Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Belum Aman Layanan Aborsi Aman

Pemerintah belum menunjuk fasilitas layanan untuk aborsi aman. Sistem memaksa korban pemerkosaan melanjutkan kehamilan. 

27 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Korban pemerkosaan sulit mengakses layanan aborsi aman.

  • Pemerintah belum menunjuk fasilitas kesehatan yang dapat memberikan layanan aborsi aman.

  • Korban pemerkosaan dipaksa oleh sistem untuk melanjutkan kehamilan.

Layanan aborsi aman hingga saat ini belum dapat diakses oleh perempuan korban kekerasan seksual. Padahal Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur praktik aborsi aman bagi korban pemerkosaan. Namun Kementerian Kesehatan tak kunjung menunjuk fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan aborsi aman sehingga implementasi undang-undang tersebut sulit dijalankan. Korban kekerasan seksual, termasuk anak-anak, terpaksa menjalani penderitaan panjang karena harus melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan.

Koran Tempo bersama Project Multatuli dan Konde.co membuat liputan bersama tentang aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Liputan ini dilaksanakan pada Juli-September 2023 dan difasilitasi Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (Ipas) Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada isu kesehatan reproduksi perempuan dan remaja perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang bocah perempuan di Jombang, Jawa Timur, menjadi korban pemerkosaan. Malapetaka yang terjadi pada 2021 itu terungkap setelah korban merasakan sakit pada bagian intim kewanitaannya. Ia menyampaikan keluhan itu kepada sang bunda. Dari pemeriksaan medis diketahui anak berusia 12 tahun itu telah hamil. Usia kandungannya diperkirakan memasuki pekan keenam. 

Korban mengungkapkan tiga kali disetubuhi oleh tetangga mereka, pria berusia 55 tahun. Perbuatan bejat itu terjadi sejak April 2021. Korban selama ini tidak berani bicara karena diancam pelaku. Berdasarkan pengakuan itu, keluarga lantas membuat laporan ke polisi pada 10 Juli 2021. Orang tua juga meminta pendampingan dari Women's Crisis Center (WCC) Jombang. “Mereka melapor ke kami pada 12 Juli 2021,” kata Direktur WCC Jombang, Anna Abdillah, pada Agustus lalu. “Keluarga menjalani konseling untuk korban dan mencarikan solusi atas kehamilannya.”

Direktur Eksekutif WCC Jombang Ana Abdillah. Dok. Pribadi

Menurut Anna, korban masih sangat belia dan belum siap secara mental untuk memiliki bayi. Atas pertimbangan itu, keluarga bersepakat menggugurkan kandungan korban. Mereka meminta surat keterangan dari Polres Jombang tentang pemerkosaan yang dialami korban. Surat itu dibutuhkan untuk mendapatkan layanan aborsi aman di fasilitas kesehatan. Namun permintaan itu tidak dipenuhi. Alasannya, polisi tidak memiliki prosedur untuk mengeluarkan surat tersebut. “Sistem tidak mendukung, korban dipaksa oleh sistem untuk melanjutkan kehamilan,” kata Anna.

Singkat cerita, korban akhirnya melahirkan. Bayinya diserahkan ke sebuah panti asuhan. "Dia enggak mungkin merawat bayi itu karena pasti selalu teringat oleh perbuatan pelaku,” kata Anna. Korban menderita trauma berat dalam waktu yang panjang. Bahkan hingga saat ini korban masih menjalani konseling untuk memulihkan trauma. "Kami berupaya mendorong korban untuk mengejar impiannya melalui pendidikan."   

Kisah yang hampir mirip disampaikan oleh Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang. Seorang remaja putri penyandang disabilitas ganda (mental dan tuli) tiba-tiba kedapatan hamil pada 2021. Karena keterbatasan mental, remaja itu tidak bisa mengungkapkan siapa lelaki yang telah menghamilinya. Maka, ketika kasus ini dilaporkan, polisi pun kesulitan menangkap pelaku.  

Demi kebaikan korban, orang tua meminta layanan aborsi secara legal. Namun permintaan itu tidak bisa dipenuhi. Kepolisian justru menyarankan agar korban melanjutkan kehamilan. "Mereka bilang belum ada pengalaman,” kata Rara. “Mereka juga tak tahu lembaga mana yang bisa dirujuk untuk rumah sakit karena harus ada pengesahan pengadilan."  

Tuani Sondang, dari LBH APIK Jakarta, mengatakan aborsi memang menjadi isu sensitif. Masyarakat masih memberikan stigma negatif pada praktik aborsi, tak terkecuali pada korban kekerasan seksual. Pandangan itu juga merasuk di institusi kepolisian. Ujungnya, perspektif yang berpihak kepada korban selalu dikesampingkan. “Padahal, dalam kehamilan tidak diinginkan, ada kondisi medis dan psikologis korban pemerkosaan yang perlu diperhatikan," kata Tuani. 

Di sisi lain, Tuani menyadari, kepolisian memiliki dilema karena tidak memiliki prosedur untuk memberikan layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan. Karena itu, dengan berbagai alasan, polisi kerap menolak memberikan surat keterangan bagi korban agar bisa mengakses layanan aborsi secara legal. 

Ilustrasi korban pemerkosaan. Shutterstock

Surat keterangan yang dimaksudkan Tuani itu sebenarnya untuk mempertegas bahwa korban telah mengalami pemerkosaan. Penegasan ini dibutuhkan agar tenaga medis di fasilitas kesehatan memiliki dasar untuk menjalankan aborsi. Namun polisi tidak berani mengeluarkan surat keterangan tersebut karena penegasan tentang ada-tidaknya kekerasan seksual harus ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan. “Kalau harus mengikuti prosedur hukum normal, sudah pasti lama. Sedangkan usia kandungan terus berkembang,” katanya. “Kepolisian seharusnya memiliki prosedur khusus untuk korban pemerkosaan. Misalnya menyediakan alur untuk memberikan alat kontrasepsi darurat dengan cepat.” 

Ketentuan aborsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pada Pasal 31 ayat 1 dinyatakan tindakan aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan. Adapun pada ayat 2 disebutkan, tindakan aborsi pada korban pemerkosaan hanya bisa dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari atau sekitar 6 minggu. 

Aturan tersebut semakin mempersulit korban pemerkosaan mendapatkan layanan aborsi aman. Sebab, faktanya, banyak korban yang telat menyadari kehamilannya. Tubuh mereka baru memperlihatkan gejala kehamilan justru setelah usia kandungan lebih dari 40 hari. Dengan kondisi itu, fasilitas kesehatan tentu tidak berani mengambil tindakan aborsi karena bertentangan dengan hukum.   

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 9 Maret 2022 telah menerbitkan panduan baru tentang Abortion Care. Dalam panduan tersebut terdapat penekanan untuk menghapus ketentuan hukum yang membatasi aborsi berdasarkan usia kehamilan. WHO menilai pembatasan itu tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan. Sebab, dengan kemampuan teknologi saat ini, aborsi aman dapat dilakukan hingga usia kehamilan 28 minggu.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) daerah Jawa Tengah, Elisabeth Widyastuti, selain regulasi, layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan kerap berbenturan dengan sumpah dokter yang berupaya menghargai kehidupan mulai dari pembuahan. Dia menilai sumpah dokter yang menjadi kode etik itu sudah saatnya diperbarui. Sebab, kondisi medis dan psikologis korban pemerkosaan tidak bisa disamakan dengan kondisi normal. “Korban pemerkosaan akan mengalami penderitaan bila kehamilan dilanjutkan,” ujarnya. 

Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Fadil Imran, menyadari kelemahan anak buahnya dalam melayani korban kekerasan, terutama anak dan perempuan. Kelemahan itu muncul karena selama ini penanganan semua kasus diperlakukan secara umum. Padahal, ketika anak dan perempuan menjadi korban, seharusnya mereka mendapat penanganan khusus. Sebab, mereka bukan hanya rentan mengalami penderitaan secara psikis dan traumatik berkepanjangan. 

Untuk membenahi kelemahan itu, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya telah meluncurkan buku Panduan dan Bimbingan SOP (prosedur operasional standar) Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Dengan panduan ini diharapkan jajaran kepolisian di Polda Metro Jaya tidak lagi keliru dalam menangani anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. “Saya berharap, dengan terbitnya buku ini, kasus-kasus viktimisasi sekunder yang sering terjadi di kantor-kantor kepolisian, seperti pengabaian laporan atau bentuk kurang sensitif dalam mencari barang bukti, tidak terjadi lagi,” kata Fadil Imran.

Untuk wilayah hukum Polda Metro Jaya, pembenahan telah dimulai dari petugas di sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT). Mereka mendapat prioritas karena bertugas menerima laporan dari masyarakat. Unit-unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) juga akan diisi oleh petugas-petugas yang andal. ”PPA bukan hanya kuat di Polda. PPA bukan tempat orang-orang bermasalah. Stigma itu harus dibuang jauh di Polda Metro Jaya,” kata Fadil.  

Diskusi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja dengan 34 Puskesmas salah satunya tentang aborsi aman di Jombang, 27 September 2023. Dok. Pribadi

Peneliti dari  Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, berpendapat kendala utama untuk memberikan layanan aborsi aman kepada korban pemerkosaan sebenarnya berada di tangan pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 disebutkan pelayanan aborsi aman harus diselenggarakan di fasilitas kesehatan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Fasilitas kesehatan itu dapat berupa puskesmas, klinik pratama, klinik utama atau yang setara, dan rumah sakit. “Tapi sampai sekarang fasillitas kesehatan itu belum ditunjuk,” kata Maidina. “Jadi, meskipun rumah sakit memiliki unit PPA, ia tidak akan bisa memberikan layanan aborsi aman.”  

Kementerian Kesehatan tidak menanggapi sejumlah pertanyaan yang diajukan tim peliput. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, pada 21 September lalu, justru mengeluarkan siaran pers tentang pembahasan kesehatan reproduksi dalam rangkaian uji publik rancangan peraturan pemerintah. Pembahasan ini melibatkan berbagai elemen, termasuk ahli kesehatan, akademikus, pemerhati disabilitas, dan aktivis perempuan. Isu aborsi menjadi salah satu topik yang dibahas secara khusus. 

Dalam siaran pers itu tersirat, Kementerian Kesehatan memang belum menetapkan fasilitas kesehatan yang bisa memberikan layanan aborsi aman. Setidaknya hal itu terlihat dari sejumlah usulan yang meminta pemerintah menunjuk langsung fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang berhubungan dengan aborsi aman. Penunjukan langsung ini dianggap penting untuk memberikan pelindungan hukum kepada petugas medis yang menjalankan praktik aborsi secara legal. 

Oktavinda Savitry, dokter senior di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), menegaskan saat ini nyaris tidak ada dokter yang berani memberikan layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan ataupun kekerasan seksual. Sebab, meskipun undang-undang mengizinkan, belum ada aturan teknis yang bisa digunakan sebagai acuan. "Dokter enggak bisa bergerak karena bisa dituntut pidana,” katanya. “Itu yang membuat dokter menjadi takut."   

SUSENO | HENDRIK YAPUTRA

 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus