Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Gembira Dengan Catatan

Pernyataan presiden pada pidato kenegaraan tentang menurunnya garis kemiskinan adalah berdasarkan hasil penelitian bank dunia. Beberapa ahli Indonesia menolak. (nas)

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan telah makin turun dari tahun ke tahun." Pernyataan Presiden dalam pidato 16 Agustusnya yang baru lalu adalah berita gembira yang mungkin bisa meneduhkan hati mereka yang sering bicara soal "perataan pendapatan". Bank Dunia, menurut Presiden, punya dua patokan dalam membedakan penduduk yang miskin dengan yan tidak. Untuk daerah kota, batasnya adalah penghasilan $AS 75 (sekitar Rp 30 ribu) tiap orang tiap tahun. Di daerah pedesaan, batas kemiskinan itu adalah $AS 50 (sedikit di atas Rp 20 ribu) tiap orang tiap tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang kompeten kata Presiden pula, maka pada tahun 1967 masih 9 dari 10 orang Indonesia hidup di bawah Garis Kemiskinan ukuran Bank Dunia itu. Tahun 1970, sedikit berkurang menjadi 8 dari 10 orang. Dan pada tahun yang baru silam, "hanya 3 di antara 10 orang (Indonesia) yang masih menderita di bawah Garis Kemiskinan." Maka Presiden berharap, bahwa pada akhir Repelita III, tahun 1984 "tidak ada lagi orang yang menderita di bawah Garis Kemiskinan." Toh orang cenderung berhati-hati dengan harapan besar - takut kalau kecewa. Harian Kompas dalam tajuk rencana tiga hari setelah pidato presiden misalnya mengharapkan angka dalam berita gembira Presiden "lebih dijelaskan maknanya." "Penjelasan" belum datang dari pemerintah. Tapi H. Rachmat Mulyomiseno, ketua Komisi VII DPR-RI yang membawahi bidang dengan perdagangan dan perbankan, punya pendapaat lain. Ukuran garis kemiskinan yang dibuat Bank Dunia itu, menurut Mulyomiseno "sangat tadak relevan, dan tidak masuk akal." Misalnya batas kemiskinan di desa sebanyak Rp 20 ribu per orang setahun, atau Rp 55 sehari. Menurut kamulasi Rachmat, ongkos hidup yang layak bagi masyarakat desa secara minimal adalah Rp 80/hari/orang. Pendapat Rachmat itu, yang dikutip Berita Buana dan PAB, 2O Agustus lalu, disokong oleh Dr Sajogyo, 51 tahun, baru besar IPB yang terkenal karena penelitiannya mencari ukuran kemiskinan yang lebih cocok bagi Indonesia. Katanya pada wartawan TEMPO G.Y. Adicondro: "Standar Bank Dunia untuk kota, yakni $AS 75 itu, lebih tepat diterapkan di desa." Sebab standar itulah yang lebih mendekati batas ongkos hidup minimal yang diusulkan drs Mulyomiseno, yakni Rp 80 per orang per hari. "Juga mendekati standar yang saya usulkan, yakni 20 kiloglam beras per orang per bulan. Atau 2/3 Kg beras sehari." Menurut Sajogyo, perhitungannya adalah: kalau beras di desa masih ada yang bisa diperoleh dengan harga Rp 120 sekilo, maka 2/3 Kg harganya Rp 80. Beras & Gizi Ahli sosiologi pedesaan itu cenderung menolak standar dollar AS yang digunakan Bank Dunia itu. "Kurs rupiah terhadap dollar kan ovenalued, (berlebihan) sehingga konsekwensinya garis kemiskinan terlalu rendah," ulasan dia. Hal itu juga dibenarkan oleh beberapa ekonom pemerintah sendiri, yang berpendapat bahwa nilai dollar AS yang riil sebenarnya sudah Rp 600 lebih. Selain itu. Dr Sajogyo juga menolak standar dollar, karena "tidak mencerminkan penghasilan dan pengeluaran rakyat miskin yang sebenarnya." Dia sendiri hanya punya dua pilihan: menggunakan standar konsumsi beras minimal, yakni 20 kilogram beras sebulan atau 40 kg setahun. Atau, standar kebutuhan gizi minimal. Standar gizi minimal ada dua. Yakni standar FAO/WHO 1973, sebanyak 1900 kalori setahun, atau 45 gram protein. Standar internasional ini lebih rendah dari pada standar nasional, yang di tetapkan dalam Workshop on Food yang diadakan LIPI dan National Academy of Sciences (AS) tahun 1968, yakni 1300 kalori atau 55 gram protein. Kedua standar ini - seperti juga standar konsul beras minimal - sebenarnya masih dibedakan lagi antara standar kota dan standar desa. Standar desa selalu jauh lebih rendah. Jadi tinggal pilih sekarang mau pakai standar mana: standar konsumsi beras minimal, atau kebutuhan gizi minimal. Cuma saja. dalam praktek standar beras Iebih mudah dijalankan, sebab tinggal memonitor harga beras di pasaran setempat. Sedang standar gizi lebih sukar dijalankan, sebab harus didasarkan survai ke rumah-rumah tangga. "Menentukan garis kemiskinan ini harus hati-hati. Jangan terlalu rendah tapi juga jangan terlalu tinggi. Terlalu rendah seperti standar Bank Dunia itu, akibatnya terlalu banyak rakyat yang dianggap tidak yakin lagi. Selang terlalu tinggi, nantinya bisa sukar dicapai oleh rakyat banyak," kata Sajogyo pula. "Semakin miskin-relatif" Tanggapan terhadap angka yang dikemukakan Presiden juga datang dari drs Nurkholis Madjid, bekas ketua umum PB-HMI yang kini bekerja pada LEK NAS-LIPI. Kepada Merdeka, Agustus lalu. Nurcholis menampilkan gambaran yang lebih suram: "Taraf dan tingkat hidup penduduk di daerah pedesaan sekarang ini semakin miskin relatif." Contohnya: "Kalau dulu tahun 16 orang desa dapat membeli beras 300 gram dengan uang Rp 50 saja sekarang ini dengan Rp 150 haya dapat diperoleh 200 gram beras saja." Nurcholish tak menyebut sumber kesimpulannya. Dia hanya menunjuk pada hasil sementara penelitian mutakhir yang dipimpin langsung oleh "seorang ekonom dari sebuah perguruan tinggi negeri." Di situ dilaporkan, bahwa kesenjangan (gap) pendapatan antara si kaya dan si miskin di pedesaan dewasa ini "terasa semakin tajam. Bahkan menurut Nurcholish hasil penyelidikan ekonom itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk desa yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut dewasa ini "semakin meningkat." Tidak jelas siapa ekonom yang di maksud Nurcholish. Hanya diketahui belum lama ini di meja Menteri Riset Prof. Sumitro telah masuk laporan penelitian sementara drs Hendra Esmara dari FE-Universitas Andalas, Padang. Ekonom ini, yang juga mengerjakan penelitian pembagian pendapatan 1967-1970 atas instruksi Menteri Riset, kali ini menyoroti periode 1967-1976. Hasilnya belum disiarkan. Meski demikian TEMPO memperoleh keterangan, bahwa di situ Hendra menampilkan dua versi penghitungan jumlah penduduk miskin, yakni apa yang disebutnya "Garis Kemiskinan Nasional" dan "Garis Kemiskinan Internasional." Berdasarkan konsep Garis Kemiskinan Nasional, terbukti jumlah penduduk miskin turun dari 862 (1967) menjadi 77% (1976) di kota. Dan dari 89% (1967) menjadi 80%, (1976) di desa. Sedang menurut konsep Garis Kemiskinan Internasional - atau standar Bank Dunia yang juga digunakan oleh Presiden, prosentase penduduk miskin turun dari 94% (1967) menjadi 75%, (1970), sampai tinggal 30% (1976). Sayangnya, data itu baru meliputi Jawa dan Madura saja. Juga. selain membeberkan turunnya jumlah penduduk miskin Hendra Esmara juga mengungkapkan data lain. Ternyata, golongan 40% penduduk miskin itu menerima bagian yang semakin ke-II dari pendapatan nasional. Yakni merosot dari 21.7%, menjadi 19,6%, sementara kue pembangunan justru semakin membesar. Makanya salah satu kesimpulannya adalah: "Repelita I lebih berhasil mengurangi prosentase golongan penduduk miskin dari pada meratakan pembagian pendapatan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus