Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Bawaslu Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Mochammad Afifuddin mengatakan partisipasi paling minimal yang bisa dilakukan oleh pemilih adalah menggunakan hak pilihnya. Selain itu, partisipasi lain yang bisa dilakukan adalah bersuara terhadap oknum yang telah dan mau melakukan kecurangan.
“Itu derajatnya lebih tinggi dari sekedar hanya datang menggunakan hak pilih, tapi diam atas proses-proses potensi kecurangan yang mungkin terjadi,” ujar dia dalam webinar di Jakarta, Senin, 21 September 2020.
Menurut Afifuddin, karena penyelenggara memiliki keterbatasan dari berbagai sisi, maka pengawasan terhadap proses pilkada harus didorong oleh semua pihak. Dalam persoalan itu, dia membandingkan situasi pemilihan umum pada 1999 ketika terdapat pergerakan luar biasa karena masyarakat merindukan situasi yang benar-benar berubah dari pemilu sebelumnya.
Ketika itu, kata dia, kontrol dari berbagai organisasi sangat tinggi dan pada saat bersamaan animo untuk melakukan pengawasan serta pemantauan juga tinggi. “Sehingga saat itu banyak muncul lembaga pemantau, sukarelawan, dan seterusnya,” ucap dia.
Saat ini, dia menilai terjadi perubahan makna terhadap volunteerisme atau kesukarelawanan dalam proses pemilu. Sejak Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, kata dia, banyak orang yang mencalonkan diri dan juga membentuk relawan-relawan pemenangan calon pada seluruh tingkat.
“Tidak masalah, cuma sejarah ini kita harus jelaskan agar tidak putus bahwa ada perubahan makna yang dulu sukarelawan dalam makna pemilu itu adalah orang-orang di tengah. Tapi kemudian belakangan partisipasi kesukarelaan juga bisa partisan,” ucap Afif.
MUHAMMAD BAQIR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini