Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik
Pemilihan Kepala Daerah

Berita Tempo Plus

Berebut Jabatan di Daerah

Pemilihan Kepala Daerah diramaikan bekas menteri hingga anggota DPR. Calon independen tak bisa masuk tanpa lewat partai politik.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Berebut Jabatan di Daerah
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DEPOK akan menjadi kota yang ramah. Bukan berarti selama ini penduduknya kurang ramah. Program Depok sebagai kota ramah ini ditawarkan oleh Nur Mahmudi Ismail, calon wali kota dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ramah selain punya arti yang biasa, juga sebuah akronim yang dipanjangkan menjadi Religius, Aman, Mandiri, Adil, dan sejahtera. Akronim yang agak dipaksakan dan memang jadi kebiasaan untuk slogan sebuah kota kabupaten dan kota madya di daerah-daerah.

Meski pernah menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Nur Mahmudi tak otomatis bisa melenggang memimpin Kota Depok. Ia berjuang dari bawah dan harus mengalahkan kandidat lain dari partainya sendiri. Dengan 10 calon yang ada di PKS, Nur Mahmudi yang pernah menjadi presiden partai itu ketika masih bernama Partai Keadilan, keluar sebagai pemenang. Kini ia calon tunggal untuk PKS. Maka, di hadapan sekitar 5.000 kader PKS yang menjejali auditorium Hotel Bumi Wiyata, Depok, Nur Mahmudi berucap, "Insya Allah, saya siap memimpin Depok." PKS memang memanen suara terbanyak di kota ini pada pemilu legislatif tahun lalu.

Nur Mahmudi bukan satu-satunya politisi tingkat pusat yang berebut jabatan di daerah. Ada Agustin Teras Narang, Ketua Komisi III DPR dari PDI Perjuangan, yang berjuang untuk menjadi Gubernur Kalimantan Tengah. Ada pula Saut Sirait, mantan Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat, yang mengincar kursi Bupati Tobasa, Sumatera Utara.

Kenapa tertarik menjadi bos di daerah dan bukan mengincar jabatan di pusat? "Ini bukan soal tertarik atau tidak, tapi saya diminta oleh PKS," kata Nur Mahmudi, yang memang sudah lama bermukim di kompleks Tugu Asri, Depok. Ia tak sepakat bahwa mantan menteri yang duduk di kursi wali kota berarti turun kelas. "Sebetulnya, kerja wali kota lebih sulit. Yang diurusi soal kebersihan kakus sampai birokrasi," katanya. Ia juga menyatakan, kalau terpilih menjadi Wali Kota Depok, harus "merawat" satu koma tiga juta orang, sementara tatkala menjadi Menteri Kehutanan dulu, ia hanya memiliki 50 ribu staf. Pernyataan ini membuat kagum seorang simpatisan PKS, "Jarang-jarang, lho, mantan menteri mau jadi wali kota. Makanya, kita dukung."

Teras Narang, yang berkampanye lewat situs internet, lain lagi alasannya. Sebagai anggota DPR ia merasa sulit memperbaiki kehidupan rakyat Kalimantan Tengah secara langsung. Lain halnya kalau ia menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, ia bisa langsung menyentuh warga di provinsi kelahirannya itu. Karenanya, ia berjuang lewat partainya untuk bisa memimpin Kalimantan Tengah.

Nur Mahmudi dan Teras Narang tidak punya ganjalan karena memang dia orang partai. Adapun Saut Sirait, ia punya masalah besar, karena ia tak berpartai. Putra Tapanuli ini terbentur Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diteken Presiden Yudhoyono pada 11 Februari lalu. Dalam PP itu disebutkan bahwa partai adalah satu-satunya pintu pencalonan gubernur, bupati, atau wali kota. Calon-calon independen seperti Saut silakan mundur teratur, atau mencari partai tempat bergayut.

Pintu masuk ini cukup meresahkan Saut. "Pintu masuk ini menjadi jualan partai-partai," kata Pendeta Huria Kristen Batak Protestan ini. Walhasil, kata Saut, ketentuan macam ini akan menguntungkan mereka yang memiliki duit bergepok-gepok. "Bukan lagi miliuner, tapi yang punya duit triliunan saja yang bisa lolos," katanya. Ia khawatir politik uang tumbuh subur dan calon-calon lepas seperti dirinya akan terpental sejak dini.

Namun, Saut tak punya pilihan lain, kecuali akan mencoba melamar lewat partai-partai. Setidaknya dua partai sudah ia dekati, yaitu PDIP dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Masing-masing punya kebijakan pencalonan yang berbeda. PDIP mewajibkan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) mengajukan empat nama untuk nanti dipilih oleh pusat. Sementara PDS bisa saja menggalang calon yang diajukan oleh ormas, meskipun ia bukan kader partai. Kelak, PDS akan menjalankan uji kelayakan pada si calon. Namun, Saut lagi-lagi resah. Dengan model empat nama lewat DPC PDIP, mereka yang memiliki celengan berat bisa berada di nomor urut awal. "Sementara yang seperti saya paling nomor empat," katanya. Tapi ia tetap tak gentar, "Saya mau bereksperimen apakah calon independen seperti saya bisa lolos."

Calon kepala daerah kini dikenakan tarif oleh partai-partai politik pada saat pendaftaran. Besar tarif itu berbeda-beda, tergantung kabupatennya. Di Bali, DPC PDI di masing-masing kabupaten rata-rata memungut uang pendaftaran calon bupati sebesar Rp 100 juta, sedangkan calon wakil Bupati kena tarif Rp 50 juta. Ini baru "uang pendaftaran", belum tentu pula lolos karena akan disaring kemudian. Karena itulah, calon seperti Nur Mahmudi yang sudah lolos di partainya untuk calon Wali Kota Depok bisa menarik napas lega. Tinggal menyiapkan uang untuk membiayai kampanyenya. Menurut Nur Mahmudi, biaya itu bisa sampai miliaran rupiah. Karena ini adalah pemilihan kepala daerah secara langsung, maka harus berkomunikasi dengan simpul-simpul masyarakat. Ada kelompok profesional, sosial, keagamaan, kesukuan, pemuda, dan banyak lagi. "Semua harus diajak bergaul," katanya.

Biaya "gaul" itulah yang besar. Namun, mantan menteri ini mengaku tak begitu khawatir kekurangan dana. Ia menyebutkan, sumbernya bisa datang dari mana saja. Dari PKS sebagai organisasi dan juga individu-individu di dalamnya. Tak semua uluran berupa uang, tapi juga dalam bentuk lain. "Bagaimanapun, ba-nyak teman di PKS yang punya kepedulian," katanya lagi.

Di tataran politis, PKS juga akan mencoba menggalang dukungan dari partai-partai lain. Maklum, lawan yang dihadapi lumayan tangguh, yaitu Badrul Kamal, Wali Kota Depok yang sekarang, yang masuk dari pintu Partai Golkar. Menurut Nur Mahmudi, karena ini pemilihan langsung, "Kalau ada massa Golkar mau datang ke saya, ya saya ajak ngobrol," katanya. "Asal jangan ada kontrak politik."

Terjunnya politisi pusat ke daerah-daerah membawa angin baru, karena umumnya calon dari daerah tak terbiasa dengan program. Orang pusat langsung berkampanye dengan program, sambil bicara—biasalah janji-janji—bukan karena berebut proyek untuk kepentingan pribadi. Saut Sirait, misalnya, menyebutkan, Kabupaten Tobasa bukanlah daerah basah proyek. Ini daerah pertanian yang relatif miskin. Ia mengaku prihatin dengan kehidupan di sana. "Dalam keadaan begini saja, pemimpinnya lebih suka urus proyek ketimbang urus rakyat," katanya. Itu sebabnya, meski peluangnya untuk lolos di tingkat partai saja sulit, ia bercita-cita mulia: membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan bagi penduduk kabupaten itu.

Teras Narang menyatakan, Kalimantan Tengah adalah wilayah yang sumber daya alamnya sangat luar biasa. Sayangnya, "Banyak rakyat yang masih tertinggal karena kebijakan tidak berpihak pada mereka." Ia mengaku tak suka dengan sebutan daerah tertinggal sehingga bertekad memajukan kampung halamannya itu.

Nur Mahmudi Ismail menguraikan prioritasnya dalam menangani Kota Depok yang lebih teknis, yaitu penataan kota. Selama ini problem yang terasa betul adalah kemacetan di jam-jam sibuk. Untuk mengatasi kemacetan, ia akan menyebar tempat-tempat perekonomian, yaitu mal, pasar, dan sejenisnya. Dengan demikian, aktivitas kota tidak akan bertumpu di satu titik saja seperti sekarang.

Apakah janji-janji "orang pusat" ini bisa diterima begitu saja oleh rakyat? Belum tentu, karena rakyat semakin cerdas, termasuk "cukup cerdas" untuk melihat siapa yang membagikan uang lebih banyak.

Andari Karina Anom, Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus