Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Empat menguak rotan

Empat gubernur sekalimantan mengimbau agar larangan ekspor rotan setengah jadi ditinjau kembali. karena dampaknya harga rotan langsung anjlog. menurut bob hasan larangan ekspor memberikan nilai +.

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK boleh ekspor rotan, mengimbau pun jadi. Tampaknya, itulah yang dilakukan oleh empat gubernur se-Kalimantan. Mereka, pertengahan Januari 1991 silam, kompak menyerukan imbauan agar larangan eskpor rotan setengah jadi ditinjau kembali. Dan imbauan itu, jangan kaget, "ditembakkan" dari Markas Komando Daerah (Kodam) VI/Tanjungpura, Balikpapan. Ketika itu, sebenarnya sedang berlangsung Rapat Pimpinan (Rapim) Kodam VI/Tanjungpura. "Ini adalah tindak lanjut Rapim ABRI dan Seminar TNI-AD di Jakarta tahun lalu," kata Panglima Kodam VI/Tanjungpura Mayjen. Z.A. Maulani. Para gubernur terlibat dalam rapim itu, ujar Panglima, karena ada kaitannya dengan tugas Kodam sebagai penegak keamanan dan teritorial di wilayah Kalimantan. "Itu makanya para gubernur kami undang untuk mengetahui masalah yang mereka hadapi," tutur Maulani lagi. Maka, terlontarlah soal dampak larangan ekspor rotan setengah jadi yang sudah menjadi beleid Departemen Perdagangan sejak 1 Juli 1988 silam. Menurut Maulani, sejak dikeluarkannya larangan itu, harga rotan langsung anjlok. Apalagi sebelumnya, pada tahun 1986 ekspor rotan mentah juga diharamkan. Harga rotan -- sebelum larangan itu keluar -- sempat tercatat Rp 150 ribu/kuintal. Tapi, setelah larangan yang beruntun itu keluar, harganya rontok menjadi Rp 8-10 ribu/kuintal. Kini, harganya memang sudah agak mendingan: Rp 30 ribu/kuintal. "Tapi, itu tetap masih jauh dari batas kewajaran," ujar Maulani. Akibatnya, lihat saja industri rotan di Kalimantan Selatan. Di sana, setelah diberlakukannya larangan ekspor rotan setengah jadi itu, menurut Maulani, ada 10 industri rotan anyaman ( webbing) yang terhenti produksinya. "Padahal, tanpa menghitung inflasi, satu industri tadi nilainya mencapai Rp 1 milyar," ujarnya. Ini belum lagi kalau dikaitkan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap. Setiap industri ditaksir mampu mempekerjakan sampai 300 orang. Di Kalimantan Timur, sebelum ekspor diharamkan, juga sempat berdiri delapan buah industri buat rotan setengah jadi dengan total investasi sekitar Rp 3,3 milyar dan menyerap ribuan tenaga kerja. Ketika itu ekspornya -- baik rotan jadi maupun setengah jadi -- ke mancanegara sempat mencatat lebih dari US$ 2,3 juta. Celakanya, industri lampit juga ikut-ikutan kelimpungan. Tikar lampit, yang dahulu sempat laku keras di Jepang, kini malah lesu. Permintaan dari sana tak lagi "meledak" seperti dahulu. Pendapatan dari sektor ini di Kal-Tim saja, misalnya, tahun lalu cuma bisa meraup devisa US$ 0,5 juta -- atau hanya sekitar kurang dari seperempat pemasukan sebelum larangan ekspor diberlakukan. Sudah ekspor dilarang, membangun industri rotan di Kalimantan pun juga tampaknya seret. Maka, Gubernur Said pun tak ketinggalan mengimbau agar izin mendirikan industri rotan di Pulau Jawa disetop saja. "Lebih tepat kalau membangun industri rotan di Kalimantan yang dekat dengan bahan bakunya," katanya. Cuma repotnya, seperti yang diakui oleh Gubernur Kal-Sel tadi, pelabuhan di Banjarmasin tak memadai untuk menggalakkan ekspor. Misalnya saja di sana tak ada fasilitas untuk mengangkut peti kemas. "Terserah kalau saya dituding: terlalu jauh ke dunia bisnis. Sebab, di belakang rotan itu ada sekian ribu mulut yang minta makan," kata Gubernur Kalimantan Tengah Soeparmanto. Sepanjang tahun lalu, ia bersafari rotan mengunjungi Banjarmasin, Surabaya, bahkan sampai ke Sumatera untuk membuka pasar rotan. Peraturan Departemen Perdagangan itulah yang kemudian ditudingnya sebagai biang keladi macetnya industri rotan di wilayahnya. "Tuhan memberikan potensi sumber dan sumber daya alam yang besar buat Kalimantan Tengah. Tapi kalau tak dimanfaatkan, ya tak punya arti apa-apa," keluh Soeparmanto. Singkatnya, wajah industri rotan di Kalimantan jadi loyo. Pengangguran gara-gara rontoknya industri rotan pun sudah mulai merebak ke mana-mana. Maka, seperti kata Said, "Adalah bijaksana kalau kebijaksanaan soal rotan saat ini ditinjau kembali." Imbauan ini tampaknya disambut gembira masyarakat. "Kodam memberikan dukungan penuh terhadap seruan gubernur tersebut," kata Panglima Maulani. Sulawesi Selatan, daerah yang juga terkenal hasil rotannya, agaknya juga mengalami nasib yang sama. Sejak peraturan pelarangan ekspor itu dikeluarkan, setidaknya tercatat ada sekitar 20 perusahaan industri rotan setengah jadi gulung tikar. Karena itu, ada yang menebak-nebak, tak lama lagi para gubernur di sana juga akan mengambil langkah serupa seperti rekan mereka di Kalimantan. Tampaknya, Departemen Perdagangan, yang di-"tembak" oleh empat gubernur se-Kalimantan tadi, bersikap tenang-tenang saja. "Saya membaca masalah itu dari koran. Jadi, belum tahu persisnya apa," kata Menteri Perdagangan Arifin Siregar. Lain lagi komentar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Rotan Bob Hasan. Ia tampaknya yakin bahwa isu soal larangan ekspor rotan itu tak mungkin dicetuskan oleh empat gubernur se-Kalimantan tadi. "Yang bikin ramai itu pedagang-pedagang rotan dan koran. Bukan gubernurnya," katanya. Menurut dia, larangan ekspor itu memang ditujukan untuk memberikan "nilai tambah" buat industri rotan Indonesia. Catatan Bank Indonesia tampaknya mendukung pernyataan Bob. Pada 1986, ekspor rotan mencapai US$ 96 juta dengan volume sekitar 114.000 ton. Ketika larangan ekspor rotan mentah diberlakukan pada tahun berikutnya, nilai eskpor rotan malah meningkat menjadi hampir US$ 150 juta dengan volume rotan lebih dari 130 ribu ton. Tahun 1989, nilai ekspor rotan tetap stabil sekitar US$ 151 juta. Namun, volume rotannya menyusut: cuma sekitar 54.000 ton. Tahun lalu, setelah larangan ekspor rotan setengah jadi diberlakukan, nilai ekspornya makin meningkat menjadi US$ 156 juta. Dan volume rotannya hanya 60.000 ton. Memang lain di kertas, lain di hutan. Soalnya kini, lalu siapa yang menikmati "nilai tambah" itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus