SEPERANGKAT sofa, meja kursi, serta map-map milik DPP Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK) masih ada di ruang kantor mereka yang lama. Tapi kini semua penuh debu. Sedangkan papan nama organisasi sudah tergeletak di lantai. Apa yang terjadi dengan organisasi itu? "Setelah DPP HPK demisioner, untuk sementara kantornya nggak ada. DPP baru nanti harus mencari kantor sendiri," ujar Baharuddin Mamasta, Bendahara DPP HPK periode 1984-1989 yang sudah demisioner. Kantor DPP HPK lama, yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, menurut Baharuddin, adalah rumah pribadi Zahid Hussein, Ketua Umum HPK periode lalu. Suasana (bekas) kantor DPP HPK ini disebut-sebut mencerminkan keadaan organisasi yang menghimpun para penganut aliran kepercayaan itu sekarang. Betulkah? Kongres ke-5 HPK di Kaliurang, 18-21 Desember lalu, memang gagal menyusun kepengurusan baru di akhir penutupan rapat anggota. Sampai akhirnya disepakati memberi waktu satu bulan kepada tujuh formatur, yang diketuai Wiwoho Sudjono dari Yogyakarta, untuk menyusun pengurus baru. Ternyata, sampai batas waktu yang diberikan Kongres -- 21 Januari lalu -- terlewati, kepengurusan masih tak tersusun. Menurut Soeratno, anggota formatur, mereka sudah mengadakan rapat di Cibogo, 12 Januari lalu, dan memilih Ketua HPK Jawa Tengah, Tulus Kusumo Budoyo, sebagai ketua umum. "Sebetulnya susunan pengurus itu akan diumumkan keesokan harinya, tapi tak jadi karena ada pihak lain yang tak setuju dan minta agar hasil sidang formatur itu dikonsultasikan dulu dengan Pemerintah," kata Soeratno tanpa mau menyebutkan "pihak lain" tersebut. Menurut Ketua Formatur Wiwoho, pengurus DPP HPK baru yang mereka pilih bersifat fleksibel dan tidak mengikat. "Kalau Pemerintah perlu mengubah personalianya, kami setuju saja," katanya. Bagi Wiwoho, siapa pun jadi ketua umum bukan soal asalkan HPK bisa jalan terus. Guncangan yang melanda HPK ini bermula dari upaya sebagian peserta Kongres untuk menggusur Zahid, 64 tahun, yang sudah memimpin organisasi selama dua periode kepengurusan -- sejak 1979. Pejabat Sekneg itu mereka nilai kurang berhasil mendekati Pemerintah. Dampak ketidakberhasilan Zahid, menurut mereka, antara lain orang-orang HPK tak bisa kawin secara kepercayaan di Catatan Sipil seperti sebelumnya, dan tak bisa mencantumkan kata "kepercayaan" dalam kolom agama di KTP. Selain itu, Zahid, yang kini sudah haji, mereka anggap sudah terlalu Islam. Apa kiat Tulus, 62 tahun, sehingga ia begitu populer di mata peserta Kongres lalu? Tulus antara lain mengatakan bila ia terpilih, program jangka pendeknya adalah mengupayakan agar anggota HPK bisa kawin di Catatan Sipil. Selain itu, ia juga tak setuju pendapat yang mengatakan aliran kepercayaan harus dikembalikan ke induk agamanya. "Lho, kami mau kembali ke agama apa? Lha, induk aliran kepercayaan ini adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada dasar hukumnya kami harus dikembalikan ke agama," katanya. Sedangkan Zahid merasa soal KTP, kawin, dan semacamnya bukan urusan HPK. "Aliran kepercayaan bukan agama, dan HPK tidak untuk membentuk agama baru. Agama berasal dari Tuhan, ada rasul dan kitab sucinya. Kalau aliran kepercayaan dianggap agama, ini bisa berbahaya," kata Zahid. K. Permadi, Direktur Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa Departemen P dan K, mengatakan soal pengurus HPK kini sedang ditangani Departemen P dan K. Akan dapat restukah Tulus? "Saya tak mau bicara sekarang," ujar Permadi. Amran Nasution, Aries Margono, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini