Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bencana pesawat pembawa kambing

Pesawat Airfast yang hilang dalam penerbangan Ujungpandang-Sselaparang,Lombok, ditemukan oleh Tim SAR di Gunung Sangkareang. semua penumpang tewas. Sebagian korban berasal dari Bali.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA plong dan tegang mewarnai lapangan sepak bola Desa Anyar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Sabtu siang lalu. Lega karena 19 jenazah korban pesawat milik PT Airfast, yang jatuh 25 Januari lalu, akhirnya bisa ditemukan. Suasana mencekam karena mayat korban -- sebagian berasal dari Bali dan beragama Hindu -- yang terbungkus plastik putih, tak segera dibolehkan dilihat keluarganya. "Kami harus melihatnya. Ini kepercayaan orang Bali. Kalau memang sudah tak utuh lagi, tidak boleh dibawa pulang," ujar keluarga korban. Namun, akhirnya Komandam Korem 162/Wirabhakti Kol. Samsoedin membolehkan jenazah diintip. Dan upacara pun berlangsung memilukan tapi tertib. Dupa dan canang, perlengkapan persembahyangan Hindu, dibawa keluarga korban ke arah jenazah. Memang benar, semua korban rata-rata telah hancur. Kapten pilot Bambang Kuncahyono, dengan 7.000 jam terbang, sebenarnya biasa mengarungi kawasan Lombok. Tapi, menurut beberapa ahli, aral menimpa pesawat -- dalam penerbangan Ujungpandang-Selaparang, Lombok -- itu diduga karena cuaca. Saat itu, sesuai dengan data yang diterima Badan Meteorologi Denpasar dari Badan Meteorologi Melbourne, Australia, dan foto satelit Jepang, bagian selatan Lombok berselimut siklon. Pada jarak 180 mil laut, seputar tempat kejadian, kecepatan angin kencang mencapai 40 knot. Akibatnya, tekanan udara menjadi rendah. Diduga, Bambang Kuncahyono dan Iwan Olczewskki, kopilotnya, terkecoh mengukur ketinggian pesawat. Karena efek siklon, angka fiktif bisa saja muncul pada penunjuk ketinggian pesawat. Dugaan lain, awak pesawat Hawker Siddelely BAe 748 PK OBW itu telah melampaui batas 11 jam terbang. Menurut Erlangga Surya Darma, Direktur Operasional PT Airfast, "Sehari itu, ada tiga kali penerbangan. Kontrak dengan Merpati, untuk rute Sentani-Wamen. Selanjutnya melayani Bulog. Total melebihi 12 jam terbang." Hal lain, bahwa pesawat jenis itu tak dilengkapi radar, yang diperlukan untuk menguak kabut tebal. Ditambah lagi Bandara Selaparang tak punya VOR (Very High Omny Range), sebagai alat bantu navigasi mencapai sasaran. Pesawat yang semula akan mengangkut 700-an ekor kambing itu dinyatakan hilang. Lantas, tim SAR dibentuk. Pasukan Skuadron Paskhas 464 TNI-AU sebanyak 6 orang khusus didatangkan dari Pangkalan Abdurachman Saleh, Malang. Empat pesawat Casa 212 dari TNI-AU, AL, AD, dan MNA, plus helikopter milik PT Airfast juga siap beroperasi. Mayor Rachmat Hidayat, Komandan Pangkalan Udara Rembiga Mataram, ditugasi memimpin tim itu. Titik terang muncul setelah staf Kantor Camat Sambelia mengaku pernah mendengar deru pesawat sekaligus ledakan di hutan. Helikopter yang lebih lincah, HU-411 milik TNI-AL, dikirim dari Pangkalam Armada Timur Surabaya. Selasa pagi, 30 Januari 1990, pesawat ini mulai mengudara dari Rembiga. Setelah mondar-mandir di ketinggian 7.000 kaki, heli membelok ke arah barat. Di atas Gunung Sangkareang, tiba-tiba angin kencang menyapu awan tebal yang menyelimuti tebing. Saat itulah Lettu. Doddy Hernawan, kopilot helikopter itu, terkesima. "Coba lihat titik putih itu," teriaknya hampir tak percaya kepada pilot Mayor Budiharto. Kepastian runtuhan pesawat ditemukan. Tim SAR mulai sibuk diterjunkan ke lokasi. Pesawat hancur total dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Tim sebanyak 12 orang, dipimpin Letda. Pol. Maman Hernawan, berupaya menaikkan mayat yang membusuk. Sampai Sabtu petang, dengan tiga kali penerbangan heli, mayat selesai diangkat. Sebelas korban yang beragama Hindu dimakamkan di Bayan. Sisanya, termasuk pilot dan kopilot, dikirim ke keluarga masing-masing. "Kami pasti tangani semua korban. Plus asuransinya," ujar Frank D. Reuneker, Presdir PT Airfast Indonesia, kepada TEMPO. Linda Djalil (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), dan Supriyanto K. (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus