Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) sudah merumuskan penyelesaian secara non-yudisial terhadap 14 pelanggaran HAM berat. Ketua Tim PPHAM, Makarim Wibisono, menyerahkan rumusan serta rekomendasi tersebut kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makarim mengatakan laporan Tim PPHAM berisi analisis atas pelanggaran HAM berat masa lalu, rekomendasi pemulihan korban, dan pencegahan agar kejadian serupa tak terulang di masa mendatang. "Kami menyusunnya dalam satu buku," kata Makarim di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis, 29 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan, salah satu poin rekomendasi yang tertuang dalam laporan Tim PPHAM adalah mendorong negara mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, sampai sekarang, negara tak mengakuinya meski Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah menetapkannya sebagai kejahatan kemanusiaan berat masa lalu. Rekomendasi lainnya adalah Presiden Joko Widodo meminta maaf atas nama negara terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut.
Makarim berharap pemerintah menerima rekomendasi ini dan menjadi pegangan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berikutnya.
Tim PPHAM telah bekerja selama tiga bulan sejak September lalu, yang bertugas merumuskan penyelesaian secara non-yudisial atas kejahatan HAM masa lalu yang sudah ditetapkan Komnas HAM masuk kategori pelanggaran HAM berat. Tercatat ada 14 kasus pelanggaran HAM berat temuan Komnas HAM. Sejumlah kasus itu adalah pembantaian setelah G30S (1965-1966); peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara (1984); peristiwa Talangsari, Lampung (1989); peristiwa Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh (1989-1999); penculikan aktivis (1997-1998); kerusuhan Mei (1998); serta peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II (1997-1998).
Selanjutnya, pembantaian dukun santet di Jawa Timur (1998-1999); insiden Simpang KKA, Aceh (1999); pembunuhan pasca-jajak pendapat Timor Timur (1999); kasus Abepura, Papua (2000); kasus Wasior-Wamena, Papua (2001-2003); kasus Jambo Keupok, Aceh (2003); dan kasus Paniai, Papua (2014).
Aksi terkait dengan peristiwa kemanusiaan korban mutilasi warga Nduga di kantor Komnas HAM, Jakarta, 7 September 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Mahfud mengapresiasi laporan Tim PPHAM. Ia mengatakan rekomendasi tim sudah sesuai dengan mandat yang diberikan, yaitu mengungkap dan menganalisis faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu, pemulihan korban atau keluarga korban, serta upaya mencegah pelanggaran HAM berat tidak terulang di masa depan.
Ia kembali menekankan bahwa Tim PPHAM hanya merumuskan penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran HAM berat yang sudah diputuskan oleh Komnas HAM. Adapun instrumen hukum penanganan pelanggaran HAM di masa depan adalah melalui pengadilan HAM di bawah Mahkamah Agung. "Tim ini tidak mencari siapa yang salah karena hanya menangani korban untuk dilakukan pemulihan sosial, politis psikologis, dan sebagainya," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, Tim PPHAM sempat berdebat panjang mengenai rumusan rekomendasi tersebut. Perdebatan terjadi karena anggota tim berasal dari latar belakang dan keilmuan yang beragam, serta masing-masing bersifat independen. Bahkan tim mencari berbagai kemungkinan penyelesaian dari pelbagai ketidakmungkinan. "Selama ini tidak mungkin dilakukan karena banyak hal, lalu dicari kemungkinannya, dan ini yang disampaikan dalam laporan tim," ujar Mahfud.
Di samping itu, kata Mahfud, Tim PPHAM sempat menemui kendala dalam mengumpulkan data korban karena tidak tersedia secara komprehensif. Data korban dari Komnas HAM dianggap kurang lengkap. Data korban yang diperoleh tim juga kerap terdistorsi atau sudah ditafsirkan dengan berbagai opini. “Dari situ, tim kemudian menggali lagi untuk memastikan data yang benar,” kata dia.
Kendala lainnya, Tim PPHAM mendapati ada lembaga yang tertutup, padahal institusi itu mempunyai data pembanding. Data yang diminta itu mengenai kejahatan HAM di masa lalu sebelum terbitnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Karena itu, kata dia, banyak data dan dokumen yang tidak boleh dibuka sampai batas waktu tertentu.
Tim PPHAM juga mendapati sebagian korban yang kurang percaya dengan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat. Sebagian korban menganggap pemerintah terlalu banyak bicara, tanpa langkah penyelesaian yang konkret. Lalu tidak semua keluarga korban pelanggaran HAM berat bersedia diungkap identitasnya.
Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, 25 November 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Mahfud kembali menegaskan, rekomendasi Tim PPHAM ini bukan berarti meniadakan proses yudisial terhadap 14 pelanggaran HAM berat tersebut. Ia mengatakan proses yudisial pelanggaran kemanusiaan itu tetap mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini berdalih pemerintah membentuk Tim PPHAM karena upaya mengajukan pelanggaran HAM berat ke pengadilan selalu gagal. Mahfud mencatat, sampai sekarang, pengadilan sudah membebaskan 35 orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat karena kekurangan bukti.
Masalah utamanya karena ada perbedaan standar hukum acara. Misalnya, cara Komnas HAM menemukan bukti dalam penyelidikan, yaitu hanya dengan menyimpulkan kejadian terjadi. Sedangkan Kejaksaan Agung mempertanyakan bukti, visum, pelaku langsung, dan korban. "Itu tidak ketemu menggunakan ukuran standar pelanggaran HAM berat,” kata Mahfud. “Itu yang terus kami olah karena ini tanggung jawab negara."
HENDARTYO HANGGI | FAJAR PEBRIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo