Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETULKAH Soekarno semasa menjabat presiden pernah menerima komisi dari perusahaan asing, serta menyimpan uang jutaan dolar di berbagai bank di luar negeri? Pertentangan pendapat mengenai soal ini selama beberapa pekan terakhir telah mengguncang masyarakat, menimbulkan perdebatan seru dan panjang, serta melibatkan banyak kalangan. Ini bukan kontroversi pertama mengenai Bung Karno. Lima tahun yang silam, terjadi juga kehebohan yang berkisar pada pertanyaan: Apakah benar pada 1933 Bung Karno, yang waktu itu ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung, menulis surat meminta ampun pada Belanda? Waktu itu sumber keramaian adalah buku John Ingleson Road to Exile (terbit pertama kali pada 1979), yang mengutip adanya salinan surat-surat itu di arsip Belanda, meski surat aslinya tidak ada. Mohamad Roem, bekas menlu yang pernah menjadi tahanan politik di masa pemerintahan Soekarno, meragukan kebenaran surat itu, selama surat yang asli tidak ditemukan (TEMPO, 28 Februari 1981). Empat tahun yang lalu, muncul lagi debat ramai. Nugroho Notosusanto, waktu itu kepala Pusat Sejarah ABRI, menyimpulkan: penggali utama Pancasila tidak hanya Bung Karno, tapi juga Muhammad Yamin dan Soepomo. Ia juga mengemukakan, 1 Juni hanyalah hari lahir Pancasila Bung Karno, bukan Pancasila dasar negara sekarang ini. Semua ini dipaparkan Nugroho dalam bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Waktu itu banyak tentangan terhadap pendapat Nugroho, terutama dari kelompok yang dekat dengan Almarhum Bung Karno, juga dari sejarawan lain. Sampai ada sejarawan yang menuduh karya Nugroho itu lebih merupakan "pamflet politik" dan meragukan metodologi sejarah serta prosedur ilmiah yang dipakai Nugroho untuk membuktikan kesimpulannya (TEMPO, 29 Agustus 1981). Kini, heboh mengenai materi PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang pertama kali dilontarkan Lembaga Penelitian Sejarah Untag, sebuah perguruan yang didirikan para bekas pimpinan PNI, tampaknya berpusat dan bersumber pada hal yang itu lagi: penulisan mengenai figur Soekarno. Alinea yang mehgungkapkan bahwa Soekarno pernah menerima komisi (dalam buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMP terbitan 1985 sudah dihilangkan) memang bersumber pada Buku MPRS Nomor V tahun 1966 yang berkaitan dengan Nawaksara, pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno pada 1966 yang ditolak MPRS. Menurut sebuah sumber, alinea itu juga disimpulkan dari beberapa hasil sidang pengadilan terhadap sejumlah penyeleweng ekonomi. Dari situ, misalnya, dikutip kesaksian adanya seorang duta besar RI yang telah menyetorkan dana jutaan dolar kepada Presiden Soekarno. Yang belum jelas, mengapa semua fakta yang berkaitan dengan kesimpulan dalam alinea itu tidak ikut dikutip. Misalnya, apakah komisi yang konon diterima Soekarno itu dipakainya untuk keperluan pribadi, dan apakah simpanan jutaan dolar di bank luar negeri itu atas namanya pribadi? Menurut seorang anggota tim penyusun buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMP yang menghebohkan tersebut, fakta tentang Soekarno menerima komisi itu memang dimasukkan atas pertimbangan Nugroho sendiri. "Pak Nugroho 'kan bukan cuma seorang ilmuwan, tapi juga seorang pejuang," katanya. "Apalagi Soekarno itu bagaimanapun masih merupakan sentral kultus individu," tambahnya. Kendati begitu, ia sendiri tampaknya meragukan fakta itu. Nugroho sendiri sudah meninggal. Sehingga versinya tentang pemuatan kesimpulan itu tidak bisa dijelaskan. Tapi, dalam suatu wawancara, ia membantah bahwa ia membenci Bung Karno, dan tidak satu pun karangannya yang anti-Bung Karno. Malah diakuinya ia "pengagum, tapi bukan pengikut Bung Karno" (TEMPO, 5 September 1981). Dalam prakatanya pada buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, Nugroho - yang duduk sebagai ketua tim redaksi - mengakui sulitnya menulis sejarah sezaman (kontemporer). Sebab, banyak pelaku sejarah yang masih hidup. Menurut ia, penulisan sejarah terdiri dari dua komponen: fakta dan interpretasi. Untuk fakta yang sudah teruji, diperlukan seleksi "sesuai dengan syarat metode sejarah" dan "subyektivitas sejarawan". Sedangkan subyektivitas mengenai interpretasi, katanya, tidak selalu karena kesengajaan, melainkan karena perspektif yang berbeda-beda. Jika perspektif dan subyektivitas sejarawan berbeda, lalu bagaimana kita seharusnya sekarang ini memandang dan menilai Soekarno? Menurut Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo, yang termasuk anggota Lembaga Penelitian Sejarah Untag, meninjau tokoh seperti Soekarno harus dilihat dari dua hal: sudut mitos dan legenda serta dari sudut yang direkonstruksi berdasarkan realitas sosial. "Tidak bisa disangkal, sejak muda hingga meninggalnya pada peristiwa puncak Soekarno selalu ada. Itu tidak bisa dibuang begitu saja. Sampai ia dituduh salah pada 1965, ia berada di situ. Terus dia jatuh. Meski begitu, ketokohannya tidak jatuh. Ia seperti pilot yang mempunyai jam terbang," katanya. Abdurrachman berpendapat, untuk menerobos orang yang kontroversial, sejarawan harus melihat dari sudut multidisipliner. "Soekarno ini manusia. Ia harus ditinjau dari beberapa segi. Dari sudut psikologis begini, dari sudut sejarah begitu, dari politik begitu. Ini untuk mengurangi subyektivitas." Sejarawan, katanya, harus bisa mempertahankan suatu pengertian subyektif-obyektif. Yakni menampung subyektivisme kolektif tentang suatu peristiwa hingga dari situ akan muncul obyekti-vitas. "Sejarawan lain dengan jaksa, di mana semua data dipakai untuk menjatuhkan tertuduh." Abdurrachman agaknya meragukan Soekarno pernah menerima komisi. "Soekarno memang bukan administrator yang baik. Ada yang mengatakan ia menerima dana-dana revolusi. Nah, yang mengatur dana revolusi siapa? Sudah jelas, bukan dia. Dan katanya Soekarno dikasih sekian persen. Tapi setelah meninggal, ia punya apa, kecuali istri-istri? Apa ia mempunyai rekening bank? Tapi coba lihat kehidupan anaknya sekarang. Dari situ 'kan sudah kelihatan." Roeslan Abdulgani, 71, ketua Tim P-7 yang pernah menjadi pembantu dekat Soekarno, juga meragukan Bung Karno pernah menerima komisi. Menurut Roeslan, ideal tertinggi dalam hidup bagi Bung Karno adalah duty. Bung Karno juga bukan tipe orang yang suka minta-minta. "Kalau bukan dengan kawan dekat, ia tak pernah mau minta." Salah seorang teman dekat yang sering diminta duitnya adalah Anang Thayib, pengusaha dari Gresik, keponakan Roeslan. Uang yang dimintanya itu, kata Roeslan, untuk membeli lukisan, dan uang itu diberikan langsung oleh Anang pada si pelukis, tanpa melalui tangan Soekarno. ROESLAN bercerita. "Bung Karno itu orang - yang tidak bisa pegang uang. Ia tidak pernah mengurus sendiri. Misalnya, hasil penjualan bukunya. Saya pernah menjualkan lewat ceramah-ceramah di universitas. Hasilnya, sekitar Rp 400 ribu, yang besar untuk ukuran waktu itu, saya serahkan kepadanya. Dia bilang apa? Honor itu kumpulkan, nanti kalau Lebaran untuk zakat fitrah saya bagi fakir miskin di Gresik. Entah sebabnya apa, saya tidak tahu. Dan ia tak mau dikatakan kalau zakat itu berasal darinya." Kesimpulan Roeslan, "Bung Karno itu watak Surabaya. Orang Surabaya itu kalau punya uang loman, suka memberi. Tapi kalau tidak punya uang, ndak sungkan-sungkan utang pada teman." Menurut Sarwono Kusumaatmadja, aktivis mahasiswa Angkatan 66 yang kini menjadi sekjen DPP Golkar, karena Bung Karno telah wafat, lebih edukatif untuk melihat sifat-sifatnya yang baik. "Siapa pun pemimpin bangsa ini, ia adalah cerminan bangsanya. Kalau pemimpin berbuat salah, sebetulnya seluruh bangsa itu salah. Kita tidak bisa mempersoalkan kesalahan masa lalu secara terus-menerus. Kalau kita terus-menerus mengingat yang jelek, itu jadi kebiasaan. Karena pemimpin-adalah cermin bangsa, dengan kebiasaan itu kita selalu menjelekkan diri sendiri secara tidak langsung. Saya lebih suka mengingat Bung Karno sebagai pemimpin bangsa yang jasanya besar. Dalam kurun waktu sekarang itu lebih relevan. Kesalahannya pun sudah kita coba koreksi." Susanto Pudjomartono Laporan A. Luqman, Yulia S. Madjid, Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo