Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUNCAK heboh penyelundupan 4.000 pucuk senapan dan 2,5 juta peluru 15 tahun silam jatuh ke titik nadir Kamis pekan lalu. Terdakwa utama, Laksamana Pertama Kumoro Utoyo, 64 tahun, dibebaskan Mahkamah Militer Tinggi I Sumatera Utara. Ketua Majelis, Brigjen. Ramzani, dalam amar putusan setebal 86 halaman menyatakan: "Semua tuduhan batal demi hukum". Dalam sidang mahkamah militer yang dibuka 27 Januari lalu, bekas gubernur Akabri Laut ini, ketika menjadi Kepala Staf Kowilhan I, didakwa terlibat penyelundupan senjata dan amunisi itu dari Jerman Barat lewat bandara Polonia Medan tahun 1977. Menurut Oditur, Brigjen M. Husni, Kumoro terlibat perkara itu bekerja sama dengan M. Zein Ilyas, direktur CV Maju Makmur, Jakarta. Oditur juga menuntut agar Kumoro dipenjara selama 1 tahun. Kisah penyelundupan senjata itu bermula dari informasi Zein awal 1976, bahwa Kadapol IV/Sumatera Bagian Selatan punya ide menarik senjata standar ABRI dari beberapa perkebunan. Zein merayu Kumoro agar penarikan senjata itu menjadi beleid Kowilhan I yang menguasai Sumatera dan Kalimantan Barat. Zein siap mengimpor senjata standar nonABRI itu (TEMPO, 1 Februari 1992). Usahanya berhasil. Sekitar 225 pucuk senjata yang dikemas dalam peti berlabel sporting goods sempat dikirim dengan pesawat SIA pada 11 dan 12 Maret 1977. Dua puluh empat pucuk senjata serupa, dengan alamat Kowilhan I, mendarat pula di Medan, 30 April 1977. Terakhir, 24 Mei 1977, sekitar 60.000 peluru didatangkan dengan pesawat JAL, seolah ditujukan ke Komdak II Sum-Ut. Namun, senjata haram ini segera tercium Mabes ABRI di Jakarta. Menhankam/Pangab Jenderal M. Panggabean, waktu itu, memerintahkan menyita senjata selundupan tersebut dan menahan Zein. Kumoro sendiri, sebagaimana terbukti di persidangan, sebelumnya pernah mengingatkan, "Bila Hankam tak menyetujui, seyogianya dibatalkan saja." Bahkan Kumoro, ketika menjadi gubernur AAL, sempat datang ke Medan menyaksikan pembatalan kontrak antara Zainuddin (Kowilhan) dan Zein pada 22 Maret 1977, setelah senjata selundupan tiba di Medan. Jadi, "Itu sepenuhnya tanggung jawab Zein," kata Ketua Majelis, Brigjen. Ramzani. Dalam amarnya, majelis juga mengakui bahwa persidangan baru dilaksanakan tahun ini. Padahal, sebelumnya Kumoro sudah diberi tahu bahwa perkaranya akan diadili 1980. Namun, panggilan pertama baru diterimanya 19 September 1990. Ia tak bisa memenuhi panggilan karena saat itu sakit. Maka, panggilan kedua pun menyusul 31 Desember 1991. Menurut KUUP Militer, tuntutan hukuman bisa gugur setelah 6 tahun bila ancaman hukuman kurang dari 3 tahun. Artinya, perkara Kumoro yang dimulai akhir 1980 itu dianggap sudah kedaluwarsa sejak 1986. Dengan demikian, kata Ketua Majelis, perkara itu "gugur demi hukum sehingga tak perlu dibuktikan". Kecuali itu, di persidangan juga terbukti bahwa Kumoro tak terlibat langsung dengan perkara penyelundupan senjata. Ia dipindahkan ke Surabaya menjadi gubernur AAL 7 April 1976, sehari setelah meneken persetujuannya. Sedangkan terdakwa utama, Zein, tak bisa dituntut karena meninggal November 1989. Kumoro tentu saja lega dengan putusan bebas itu. "Hari ini merupakan hari bahagia buat saya setelah 15 tahun menderita lahir dan batin," kata bekas komandan kompi yang selamat dalam peristiwa Arafuru yang menewaskan Komodor Yos Sudarso ketika operasi merebut Irian Barat itu. Setelah pensiun, sambil menunggu sidang perkara tersebut, laksamana berbintang satu ini sempat menjadi nakhoda kapal barang Jakarta-Jepang. Agus Basri (Jakarta) dan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo