"BAGAIMANA jika teman-teman kehilangan rumah, orangtua, adik dan kakak, akibat ledakan bom... Jika engkau mau, boleh tinggal bersamaku, di negeriku...." Surat kemanusiaan Kartini, seorang gadis kecil dari Pesantren Asy-Syifaa', Pasar Minggu, Jakarta, yang ditujukan kepada teman sebayanya di Amerika Serikat, Irak, Kuwait, dan Arab Saudi itu Senin pekan ini diserahkan pada John M. Koenig, Wakil Dubes Amerika Serikat di Jakarta. Kartini tidak sendirian. Ada 250 anak-anak dan remaja -dengan diantar delapan gurunya -- dari pesantren Asy-Syifaa' yang mendatangi kantor Kedubes AS di Jalan Merdeka Selatan. "Kehadiran kami untuk menyampaikan keprihatinan anak-anak Indonesia terhadap Perang Teluk," kata Pak Kepala Sekolah, Machsunul Ihsan. Delegasi itu bukanlah "misi perdamaian" pertama yang mendatangi Kedubes AS. Sebelumnya, berbagai organisasi dan sekitar 100 tokoh Islam Indonesia telah pula menyampaikan maksud serupa. Pekan lalu, sejumlah seniman di TIM, Jakarta Pusat, juga menyuarakan keprihatinan mereka dalam bentuk esei atau puisi. Inti pernyataan-pernyataan itu sama: jangan perang. Gema krisis dan bunyi nafiri perang memang mendengung keras di sini. Tak cuma nasib kota-kota suci Mekkah dan Madinah yang dikhawatirkan jika perang pecah. Persatuan negara-negara Arab, ancaman Israel, dan yang paling penting korban yang pasti berjatuhan di kedua pihak yang berperang, juga diprihatinkan. Itulah yang kemudian mendorong sejumlah organisasi berlomba mengingatkan. Bahkan Yayasan Empati serta Ikatan Alumni Timur Tengah dan Pusat Studi dan Penelitian Islam perlu pasang iklan imbauan di harian Pelita dan Berita Buana. Yayasan Empati, dalam iklan "Imbauan Krisis Teluk Kepada Kaum Muslimin" mengimbau: kaum muslimin Indonesia agar tidak terpancing agitasi emosional, apa pun alasannya, termasuk demi membela bangsa Palestina. "Marilah kita mengembangkan sikapsikap prihatin yang positif, yang menggalang ukhuwah Islamiyah, dan bukan perpecahan," katanya. Sementara itu, iklan yang dibuat bersama oleh Ikatan Alumni Timur Tengah dan Presidium CISR (Pusat Studi dan Penelitian Islam) terasa menghantam Saddam Hussein. Pengangkatan isu Palestina dan penghancuran Israel dinilai sebagai strategi Saddam untuk kepentingan ambisi teritorialnya. Tujuannya untuk memperoleh dukungan dan simpati umat Islam. "Seandainya Saddam berniat jujur memerangi Israel, mengapa tak dilakukan saat Israel menyerang reaktor-reaktor nuklir Irak pada 1981", bunyi iklan itu. Kedua iklan itu agaknya menyiratkan adanya perbedaan pendapat di antara umat Islam di Indonesia yang bersumbu pada pro dan kontra pada tindakan Amerika dan Saddam. Nurcholish Madjid, Quraish Shihab, dan Ali Yafie yang tergabung dalam Yayasan Empati menyebut, jika perang meletus, itu harus dilihat sebagai perang ambisi pribadi atau kelompok, bukan atas dorongan agama dan kemanusiaan. Saddam didesak segera menarik pasukannya demi kepentingan umat Islam dan bangsa Palestina. Pernyataan Alumni Timur Tengah dan Nurcholish dkk. itu mengundang reaksi. Ridwan Saidi, mantan Ketua PB HMI, menyebutnya sebagai "gerakan Saudi Arabia". Katanya, "Kita bisa berdebat krisis Teluk, tetapi masalah Palestina adalah undebatable," katanya kepada Andy Reza dari TEMPO. Saddam dipujinya sebagai politikus dunia yang cerdas. Munculnya pro dan kontra itu bisa dipahami Wakil Rais Aam NU Ali Yafie. "Orang berselisih pendapat karena informasi, latar belakang, dan pemikiran yang berbeda, itu adalah masalah biasa," katanya. Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini