Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang membahas nama calon gubernur dalam diskusi tentang hasil survei elektabilitas calon Gubernur Jakarta di kantor Centre for Strategic and International Studies di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Pembicara dan peserta diskusi ini adalah para konsultan politik yang menjadi penasihat calon gubernur dan hampir tiap pekan mengumumkan hasil survei mereka.
Nama calon Gubernur Jakarta baru muncul saat Direktur PT Grup Riset Potensial (GRP) Satrio Wiseno mendapat pertanyaan seberapa yakin dia terhadap kebenaran surveinya. Survei GRP, lembaga yang berdiri pada 1994, menempatkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni dengan elektabilitas tertinggi, sebesar 45 persen.
Menurut Satrio, elektabilitas Agus tertinggi karena Sylviana Murni sudah mengunjungi hampir semua kelurahan di Jakarta. Alasan kedua adalah Agus pernah aktif di militer sehingga menguasai manajemen teritori. "Ini mengapa hasil survei GRP menjadi make sense," kata Satrio, pendiri Grup Riset dan mantan dosen statistik di Institut Pertanian Bogor.
Sigi Grup Riset dilakukan pada 2-7 Januari 2017. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam surveinya hanya mendapat 23 persen suara responden. Sebetulnya hasilnya sama dengan riset Lingkaran Survei Indonesia yang digelar pada waktu yang tak jauh berbeda. Hanya, elektabilitas Agus menurut LSI cuma 36,7 persen.
Satrio mengatakan lembaganya menggunakan metode yang berbeda dibandingkan dengan lembaga riset politik lain, yakni stratified systematic sampling atau penarikan sampel bertingkat secara berurut. Dia membagi 267 kelurahan menjadi 27 kelompok berdasarkan kepadatan penduduk, luas wilayah, identitas, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Satu kelompok diisi sepuluh kelurahan berkarakter mirip.
Hasilnya, Ahok-Djarot unggul hanya di sebelas kelurahan, terutama di Jakarta Barat dan Utara. Ahok-Djarot mengimbangi Agus-Sylvi di 12 kelurahan, sedangkan Anies mengimbangi Agus di tiga kelurahan. Chief Executive Officer PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah mempertanyakan penjabaran ini. "Kalau ditarik ke kelurahan, jumlah sampelnya kecil, sehingga error-nya sangat besar," ujarnya.
Satrio menerangkan, tingkat kemiripan kelompok kelurahan pertama bakal lebih tinggi dibanding kelompok berikutnya. Dengan karakteristik yang homogen, menurut Satrio, pilihan terhadap calon gubernur cenderung sama.
Grup Riset juga meniadakan rukun tetangga dalam kelurahan terpilih sebagai sampel, seperti dilakukan lembaga riset lain. Soalnya, kata Satrio, surveyor bisa mengakali RT terpilih berdasarkan faktor tertentu, seperti kedekatan atau kemudahan akses. "Artinya, ada subyektivitas pewawancara dalam pemilihan RT," ujarnya.
Pendapat ini disanggah peneliti CSIS Indonesia, Tobias Basuki. Menurut dia, bias pewawancara bisa disiasati jika RT diurutkan berdasarkan alfabet.
Satrio tak berhenti. Ia menjelaskan langkah berikutnya, yakni penentuan responden menggunakan rumah ketua rukun warga sebagai titik awal, lalu membagi total rumah di RW tersebut dengan jumlah sampel yang hendak diwawancarai. Bagaimana pencarian responden setelah itu, Satrio tak menjelaskannya.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting, Deni Irvani, mempertanyakan model pengambilan sampel yang menjadikan rumah ketua RW sebagai titik pijak. Soalnya, kata dia, mengurutkan dan mengacak responden bisa bias karena sampel cenderung homogen. "Ada potensi pilihan sampel mirip dengan ketua RW," ujar Deni.
Deni juga menanyakan metode stratified systematic sampling. Dengan metode ini, GRP mengambil responden tiga tingkat: kelurahan, RW, dan responden. Menurut Deni, hal ini sama dengan metode multistage random sampling.
Deni juga mengkritik ketidakterbukaan Grup Riset menampilkan bentuk pertanyaan dan urutannya. Soalnya, kata dia, pertanyaan dan urutan akan mempengaruhi jawaban responden. Satrio tak menanggapi soal daftar pertanyaan ini. Namun, dia menegaskan, lembaganya siap buka-bukaan soal metodologi.
PolMark Research Center, konsultan politik Anies-Sandiaga, memenangkan jagonya dalam survei 6-12 Januari lalu dengan elektabilitas 25,3 persen, disusul Agus-Sylvi 23,9 persen, lalu Ahok-Djarot 20,4 persen. Eep menjelaskan, mereka memakai 1.200 responden yang diambil dengan metode acak bertingkat.
Hasilnya, kata Eep, ada 23 persen responden yang merahasiakan pilihannya. Surveyor PolMark mengejar responden dengan pertanyaan seberapa besar kemungkinan memilih salah satu calon. Menurut Eep, hasilnya tetap proporsional, yakni Anies-Sandi 6,4 persen, Ahok-Djarot 4,2 persen, dan Agus-Sylvi 6 persen.
Sebanyak 6,4 persen tetap tidak menjawab. Hasil itu kemudian dijumlahkan dengan elektabilitas yang telah diperoleh setiap calon. "Kami menyebut ini sebagai potensi elektabilitas," ujar Eep.
PolMark berencana kembali menggelar survei pada awal Februari mendatang. Saat itu, kata Eep, mereka menggunakan cara lain untuk mengejar jawaban responden yang merahasiakan pilihan. PolMark akan meminta responden memilih calon di tempat tertutup dan memasukkan kartu pilihannya ke kotak suara. "Ini untuk memperkecil undecided voter," ujarnya.
Hasil Indikator Politik Indonesia setelah debat pertama dua pekan lalu lain lagi. Elektabilitas Basuki-Djarot naik secara signifikan. "Suara Ahok cukup aman untuk putaran kedua, tapi belum cukup nyaman untuk menang satu putaran," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Indikator memberi pembobotan data berdasarkan proporsi populasi dan kelompok usia. Pembobotan terutama untuk variabel etnis dan agama. Burhanuddin menjelaskan, dua variabel ini umumnya sangat kuat mempengaruhi preferensi pemilih. "Dua variabel ini umumnya lebih stabil, tidak berubah dalam jangka waktu panjang," ujarnya.
Agar akuntabilitasnya terjaga, Eep meminta tiap lembaga survei mempublikasikan penyandang dananya. Sejak awal, Eep tak menutupi ia menjadi konsultan politik Anies. Ia pula yang merancang metode kampanye dan cara menggaet pemilih.
Menurut Eep, untuk wilayah Jakarta, dengan 9,7 juta pemilih, biaya sekali survei dengan 800 responden sekitar Rp 100 juta dan dengan 1.200 sampel Rp 150 juta. Burhanuddin mengakui surveinya dibiayai pihak ketiga. "Dalam kode etik, diperbolehkan tak menyebutkan klien kami," katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Phillip J. Vermonte berharap Komisi Pemilihan Umum membuat aturan untuk lembaga survei. Menurut dia, banyak lembaga survei yang tak bernaung di bawah Persepi. Akibatnya, metodologi mereka tak bisa diaudit. "Mereka yang hendak mempublikasikan survei harus bersedia menyerahkan data mentah," ujar Phillip.
Wayan Agus Purnomo
Satu Kota Hasil Tak Sama
Lembaga-lembaga survei politik bergiliran mempublikasikan hasil siginya untuk mengukur elektabilitas calon Gubernur Jakarta. Satu lembaga menyebutkan Agus Harimurti unggul, lembaga lain menahbiskan Anies Baswedan sebagai calon yang paling tinggi keterpilihannya. Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, survei yang dilakukan dalam rentang waktu yang tak berjauhan seharusnya menghasilkan data yang tak jauh berbeda.
Poltracking Indonesia 9-13 Januari 2017
Responden: 800 orang
Rentang kesalahan: 3,46 persen
Metodologi: multistage random sampling
Tahapan
1. Pemilihan semua kecamatan.
2. Pengacakan kelurahan terpilih (per kelurahan terpilih dicari 10 responden, 5 laki-laki dan 5 perempuan).
3. Di tiap kelurahan, dilakukan pengacakan untuk menentukan lima rukun tetangga terpilih.
4. Pendaftaran populasi per RT, kemudian pengacakan. Dipilih dua responden, laki-laki dan perempuan.
Hasil
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 30,25%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 28,88%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 28,63%
Belum menentukan: 12,24%
Tren elektabilitas (November)
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 27,92%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 22%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 20,42%
Belum menentukan: 29,66%
PolMark Research Center (Tim Anies-Sandi) 6-12 Januari 2017
Responden: 1.200 orang
Rentang kesalahan: 2,9 persen
Metodologi: multistage random sampling
Hasil
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 23,9%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 20,4%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 25,3%
Belum menentukan: 30,4%
(SETELAH DEBAT PERTAMA)
Indikator Politik 12-20 Januari 2017
Responden: 808 orang
Data yang dianalisis: 697 (responden asli)
Rentang kesalahan: 3,8 persen
Metodologi: stratified multistage random sampling
Tahapan
1. Desa/kelurahan diacak di setiap kota, proporsional sesuai dengan jumlah penduduk.
2. Di setiap kelurahan terpilih, ditentukan secara acak lima RT terpilih.
3. Di setiap RT terpilih, ditentukan populasi, kemudian diacak untuk menentukan dua KK terpilih.
4. Di setiap KK terpilih, dikumpulkan daftar anggota KK yang telah memiliki hak pilih, kemudian diacak untuk menentukan satu responden terpilih.
Elektabilitas
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 23,6%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 38,2%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 23,8%
Belum menentukan: 14,5%
Tren Elektabilitas
November 2016
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 30,4%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 26,2%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 24,5%
Belum menentukan: 18,9%
Desember 2016
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 26,5%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 31,8%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 23,9%
Belum menentukan: 17,8%
Januari 2017
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 23,6%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 38,2%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 23,8%
Belum menentukan: 14,5%
Populi Center
Waktu survei: 14-19 Januari 2017
Jumlah responden: 600 orang
Rentang kesalahan: 4 persen
Metodologi: multistage random sampling
(Sunny Tanuwidjaja, anggota Staf Khusus, menjadi anggota Dewan Penasihat)
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni: 25%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat: 36,7%
Anies Baswedan-Sandiaga Uno: 28,5%
Belum menentukan: 9,8%
Mengapa hasil survei berbeda?
"Yang berpotensi membuat berbeda adalah metodologi atau desain pertanyaan."
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi
"Tergantung waktu survei. Tapi ada manipulasi dengan mengotak-atik margin of error. Ketika satu calon dinaikkan, harus ada yang diturunkan. Manipulasi di hilirnya."
Chief Executive Officer and Founder PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo