JUMLAH penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan telah
makin turun dari tahun ke tahun." Pernyataan Presiden dalam
pidato 16 Agustusnya yang baru lalu adalah berita gembira yang
mungkin bisa meneduhkan hati mereka yang sering bicara soal
"perataan pendapatan".
Bank Dunia, menurut Presiden, punya dua patokan dalam membedakan
penduduk yang miskin dengan yan tidak. Untuk daerah kota,
batasnya adalah penghasilan $AS 75 (sekitar Rp 30 ribu) tiap
orang tiap tahun. Di daerah pedesaan, batas kemiskinan itu
adalah $AS 50 (sedikit di atas Rp 20 ribu) tiap orang tiap
tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang
kompeten kata Presiden pula, maka pada tahun 1967 masih 9 dari
10 orang Indonesia hidup di bawah Garis Kemiskinan ukuran Bank
Dunia itu. Tahun 1970, sedikit berkurang menjadi 8 dari 10
orang. Dan pada tahun yang baru silam, "hanya 3 di antara 10
orang (Indonesia) yang masih menderita di bawah Garis
Kemiskinan." Maka Presiden berharap, bahwa pada akhir Repelita
III, tahun 1984 "tidak ada lagi orang yang menderita di bawah
Garis Kemiskinan."
Toh orang cenderung berhati-hati dengan harapan besar - takut
kalau kecewa. Harian Kompas dalam tajuk rencana tiga hari
setelah pidato presiden misalnya mengharapkan angka dalam berita
gembira Presiden "lebih dijelaskan maknanya."
"Penjelasan" belum datang dari pemerintah. Tapi H. Rachmat
Mulyomiseno, ketua Komisi VII DPR-RI yang membawahi bidang
dengan perdagangan dan perbankan, punya pendapaat lain. Ukuran
garis kemiskinan yang dibuat Bank Dunia itu, menurut
Mulyomiseno "sangat tadak relevan, dan tidak masuk akal."
Misalnya batas kemiskinan di desa sebanyak Rp 20 ribu per orang
setahun, atau Rp 55 sehari. Menurut kamulasi Rachmat, ongkos
hidup yang layak bagi masyarakat desa secara minimal adalah Rp
80/hari/orang.
Pendapat Rachmat itu, yang dikutip Berita Buana dan PAB, 2O
Agustus lalu, disokong oleh Dr Sajogyo, 51 tahun, baru besar
IPB yang terkenal karena penelitiannya mencari ukuran kemiskinan
yang lebih cocok bagi Indonesia. Katanya pada wartawan TEMPO
G.Y. Adicondro: "Standar Bank Dunia untuk kota, yakni $AS 75
itu, lebih tepat diterapkan di desa." Sebab standar itulah yang
lebih mendekati batas ongkos hidup minimal yang diusulkan drs
Mulyomiseno, yakni Rp 80 per orang per hari. "Juga mendekati
standar yang saya usulkan, yakni 20 kiloglam beras per orang per
bulan. Atau 2/3 Kg beras sehari." Menurut Sajogyo,
perhitungannya adalah: kalau beras di desa masih ada yang bisa
diperoleh dengan harga Rp 120 sekilo, maka 2/3 Kg harganya Rp
80.
Beras & Gizi
Ahli sosiologi pedesaan itu cenderung menolak standar dollar AS
yang digunakan Bank Dunia itu. "Kurs rupiah terhadap dollar kan
ovenalued, (berlebihan) sehingga konsekwensinya garis
kemiskinan terlalu rendah," ulasan dia. Hal itu juga dibenarkan
oleh beberapa ekonom pemerintah sendiri, yang berpendapat bahwa
nilai dollar AS yang riil sebenarnya sudah Rp 600 lebih.
Selain itu. Dr Sajogyo juga menolak standar dollar, karena
"tidak mencerminkan penghasilan dan pengeluaran rakyat miskin
yang sebenarnya." Dia sendiri hanya punya dua pilihan:
menggunakan standar konsumsi beras minimal, yakni 20 kilogram
beras sebulan atau 40 kg setahun. Atau, standar kebutuhan
gizi minimal.
Standar gizi minimal ada dua. Yakni standar FAO/WHO 1973,
sebanyak 1900 kalori setahun, atau 45 gram protein. Standar
internasional ini lebih rendah dari pada standar nasional, yang
di tetapkan dalam Workshop on Food yang diadakan LIPI dan
National Academy of Sciences (AS) tahun 1968, yakni 1300 kalori
atau 55 gram protein. Kedua standar ini - seperti juga standar
konsul beras minimal - sebenarnya masih dibedakan lagi antara
standar kota dan standar desa. Standar desa selalu jauh lebih
rendah.
Jadi tinggal pilih sekarang mau pakai standar mana: standar
konsumsi beras minimal, atau kebutuhan gizi minimal. Cuma saja.
dalam praktek standar beras Iebih mudah dijalankan, sebab
tinggal memonitor harga beras di pasaran setempat. Sedang
standar gizi lebih sukar dijalankan, sebab harus didasarkan
survai ke rumah-rumah tangga.
"Menentukan garis kemiskinan ini harus hati-hati. Jangan terlalu
rendah tapi juga jangan terlalu tinggi. Terlalu rendah seperti
standar Bank Dunia itu, akibatnya terlalu banyak rakyat yang
dianggap tidak yakin lagi. Selang terlalu tinggi, nantinya
bisa sukar dicapai oleh rakyat banyak," kata Sajogyo pula.
"Semakin miskin-relatif"
Tanggapan terhadap angka yang dikemukakan Presiden juga datang
dari drs Nurkholis Madjid, bekas ketua umum PB-HMI yang kini
bekerja pada LEK NAS-LIPI. Kepada Merdeka, Agustus lalu.
Nurcholis menampilkan gambaran yang lebih suram: "Taraf dan
tingkat hidup penduduk di daerah pedesaan sekarang ini semakin
miskin relatif." Contohnya: "Kalau dulu tahun 16 orang desa
dapat membeli beras 300 gram dengan uang Rp 50 saja sekarang
ini dengan Rp 150 haya dapat diperoleh 200 gram beras saja."
Nurcholish tak menyebut sumber kesimpulannya. Dia hanya menunjuk
pada hasil sementara penelitian mutakhir yang dipimpin langsung
oleh "seorang ekonom dari sebuah perguruan tinggi negeri." Di
situ dilaporkan, bahwa kesenjangan (gap) pendapatan antara si
kaya dan si miskin di pedesaan dewasa ini "terasa semakin
tajam. Bahkan menurut Nurcholish hasil penyelidikan ekonom itu
menunjukkan bahwa jumlah penduduk desa yang hidup di bawah garis
kemiskinan absolut dewasa ini "semakin meningkat."
Tidak jelas siapa ekonom yang di maksud Nurcholish. Hanya
diketahui belum lama ini di meja Menteri Riset Prof. Sumitro
telah masuk laporan penelitian sementara drs Hendra Esmara dari
FE-Universitas Andalas, Padang.
Ekonom ini, yang juga mengerjakan penelitian pembagian
pendapatan 1967-1970 atas instruksi Menteri Riset, kali ini
menyoroti periode 1967-1976. Hasilnya belum disiarkan. Meski
demikian TEMPO memperoleh keterangan, bahwa di situ Hendra
menampilkan dua versi penghitungan jumlah penduduk miskin, yakni
apa yang disebutnya "Garis Kemiskinan Nasional" dan "Garis
Kemiskinan Internasional." Berdasarkan konsep Garis Kemiskinan
Nasional, terbukti jumlah penduduk miskin turun dari 862 (1967)
menjadi 77% (1976) di kota. Dan dari 89% (1967) menjadi 80%,
(1976) di desa. Sedang menurut konsep Garis Kemiskinan
Internasional - atau standar Bank Dunia yang juga digunakan
oleh Presiden, prosentase penduduk miskin turun dari 94% (1967)
menjadi 75%, (1970), sampai tinggal 30% (1976).
Sayangnya, data itu baru meliputi Jawa dan Madura saja. Juga.
selain membeberkan turunnya jumlah penduduk miskin Hendra
Esmara juga mengungkapkan data lain. Ternyata, golongan 40%
penduduk miskin itu menerima bagian yang semakin ke-II dari
pendapatan nasional. Yakni merosot dari 21.7%, menjadi 19,6%,
sementara kue pembangunan justru semakin membesar. Makanya
salah satu kesimpulannya adalah: "Repelita I lebih berhasil
mengurangi prosentase golongan penduduk miskin dari pada
meratakan pembagian pendapatan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini