkat sumbangan dan dukungan para petani cengkeh dan tembakau, serta upah buruh yang murah selama ini. Meski tak tercantum dalam keputusan Mukernas, tampaknya menghadapi Pemilu nanti, PPP akan muncul juga dengan usulan batasan masa jabatan presiden. Sebab, seperti dikatakan Yusuf Syakir, dalam Sidang Umum MPR 1978, PPP telah mengusulkan pembatasan masa jabatan presiden. Sayangnya, semua fraksi lain waktu itu menolak usul PPP itu, dan usul itu digugurkan melalui pemungutan suara. "Jadi sebelum orang sekarang bicara soal masa jabatan presiden, kami sudah lebih dulu mencoba mengegolkannya di MPR. Tapi ketika itu tak ada yang mendukungnya," kata Aisyah Aminy. Toh banyak juga orang yang berspekulasi bahwa dalam Pemilu nanti PPP akan kesulitan menghadapi Golkar, karena belakangan ini hubungan birokrasi (yang sulit dibedakan dengan Golkar) dengan kalangan Islam begitu mesra. Itu bisa dinyatakan dengan munculnya UU Pendidikan Nasional, UU Peradilan Agama, dan belakangan dengan terbentuknya ICMI (Ikatakan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dipimpin B.J. Habibie, yang tak lain dari seorang anggota Dewan Pembina Golkar. Tapi para tokoh PPP itu tetap optimistis. "Bagaimana kiat kami dalam pemilu nanti, belum bisa dijelaskan sekarang," ujar Ismail Hasan Metareum. Jadi, bisa diduga, pertarungan PPP dan Golkar untuk memperebutkan lahan yang sama, kelak, masih tetap ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini