Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kemeriahan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu. Sekitar lima ribu perangkat desa dari empat kabupaten di Yogyakarta tumplek-blek di pendapa itu. Acara di terik siang itu penting: silaturahmi dengan Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, dan Wakil Gubernur, Sri Pakualam IX.
Sebetulnya, ini acara rutin tahunan antara Paguyuban Lurah Ismaya (begitu nama paguyuban perangkat desa yang didirikan pada 2001 itu) dan Gubernur Yogyakarta. Tapi hari itu ada yang istimewa. Acara berjalan tanpa protokoler seperti biasa, langsung dibuka dengan dialog.
Begitu pertemuan dibuka, kontan Sudirman Alfian, sekretaris Paguyuban, angkat bicara. Isi bicaranya juga di luar kebiasaan: ia minta Sultan mundur dari konvensi presiden Partai Golkar. Alasan dia, khawatir keikutsertaan Sultan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Yogyakarta. Posisi Sri Sultan, baik sebagai raja maupun gubernur, harus dijaga tetap di atas semua golongan. "Kami tidak rela jika Ngarsa Dalem (sebutan masyarakat Yogyakarta untuk Sultan) jadi korban dari permainan politik. Kredibilitas Sultan bisa hancur," ucap Kepala Desa Terong, Bantul, ini disambut tepuk tangan rekan-rekannya.
Suara Paguyuban Ismaya cukup penting. Paguyuban beranggotakan semua lurah dari Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul ini dikenal punya hubungan kuat dengan Keraton. Dulu para lurah ini juga pernah beraksi meminta DPRD Yogyakarta menetapkan Sri Sultan sebagai gubernur mendatang tanpa melalui pemilihan. Dan gol.
Kali ini Paguyuban, melalui Sudirman, menilai sistem konvensi Partai Golkar tidak transparan dan bisa merugikan Sultan. Alasan serupa juga dikemukakan cendekiawan Nurcholish Madjid ketika mundur dari konvensi. Tambahan lagi, belakangan Sri Sultan mengaku juga didesak berbagai kalangan untuk segera mundur dari konvensi.
Tapi mengapa Sultan mau ikut konvensi? Pendukungnya menganggap dia tokoh pemersatu setelah ikut pertemuan Ciganjur 1998—bersama Gus Dur, Mega, dan Amien Rais. Tokoh Golkar DIY, Gandung Pardiman, menganggap sosok Sultan yang dianggapnya reformis bisa mengerek citra Golkar yang terpuruk. Nama Sultan juga tampil di peringkat tinggi berbagai jajak pendapat yang ramai dibuat orang.
Sayangnya, dalam prakonvensi, dari 16 provinsi Indonesia, hanya 7 yang pengurus Partai Golkarnya mendukung Sultan. "Ke mana sembilan daerah lainnya?" ujar Joyokusumo, ketua tim sukses Sri Sultan. Joyo lebih sedih karena ternyata Sultan gagal masuk lima besar di Jawa Tengah, daerah yang harusnya dimenanginya, setelah DIY. Rupanya, tercium juga soal dukungan finansial alias "gizi". Tim sukses yang dipimpin adik Sultan, G.P.B.H. Joyokusumo, dianggap sebuah sumber kurang menggelontorkan "gizi" selama masa kampanye. Joyokusumo mengaku gencar kampanye ke mana-mana, tapi, "Kalau soal gizi, maaf-maaf saja," katanya kepada TEMPO.
Gizi bukan satu-satunya faktor. Jika pekan-pekan mendatang Akbar Tandjung menang dalam kasasinya di Mahkamah Agung—dalam kasus korupsi dana Yanatera Bulog—banyak pihak menilai Akbar berpeluang kuat untuk menang dalam konvensi. Ketua Umum Partai Golkar itu didukung begitu banyak pengurus Partai Golkar di berbagai daerah.
Sultan sendiri masih mengukur langkah. "Saya akan lihat dulu sejauh mana signifikansi dukungan terhadap saya. Jika ternyata tak ada dukungan, masa mau maju terus, nanti dikira enggak tahu diri," kata Sultan.
Di samping itu, tidak mudah tiba-tiba mundur begitu saja. "Konsistensi, kepercayaan, dan nama baik, terutama bagi mereka yang telah mendukung Sultan, harus dipertimbangkan. Jadi, sebaiknya Sultan terus saja sampai akhir," ujar sekretaris panitia konvensi, Rully Chairul Azwar. Tentu Rully tahu benar bahwa Sultan masih menjadi "magnet" bagi pemilih di Yogyakarta.
Tinggal kini pilihan di tangan Sultan. Akankah dia memilih maju karena merasa harus "berbakti" kepada Partai Golkar, tanpa peduli jabatan presiden?
Widiarsi Agustina, Syaiful Amin, Heru Cn. (Yogyakarta), Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo