PEKAN-PEKAN ini, sejumlah hotel di Jakarta tampak semarak. Ini bukan melulu karena menyambut Tahun Kunjungan Indonesia 1991. Tapi ada kegiatan lain seperti yang terjadi di Hotel Kartika Plaza, Jakarta Pusat. Di sana ada rapat kerja (raker) Departemen Tani dan Nelayan Golongan Karya (Golkar) yang diikuti sekitar 300 peserta yang datang dari berbagai pelosok Indonesia. Sementara itu, Hotel Kartika Chandra di Jakarta Selatan juga kelihatan sibuk menyiapkan kamar buat ratusan peserta raker Departemen Seni Budaya Golkar. Sedangkan rakernya sendiri berlangsung di Wisma Serba Guna, di kawasan Senayan, yang dimulai Selasa pekan ini. Lalu, Departemen Kerohanian dijadwalkan mengadakan raker di Jakarta, akhir Januari 1991 ini. Raker Golkar kini memang menjamur subur di musim penghujan ini. Sampai akhir bulan depan, direncanakan semua departemen - ada 11 departemen -- di lingkungan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar sudah mengakhiri rakernya. "Ini memang sesuatu yang baru di lingkungan Golkar," kata seorang anggota DPP Golkar kepada TEMPO. Itu juga berarti, "Penggalangan kader untuk menghadapi pemilu memang sudah kami mulai." Kalau strategi Golkar dalam menghadapi Pemilu 92 mendatang dibedah, apa yang terjadi lewat raker-raker tadi merupakan tahapan yang kedua dari sembilan elemen yang ada. Yaitu konsolidasi, penggalangan anggota dan masyarakat, penyiapan kelembagaan pemilu, penyiapan anggota legislatif, persiapan untuk mengadakan kampanye, persiapan menghadapi pemungutan suara, menetapkan calon anggota legislatif, menghadapi Sidang Umum MPR 1993, dan logistik. Sebagai orpol terbesar yang terus menang sejak Pemilu 1971, persiapan Golkar tidak pernah tanggung-tanggung: Dari segi jumlah yang memegang kartu anggota, anggota Golkar kini sudah mencapai 35 juta orang, naik 3 juta dibandingkan dua tahun sebelumnya. "Kami tak akan ngotot untuk menambah anggota lagi. Selain nggak punya anggaran, kami juga harus konsekuen dengan floating mass, ujar Jacob Tobing, Ketua Departemen Pemenangan Pemilu DPP Golkar. Melihat itu, sebenarnya tak usah heran kalau Golkar sudah dipastikan bakal memenangkan Pemilu 1992 nanti. "Minimal kami akan mempertahankan apa yang telah dicapai pada pemilu tahun 1987 lalu," ujar Wahono, Ketua Umum DPP Golkar. Artinya, sasaran Golkar di Pemilu 1992 mendatang paling tidak bisa menjaring 73% suara. "Saya optimistis, karena seluruh daerah sudah kami jelajahi, dan juga berdasarkan laporan pimpinan Golkar di daerah," tambahnya. Toh tampaknya Golkar tak ingin terjebak dalam sikap memandang enteng saingannya: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ibarat "juara bertahan", tampaknya Golkar tak mau ambil risiko, misalnya jangan sampai mengalami nasib seperti yang pernah menimpa kesebelasan Argentina (juara Piala Dunia 1978 dan 1986) yang dikalahkan secara menyakitkan oleh tim yang dianggap lemah, Kamerun, di Piala Dunia 1990 silam. Apalagi kini tak ada lagi isu "penggembosan" di PPP atau konflik yang berlarut-larut di PDI. Suatu hal yang dalam pemilu lalu pernah dilihat sebagai salah satu faktor yang membuat Golkar menang telak. Maka, sejumlah program penyegaran buat para kader Golkar sudah dijalankan sejak Maret 1990 silam. Menurut Jacob Tobing, program ini sudah diikuti sekitar 1 juta kader Golkar yang berakhir di akhir tahun 1990. Selain mendapat pengarahan di dalam kelas, yang kalau dihitung-hitung total mencapai 36 jam, mereka juga diterjunkan langsung ke masyarakat. "Kami mencoba menggerakkan mereka dalam kegiatan yang bersifat komunikatif dengan masyarakat, misalnya bakti sosial," kata Jacob. Lalu, isu apa yang akan "dijual" Golkar? "Kesinambungan pembangunan yang berlanjut dan keterbukaan," jawab Wahono. Menurut Wahono, karena sudah bertekad untuk menang secara satria (fair play), bukan dengan cara buto, Golkar akan bekerja lebih keras, "Untuk menunjukkan karya-karya kita." Dengan kata lain, kata Usman Hasan, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar, "Kami bertekad untuk memenangkan pemilu secara berkualitas." Artinya, kemenangan Golkar nanti tak lagi dibayang-bayangi oleh cerita-cerita "penekanan" atau "manipulasi suara", yang masih terdengar hingga pemilu 1987 silam. Dengan mencanangkan ingin menang secara satria, Wahono tampaknya ingin menghilangkan ekses seperti itu, yang memang dimungkinkan oleh posisi Golkar yang "lengket" hubungannya dengan birokrasi dan ABRI. Itu sebabnya Wahono berjanji akan memberikan sanksi pada mereka yang masih bertindak overacting dalam memberikan dukungannya kepada Golkar. "Dukungan yang kami harapkan adalah karena keikhlasan dan bukan karena kedinasan. Tanpa tindakan overacting kami toh pasti menang," katanya. "Kini masyarakat sudah semakin tinggi kesadaran politiknya. Kami tidak bisa menggunakan lagi cara-cara lama," ujarnya lagi. Apakah "cara-cara lama" itu termasuk dukungan birokrasi terhadap Golkar? Tampaknya tidak. Sebenarnya, kata Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, keterlibatan kader Golkar yang kebetulan punya jabatan dalam jajaran eksekutif bukanlah suatu pelanggaran. "Kalau toh diributkan, ini sebenarnya karena ikatan etis saja. Sedangkan formal itu tak melanggar aturan. Di mana pun pemegang kekuasaan tentu saja memiliki keuntungan," katanya tegas. Bahkan di Amerika Serikat, negeri yang disebut-sebut sebagai biang demokrasi, ujar Rachmat lagi, Presiden Bush sendiri secara terbuka dalam kedudukannya sebagai presiden, dan bahkan menggunakan pesawat dinas Air Force One, ikut mengampanyekan calon gubernur yang berasal dari partainya. "Jadi, soal demikian itu nggak asing. Biasa, tak ada keanehan," kata Rachmat. Ahmed K.S., Diah P., dan Rustam F.M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini