Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Johan Yan terlihat cerah ketika keluar dari gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Timur, Rabu sore dua pekan lalu. Sedianya penyidik akan memeriksa kolektor benda kuno ini dengan status tersangka kasus pencemaran nama, yang membelitnya lima bulan terakhir. Pemeriksaan urung karena Alexander Yunus Limantoro, pendeta muda Gereja Bethany Indonesia di Nginden, Surabaya, mencabut laporannya. "Saya tak ingin berkomentar soal kasus. Ini pelajaran bagi saya agar lebih berhati-hati menulis status di Facebook," ujar Johan saat ditanya perihal kasusnya yang berakhir damai.
Kepala Sub-Bidang Penerangan Masyarakat Polda Jawa Timur Komisaris Besar Suhartoyo membenarkan bahwa sengketa antara Johan dan gereja berakhir secara kekeluargaan. "Otomatis penyidikannya dihentikan," katanya. Adapun Alexander mencabut laporan karena Johan telah meminta maaf kepada Abraham. "Kami selalu bersedia memberi maaf kepada siapa pun yang mengaku bersalah," ucapnya.
Kasus ini bermula dari status yang diunggah Johan di Facebook. Ia memasang foto pemimpin Gereja Bethany Indonesia, Pendeta Abraham Alex Tanuseputra, di akunnya pada 20 Februari 2013. Johan membubuhkan kalimat "duit lo pd gw tilep semua! Say Halleluya!!" di foto tersebut. Di status berikutnya, Johan menulis, "Korupsi atau money laundry yang dilakukan oleh ulama bukan ajaran agama Kristen." Status Johan segera memperoleh respons pro-kontra dari para pengguna Facebook yang terhubung dengannya.
Ia dituduh melanggar Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengacara Johan, Muhammad Sholeh, mengatakan kliennya hanya menulis status berdasarkan isu yang berkembang di media massa sehingga tak layak dijerat pasal pidana. Tapi kuasa hukum Gereja Bethany, Sumarso, menilai status-status Johan sudah masuk kategori melecehkan Abraham, pemimpin gereja yang memiliki ribuan anggota jemaat. "Sebelum lapor polisi, kami sudah konsultasi ke ahli bahasa dan ahli teknologi informasi," kata Sumarso.
Status yang diunggah Johan itu ada hubungannya dengan suasana panas di Gereja Bethany. Pada awal Maret itu, Majelis Pekerja Sinode Bethany menggelar sidang raya yang dihadiri sekitar 800 pendeta dari seluruh Indonesia. Selain memilih pengurus buat masa kerja lima tahun, agenda penting sidang adalah memecat pendeta Leonard Limato karena dianggap melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga gereja.
Beberapa hari sebelum pemecatan Leonard diumumkan dalam forum tertinggi Gereja Bethany tersebut, media massa memberitakan dugaan korupsi dana jemaat sebesar Rp 4,7 triliun oleh Abraham. Kubu Abraham membantah keras tudingan itu. Leonard disebut-sebut mengembuskan isu itu untuk mempengaruhi sidang raya, yang akhirnya kembali memilih Abraham sebagai ketua umum. Namun Leonard membantah. "Saya tidak pernah mengembuskan isu transparansi pengelolaan keuangan," ujar Leonard, yang juga pendiri Gereja Bethany Indonesia, kepada Tempo melalui surat elektronik.
Sumarso mengatakan pihaknya tak keberatan berdamai dengan syarat Johan meminta maaf kepada Abraham dan anaknya, Pendeta David Aswin Tanuseputra. Johan akhirnya mendatangi Abraham dan David Aswin ke rumahnya.
Rupanya kapak perang telah dikubur, berikut isu soal dana triliunan itu. "Tidak perlu bicara masa lalu, mari kita tatap masa depan yang lebih baik," kata Johan.
Kukuh S. Wibowo, Agita Sukma Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo