Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berlimpah Riyal di Jalur Halal

Tak semua TKI terperangkap dalam bisnis remang-remang. Yang sukses di jalur halal pun banyak.

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedan Accord hijau metalik produksi 2001 itu hanya butuh semenit untuk mencari posisi parkir di jalan di Distrik Al-Naim, Jeddah. Pemiliknya, seorang laki-laki Indonesia berperawakan pendek, segera keluar dari ruang kemudi. "Di sini mobil murah. Di rumah ada satu lagi untuk dipakai saudara-saudara kalau ke toko," katanya kemudian.

Dibandingkan dengan di Tanah Air, memang harga kendaraan bermotor di Arab Saudi hanya separuhnya, karena tak dikenai pajak barang mewah. Tapi tetap saja tak bisa dibilang murah bagi ukuran kantong tenaga kerja migran Indonesia (TKI) pada umumnya. Yang ditumpangi pria 34 tahun asal Majalengka, Jawa Barat, pada suatu sore bulan September itu di harganya 40 ribu riyal atau Rp 80 juta lebih.

Rata-rata gaji seorang TKI yang menjadi pembantu rumah tangga di Saudi adalah 400 riyal per bulan. Kalau dia memiliki keahlian, paling tinggi upahnya 1.500 riyal. Penghasilan mereka yang bekerja sebagai sopir 800-1.000 riyal, dan bisa mencapai angka 2.000 (Rp 4 juta) bagi yang sudah bertahun-tahun bekerja dan beruntung mendapat majikan murah hati.

Tetapi Deni, sebut saja begitu, memang bukan sembarang TKI. Sejak menjejakkan kakinya di Jeddah pada 1995, tekadnya bulat untuk mengubah nasib. Empat tahun lamanya ia bekerja menjadi penjaga toko milik keluarga Arab keturunan Mesir di sebuah sudut Kota Jeddah. Selama itu pula lulusan SD Negeri di Kecamatan Cikijing, Majalengka, Jawa Barat ini mempelajari satu hal: ada begitu banyak orang Indonesia di Jeddah. Mereka pasti membutuhkan barang-barang khusus dari negeri sendiri. Berbekal rahasia itulah ia kembali ke Jeddah pada 1999 dengan tujuan jelas: membuka toko sendiri yang menjual barang-barang dari Indonesia.

Namun membuka toko di Saudi ternyata tak segampang membangun warung rokok di Jakarta. Warga asing tak diizinkan memiliki usaha sendiri. Apa boleh buat, semua usahanya harus diatasnamakan kafil alias majikan, yakni warga Saudi yang berfungsi sebagai sponsor. "Saya bayar dia 10 ribu riyal (Rp 20 juta) per tahun plus seribu lagi setiap bulannya," kata Deni soal upeti bagi si kafil.

Memangnya berapa, sih, penghasilan Deni?

Bapak satu putri itu bahkan tak menganggap uang "pelicin" untuk kafil sebagai beban. Omzet satu toko kelontongnya setiap hari rata-rata mencapai 2.000 riyal. Dari situ ia bisa mengutip untung sekitar 20 persen atau setara dengan gaji terendah sebulan seorang pembantu rumah tangga di Saudi. Dan April lalu Deni baru membuka gerai yang kedelapan di Jeddah. Artinya, dalam sebulan dia bisa meraup 96 ribu riyal atau sekitar Rp 200 juta.

Seorang pengusaha muda dari perusahaan rokok besar di Indonesia yang ditemui Tempo di Hotel Hilton Jeddah pun geleng-geleng kepala ketika bercerita tentang sukses Deni. "Dia mau bayar kontan tiga kontainer rokok yang dipesannya. Gila, duitnya banyak benar," katanya. Kini Deni sudah memboyong sanak keluarganya dari Majalengka ke Jeddah. Mereka ditugasi menjaga toko-tokonya, sementara dia sendiri mulai berpikir untuk merambah usaha lain. Untuk para famili Deni menyewa rumah bertarif 10 ribu riyal setahun. Rumah itu terpisah dari rumahnya sendiri yang ia tempati bersama istri dan anak.

Kisah sukses seperti Deni sebenarnya banyak dijumpai di Saudi. Di Mekah, para jemaah haji asal Indonesia akan gampang menemui aneka warung khas Indonesia. Salah satu yang amat terkenal adalah Rumah Makan "Raja Bakso" yang dikelola Mang Udin. Sekarang Udin pun sudah mulai melebarkan sayapnya dengan membuka toko kelontong dengan merek namanya sendiri di Jeddah.

Dalam skala lebih kecil, para TKI yang beralih profesi dan sukses mendulang riyal di jalur halal juga bisa kita saksikan dengan menjamurnya warung khas Indonesia di seantero Jeddah. Yang paling banyak adalah di Distrik Al-Rehab, di dekat Konsulat Jenderal RI. Ada restoran Jawa, Toko Matahari, Batavia, dan beberapa lainnya. Meski begitu, beberapa dari mereka tetap menyimpan keprihatinan. "Apa yang kita capai masih jauh kalau dibandingkan dengan orang-orang Filipina," kata Ahmad Rusdi, pengelola Restoran Mr. Satti's di Sare' Heraa, Distrik Al-Naim. "Itu karena pemerintah mereka memberikan perhatian. Tidak seperti kita, yang dibiarkan begini."

Y. Tomi Aryanto (Jeddah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus