Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT batang besi pipih dengan lapisan antikarat disusun membentuk piramida. Tingginya dua kali orang dewasa. Pada puncaknya terdapat lembaran seng seluas setengah meter persegi. Satu sisi bertulisan "Wilayah Malaysia" dan pada sisi di baliknya tertulis "Wilayah Indonesia".
Terletak di bibir sungai kecil di pinggir jalan yang belum beraspal, tanda itu hampir tak saya perhatikan. Deretan warung yang mulai menyalakan lampu tak jauh dari markah itu lebih menarik perhatian. "Kita sudah keluar Malaysia," kata Noping, tukang ojek yang Rabu petang pekan lalu mengantar saya melintasi perbatasan, meninggalkan wilayah Malaysia menuju Kalimantan Barat, Indonesia.
Melintas batas begitu saja?
Bagi Noping dan warga di wilayah perbatasan, melintasi dua negara memang persoalan yang jamak. Lima tahun terakhir, pria 50 tahun itu menekuni profesinya sebagai pengojek lintas batas. Selama itu pula, bapak lima anak warga Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, ini tak pernah menemui halangan untuk masuk dan keluar Malaysia. "Bisa lima-enam kali sehari saya ke Serikin," katanya.
Satu jam perjalanan dengan mobil ke arah barat daya Kuching, ibu kota Negara Bagian Sarawak, Malaysia, Serikin hanya empat kilometer dari piramida di perbatasan itu. Kurang-lebih sejauh itu pula letak kampung Noping. Bahasa warga di kedua desa beda negara ini sama, karena mereka pun sama-sama berasal dari suku Dayak Jagoi. Mereka juga masih serumpun sebahasa dengan Dayak Bau yang kotanya berjarak sekitar 20 kilometer dari Serikin ke arah Kuching.
Kini, di tengah maraknya operasi pemulangan para tenaga kerja asing ilegal yang digelar Pemerintah Kerajaan Malaysia, aktivitas Noping tak sedikit pun berkurang. Begitu pula dengan 50-an rekannya sesama pengojek yang tiap hari mangkal di gardu tak jauh dari piramida itu.
Bagi mereka, sama sekali tak penting apakah penumpang yang dibawanya hendak bekerja atau hanya melancong ke Malaysia. Selain membayar Rp 20 ribu, hanya satu syarat yang harus dipenuhi: mereka harus punya kartu tanda penduduk (KTP). "Cuma itu yang harus ditunjukkan ke tentara yang berjaga," ujar Noping. Itu pun, warga Jagoi merasa penjagaan dua tahun belakangan ini sudah jauh lebih ketat: sebelumnya hanya sesekali para pelintas diperiksa.
Seruan pemulangan tenaga kerja asing tanpa izin pertama kali dilakukan pada 2002. Sejak itu, Tentara Diraja Malaysia membuka pos kira-kira satu kilometer dari perbatasan. Dua regu tentara beranggotakan lebih dari 20 personel ditugaskan di sana untuk mencatat dan memeriksa setiap orang dan barang bawaannya yang masuk ke negerinya. Mereka yang keluar sama sekali tak diperiksa.
Yang diperiksa pun hanya KTP. Paspor? Lupakanlah. Noping malah bingung ketika sore itu saya menunjukkan paspor—bukan KTP—kepada tentara penjaga ketika malam hari kami kembali dari Jagoi.
Saya sendiri takjub melihat Noping ternyata baru tahu seperti apa bentuk paspor. Ia bahkan meminta tanda pengenal itu dari tangan prajurit untuk bisa mengamatinya lebih jelas. Padahal, setiap hari ia membawa penumpang dari Indonesia masuk ke Serikin. "Kadang dari Sambas, Ledo, atau Sanggau. Ada juga dari Pontianak dan Jawa," katanya.
Mereka yang diangkut Noping tak termasuk para pedagang atau petani yang menjual hasil bumi ke Serikin dua kali sepekan. Jumlahnya bisa mencapai seratusan orang pada Rabu malam hingga Kamis pagi, dan seribuan pada Sabtu hingga Ahad. "Jalan saja sampai susah karena ramai," kata Sarbani, 45 tahun. Ia menunjuk deretan rangka kayu warung-warung kaki lima di kanan-kiri jalan sepanjang 200 meter di hadapannya. "Semua yang dagang orang kita (Indonesia)," katanya.
Para tauke datang dari Bau atau Kuching menampung hasil bumi. Warga Serikin dan sekitarnya belanja kain dan barang-barang lain. "Kami pulang membawa gula, minyak goreng, dan jajanan untuk anak-anak. Kadang-kadang juga beli pupuk dan barang lain yang lebih murah dari harga di Pasar Seluas," kata Sarbani.
Bapak dua anak asal Tulungagung itu kini menetap di Kampung Merendeng, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Desanya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 6-7 jam dari Serikin, karena harus melewati gunung. Bersama Eka Santi, 39 tahun, istrinya, serta anak keduanya, Udi Kurniawan, 11 tahun, Rabu malam pekan lalu ia memikul 52 kilogram terong masam. Eka mengangkut 15 kilo dengan ambing (keranjang khas Dayak) di punggungnya, sedangkan Udi memanggul sedikit cabe dan jahe. "Sekilo terong 1-2 ringgit, jahe bisa 3,5 ringgit," ujar Eka. Satu ringgit Malaysia setara dengan 2.400 rupiah.
Tak semua datang untuk berdagang. Sumiati, 44 tahun, asal Samben, Blitar, Jawa Timur, misalnya, bekerja di sebuah rumah makan di Serikin selama enam tahun terakhir. Sekarang, ia telah memiliki tanah di Seluas, sekitar 8 kilometer dari Jagoi (hampir 300 kilometer dari Pontianak). Dua bulan sekali ia pulang dari Serikin dan kembali lagi setelah cuti dua-tiga hari. Selama itu pula hanya KTP yang perlu ia tunjukkan.
Agak berbeda dengan di Semenanjung Malaya, ingar-bingar operasi terhadap para pekerja asing di negara bagian ini tak terlalu mencolok. Penangkapan memang terjadi di sana-sini, terutama di kawasan industri dan sekitar kota, tapi di pelosok-pelosok dan perkebunan-perkebunan sawit milik pribadi atau di rumah-rumah penduduk, tenaga kerja asing tanpa dokumen lengkap itu masih relatif "terlindungi".
Mereka memang tak bebas bepergian, terutama menuju kota. Setidaknya, ada dua pos penjagaan polisi di sepanjang perjalanan dari Bau ke Serikin. Di salah satu pos itu, sehari sebelumnya, taksi yang saya tumpangi dari Kuching dicegat dan dokumen diperiksa. Namun, esok paginya saya menumpang bus dari Serikin dengan ongkos 2,2 ringgit, tak satu pun petugas yang hirau. Ada lebih 20 penumpang di bus itu dan tak semuanya warga Malaysia, termasuk saya.
Serikin hanya salah satu contoh. Tak jauh dari desa ini masih ada Kampung Stass, dan di sebelah baratnya ada Desa Biawak dan desa-desa lain. Di Divisi (Kabupaten) Sri Aman, terdapat Desa Lubok Antu sebagai "pintu belakang" yang cukup terkenal di kalangan pekerja Indonesia dan penyelundup kayu. Semuanya berbatasan langsung dengan Indonesia dan bisa dijadikan pintu masuk dan keluar yang cukup bebas karena ketiadaan fasilitas penjagaan memadai di sana.
Terbentang 850 kilometer di wilayah Sarawak—1.200 kilometer jika termasuk Sabah—perbatasan Indonesia-Malaysia memang mustahil diawasi tiap jengkalnya. Bahkan di pintu resmi dengan kantor polisi dan petugas imigrasi di Entikong-Tebedu atau di Tawau, Sabah, aliran pendatang dari Indonesia tetap deras pada hari-hari terakhir ini.
Menurut pantauan Kantor Penghubung Konsulat Jenderal RI di Kuching, tak kurang dari 300 warga kita masuk ke Malaysia melalui Entikong setiap hari. Jumlah mereka yang kembali hanya berkisar 50 orang dalam sepekan.
"Jumlah pendatang itu bisa sampai 10 ribu tiap bulan. Hampir bisa dipastikan mereka akan menjadi pekerja ilegal di Malaysia," kata Rubaya Thalib, seorang konsul Indonesia. Selama akar persoalan di dalam negeri tak teratasi, katanya, jangan berharap masalah pekerja ilegal di Malaysia ini akan beres. "Ada kemiskinan masyarakat kita di satu sisi, dan korupsi di birokrasi di sisi yang lain," kata pejabat yang ditugasi menyiapkan perubahan kantor penghubung menjadi konsulat jenderal di Kuching ini. "Paspor diberikan begitu gampang, padahal kita tahu datanya palsu. Kami di sini yang akan menjadi keranjang sampahnya nanti."
Agus, pemuda 21 tahun asal Desa Jetis, Kudus, Jawa Tengah, adalah salah satu pendatang yang menikmati "mudahnya" jadi pelintas batas. Pemuda yang kini bekerja di sebuah rumah makan dekat Rumah Sakit Umum Sarawak di Kuching itu tiga bulan lalu masuk Entikong setelah membayar Rp 2 juta melalui agen di Semarang.
Berbekal paspor yang dibuatnya di Entikong seharga 150 ringgit (sekitar Rp 360 ribu) dan izin kunjungan sementara, ia dibawa agen itu kepada seorang majikan. Majikan inilah yang kemudian menguruskan semua izin dan visa yang ia perlukan sebagai pekerja sah di negeri jiran. "Gaji saya 13 ringgit sehari, ditambah uang makan siang 4 ringgit," katanya. Tempat tinggal dan makan selebihnya tak perlu ia pusingkan karena dijamin majikan.
Tak sedikit pekerja seperti Agus. Kantor perwakilan RI di Kuching setiap hari pun terlihat sibuk melayani permintaan para majikan untuk menguruskan dokumen bagi para pekerja mereka. Ada juga yang sampai memberi cuti khusus dan menyediakan angkutan, seperti yang dilakukan oleh perusahaan kayu lapis Lin San Hau di Jalan Bakau, Kuching, Selasa pekan lalu. Dengan sebuah mobil van, sembilan pekerjanya datang ke konsulat untuk memperpanjang paspor. "Ada seribu lebih karyawan asal Indonesia di perusahaan," ujar Juanda, 33 tahun, pekerja asal Sambas.
"Kenyataannya mereka memang butuh tenaga kerja kita," kata Rubaya. Atas pertimbangan itu, pemerintah Negara Bagian Sarawak bahkan "mengizinkan" perubahan visa kunjungan menjadi visa kerja jika majikan melaporkannya kepada pihak Imigrasi. Karena itulah, catatan jumlah pekerja legal yang dimiliki Imigrasi Malaysia di Sarawak bisa jauh lebih banyak dibanding yang ada pada konsulat RI. Mereka mencatat sekitar 158 ribu pekerja asing dengan 98 persen di antaranya berasal dari Indonesia. Sementara itu, laporan dari para pengerah tenaga kerja yang ada di konsulat RI hanya mencatat tak sampai 20 ribu orang. "Sulit memperkirakan jumlah mereka yang ilegal," Rubaya menambahkan.
Pemerintah Malaysia sendiri seperti dibuat kikuk ketika akan berlaku terlalu keras dalam soal pekerja asing. Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri Malaysia Datuk Azmi Khalid mengakui, pihaknya me-mang mendapat tekanan dari para majikan yang khawatir mengalami kerugian akibat ketiadaan tenaga kerja. "Kami akan memberi tempo untuk memastikan mereka masuk dengan segera," katanya seperti dikutip harian Utusan Malaysia, Kamis lalu.
Ancaman kebangkrutan itu pula yang dikeluhkan salah satu warga di Serikin kepada saya. Ia memiliki beberapa hektare kebun kelapa sawit yang digarap puluhan pekerja dari beberapa daerah di Kalimantan Barat. Ia menghitung hanya perlu tiga bulan setelah para pekerja tiada bagi kebun sawitnya untuk jadi tinggal cerita. Pada bulan pertama, buah yang tak dipetik akan busuk di pohon. Bulan kedua, kebunnya sudah akan penuh gulma dan rumput liar. Bulan berikutnya, pohon sawitnya sudah mulai rusak dan mogok berbuah. "Butuh waktu lebih lama memulihkannya, dan selama itu kami tak dapat uang," katanya.
Y. Tomi Aryanto (Sarawak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo