HAKIM Tedja Kusumah, memang tidak kelihatan garang ketika membacakan vonis bagi terdakwa Arnold Purba. Bahkan, wajahnya tampak bersemu merah, suara parau, beberapa kali mengatupkan bibir dan mengusap air mata pada akhir persidangan "Peristiwa 5 Agustus" di Bandung. Terdakwa, Arnold, bersikap sebaliknya. Bekas mahasiswa Geofisika ITB, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung pekan lalu karena terlibat demonstrasi mengkritik kunjungan Mendagri Rudini, itu kelihatan percaya diri dan santai. Sekali-sekali kepalanya dilongokkan ke belakang, melempar senyum kepada kawan-kawannya. Tapi di penghujung sidang, Arnold -- yang biasa dipanggil Ucok -- terkesiap. Ternyata hakim menjatuhkan vonis setahun lebih tinggi ketimbang tuntutan jaksa Amrizal Syahrin. "Tiga tahun penjara potong tahanan," kata hakim Tedja Kusumah. Ucok kontan menyatakan banding. Telah enam bulan Ucok berada dalam tahanan. Dia diciduk pihak keamanan pada 7 Agustus, dua hari setelah aksi demo sejumlah mahasiswa ITB. Teman-temannya yang ditahan, seluruhnya ada 11 orang. Arnold kemudian dipecat ketika berada di tahanan. Pengacaranya, Anwar Sulaeman, lantas membandingkan hukuman itu dengan vonis terhadap pelaku demo mahasiswa ITB tahun 1978. Menurut Anwar, para pelaku demo 1978 itu tak ada yang dijatuhi hukuman sampai tiga tahun. "Padahal, mereka lebih galak dan nyata-nyata menyerang Pemerintah," ujarnya. Anwar menyesalkan pula, bahwa hakim tak memperhatikan "vonis pecat" terhadap Ucok. Arnold, menurut hakim, terbukti sebagai salah satu arsitek unjuk rasa "anti-Rudini" itu. Dia ikut dalam rapat 4 Agustus malam untuk memutuskan aksi itu. Atas tindakan itu, Arnold dijerat jaksa dengan tuduhan mengumbar rasa permusuhan, kebencian, dan merendahkan martabat Pemerintah di depan umum. Rupanya, hakim Tedja Kusumah justru melihat hal-hal yang memberatkan pada terdakwa. Antara lain eksepsi terdakwa yang dinilai memusuhi Pemerintah, dan perilaku terdakwa di persidangan, yang dinilai kurang simpatik. Maka, jatuhlah vonis tiga tahun itu. Eksepsi Arnold, sebagaimana "tradisi" eksepsi aktivis mahasiswa yang dulu-dulu, memang galak bunyinya. Dalam pembelaan itu, misalnya, Arnold menuding forum pengadilan sebagai arena sandiwara dengan hakim dan jaksa sebagai aktor-aktornya. Tentang aksi demonya itu, Arnold mencoba berlindung di bawah Pasal 28 UUD 45 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengemukakan pendapat. Tapi, hakim menolak pasal itu digunakan untuk aksi yang tak terkendali itu. Sungguhpun demikian, Anwar Sulaeman berpendapat, tak sepantasnya eksepsi dipakai sebagai unsur pemberat. "Kalau eksepsi bisa dipakai sebagai bahan pemberat, nanti ada terdakwa yang tak mau bikin pembelaan," ujarnya. Anwar boleh sinis. Namun, proses peradilan terhadap para aktivis kasus 5 Agustus 89 itu terus berlanjut. Lima "mantan" mahasiswa ITB lainnya tengah menjalani proses peradilan, dengan tuntutan antara dua tahun dan dua tahun tiga bulan. Lima mahasiswa lainnya, yang dulu pernah ditahan, belum jelas benar kelanjutan proses hukumnya. Sebenarnya, yang mengharukan justru mengapa hakim Tedja menjatuhkan hukuman lebih berat itu sambil menangis. "Tidak, saya sakit gigi. Saya menahan sakit sampai keluar air mata," ujarnya, sembari memperlihatkan gusinya yang bengkak. Tentu bukan sakit gigi itu yang mengakibatkan vonis lebih berat. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini