Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara perempuan itu jelas benar digenit-genitkan. "Pokoknya 20-an deh. Dijamin masih sip," katanya tentang usianya saat ini. Logatnya menunjukkan ia datang dari kawasan pantai utara Jawa Barat. Ia mengaku bernama Dina.
Magrib baru saja lalu di kota internasional terbesar di Arab Saudi, Jeddah, ketika pembicaraan telepon itu terjadi. "Mau jemput atau saya langsung ke hotel?" katanya manja.
Langsung ke hotel? Yang saya tahu, setiap penginapan di Saudi melarang keras pasangan bukan muhrim menginap di satu kamar. Dina tertawa cekikikan dan menyebut pertanyaan saya itu "kampungan". Rupanya, ia dan teman-teman seprofesinya sudah sangat fasih menyiasati hambatan model begini. "Mana ada petugas hotel berani buka abaya kita," katanya.
Abaya adalah pakaian khas Arab untuk perempuan. Berbentuk jubah hitam yang bukan hanya menutup bagian tubuh, tetapi juga nyaris seluruh muka. Yang tersisa hanyalah lubang kecil di bagian mata. Itu pun sering masih dilapisi dengan semacam cadar berupa jaring tipis yang juga berwarna gelap. Mustahil membedakan wajah mereka yang mengenakannya. Paling banter yang bisa dilakukan hanyalah mengira-ngira postur dan tinggi badan mereka. "Mengamati kita saja mereka nggak boleh kan?" Dina menambah penjelasannya.
Keterangan Dina ini dibenarkan seorang pengusaha Indonesia yang sudah sering berkunjung negara Timur Tengah, termasuk Saudi. Dari lobi hotel bintang lima tempatnya menginap di Jeddah, ia menunjuk sepasang lelaki Arab dan perempuan ber-abaya dengan postur Melayu yang tengah memesan kamar di meja pelayanan. "Tidak selalu mereka suami-istri. Teman-teman bisnis saya di sini juga biasa 'memakai' orang kita," katanya. "Tinggal sodori saja surat nikah, mana ada petugas hotel akan mengecek lagi siapa perempuan yang dibawa."
Dina adalah contoh betapa mudahnya transaksi mesum dilakukan di negara yang dikenal memiliki ancaman hukuman amat berat bagi prostitusi itu. Kemajuan teknologi komunikasi menjadi faktor yang turut memperlancar semua urusan. Sekali nomor kontak penyedia jasa seks ini didapat, selebihnya bisa diatur. Selanjutnya yang dibutuhkan hanya satu: duit.
Untuk soal ini, Dina tak main-main. Sejak awal pembicaraan, ia sudah mewanti-wanti bahwa dia tak sudi melayani kencan tanpa ada kesepakatan tentang tarif. Khusus untuk para pria Indonesia, katanya, ia mau pembayaran itu dilakukan di muka. "Sebelum 'main', uang dikasih dulu, ya?" katanya. "Kalau bayarnya sesudah 'pakai', saya malah nggak dibayar," ujarnya.
Berapa tarif pekerja seks seperti itu di Arab Saudi? Jawabannya tergantung pada "bibit", "bobot" dan "bebet" sang pramuseks. Seorang pengusaha muda warga Saudi yang saya temui di kantor sebuah maskapai penerbangan di Jeddah mengatakan para pekerja seks dari Libanon dikenal bertarif paling tinggi. Rentangnya dari 500 hingga 3.000 riyal (sekitar Rp 6 juta) untuk kencan semalam.
"Internet dan televisi dengan siaran pornografi sudah masuk ke ruang-ruang privat keluarga Arab. Sulit mengatakan bahwa prostitusi tak akan makin hebat dalam beberapa tahun mendatang," kata pengusaha di bidang penerbitan ini. Saat ini di Jeddah ada 773 saluran televisi yang bisa diakses dengan bebas dari rumah-rumah. Hampir separuhnya merupakan siaran porno dari Eropa.
Kelas seperti Dina memang jauh lebih murah. Tarifnya berkisar 200 riyal atau Rp 400 ribu untuk sekali kencan. Tapi itu adalah harga untuk para pria Arab, karena dia justru memasang ongkos 100 riyal lebih tinggi untuk para pelanggannya yang datang dari Tanah Air. "Kalau sudah kenal dan saya suka, gratis juga oke," katanya sambil tertawa menggoda.
Namun Faidil (bukan nama sebenarnya), seorang TKI yang sudah 16 tahun menjadi sopir di Jeddah, punya cerita lain. Ia mengatakan, cara yang dilakukan Dina itu merupakan salah satu trik belaka. "Mereka biasanya memang menghindari orang kita sendiri. Mungkin malu atau takut ketemu orang yang mengenalnya di kampung," ujar pria 50 tahun yang memiliki banyak koleksi nomor kontak para perempuan seperti Dina ini.
Para "kupu-kupu" tak hanya meman-fa atkan hotel sebagai sarana bekerja. Mereka juga bisa menerima pelanggan di imarah atau rumah sewaan tempat mereka tinggal. Di kamar-kamar rumah susun itu transaksi bisa dilakukan secara lebih fleksibel. Si pemilik imarah biasanya merangkap pula sebagai perantara alias germo. Mereka menampung sekaligus beberapa perempuan di satu tempat. Dina, yang ketika dihubungi berada di tempat penampungannya, bahkan sempat menawarkan beberapa rekannya kalau-kalau calon pelanggan tak merasa sreg dengan dia.
Tarif di sini pun jauh lebih bersahabat dengan kantong para tenaga kerja kelas rendahan yang banyak menjadi pelanggan mereka. "Bisa 100 riyal (Rp 200 ribu). Tapi, kalau sedang sepi, 50 riyal pun mereka ayo saja," kata Ahmad, pengelola warung khas Indonesia di Distrik Al-Naim. Ahmad sebelumnya pernah menjadi sopir pengantar para perempuan seperti Dina ke hotel-hotel kelas atas di Jeddah. Dan sebenarnya para syarmuth?istilah lokal untuk penjaja seks?yang beroperasi di kelas inilah yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Menemukan mereka juga tak sulit, terutama pada malam-malam menjelang hari libur. Ada beberapa lokasi yang biasa digunakan untuk mangkal, misalnya di beberapa ruas jalan di Distrik Syariffiyah, Pasar Al-Jahra di Sauk Sate', bahkan yang sudah di luar kota seperti Pasar Kandara, yang berjarak kira-kira sejam perjalanan dengan mobil dari Jeddah ke arah Madinah.
Dengan tetap mengenakan abaya, para perempuan ini tetap saja mudah dibedakan dari yang lain. Ada bagian abaya yang dibiarkan terbuka sedikit sebagai tanda mereka bisa dibawa. "Perempuan kita di sini dikenal murah. Sampai ada istilah abu khomsin, artinya barang seharga 50 riyal," kata Faidil. Para konsumen yang sudah "tak tahan" bisa langsung membawa mereka ke hotel-hotel di seputar distrik. Tak perlu khawatir untuk servis lain waktu, sang pramuseks sudah menyiapkan kartu nama untuk dikontak kapan suka.
Dari mana sebenarnya mereka ini datang? Yati, seorang pekerja yang bersama Zainal suaminya menyewa satu imarah di salah satu sudut Distrik Al-Naim, bercerita bahwa banyak TKI perempuan ilegal yang dijadikan pekerja seks oleh para "penolongnya". "Biasanya mereka kabur dari majikannya. Ke mana lagi mereka lari kalau bukan ke penampungan. Mereka takut ke konsulat atau memang tidak tahu," katanya. Di rumahnya yang terbagi dua kamar berukuran masing-masing 4x5 meter itu Yati juga menampung sepuluh TKI yang tak memiliki dokumen komplet. "Tapi mereka semua perempuan baik-baik," ia buru-buru menambahkan seraya memperkenalkan beberapa di antaranya.
Aneka rupa yang jadi penyebab kaburnya TKI dari rumah majikannya, mulai dari gaji yang tak dibayar, tak tahan dianiaya, sampai lari dari ancaman pemerkosaan. Tak semua dari mereka cukup beruntung bertemu penampung seperti Yati. Yang lebih banyak justru dibawa oleh para laki-laki sesama pekerja migran, baik yang berasal dari negeri sendiri maupun negara lain seperti Bangladesh, India, atau Pakistan.
"Di sini berlaku semacam kebiasaan: mereka yang menampung itulah yang menjadi 'majikan' baru. Tahu sendirilah, mereka kan laki-laki dan umumnya sudah tahunan tak didampingi istri," kata Ahmad. "Beruntung kalau dikawini, yang lebih banyak ya 'dipakai' gratisan."
Faidil, yang pernah bertahun-tahun jadi sopir taksi di Jeddah, pun mengakui pernah beberapa kali menampung pekerja perempuan yang kabur. Ia bahkan menyebutnya sebagai "rezeki nomplok". Para sopir yang berkumpul di warung Ahmad pun memiliki banyak kisah serupa, dan kebanyakan menceritakannya dengan rasa bangga. Faidil sendiri tujuh tahun lalu menikahi salah satu dari "pelarian" asal Jawa Tengah sebagai istri keduanya. Ia menikah tanpa setahu istri pertamanya yang ada di Jawa Timur.
"Masih mendingan kalau ketemu sama orang kita. Yang akhirnya jadi syarmuth umumnya mereka yang ditampung imigran dari negara lain," kata Tahir, pengelola warung makan khas Jawa Timur di Distrik Bawadi. "Banyak juga yang dijual penampungnya setelah puas 'dimakan' sendiri". Tapi menurut Yati, tak ada sedikit pun jaminan mereka akan lebih baik meskipun ditampung sesama warga Indonesia.
Perempuan 35 tahun yang sejak 1995 di Jeddah ini justru melihat banyak germo itu tak jarang berasal dari kampung yang sama dengan TKI yang digiringnya menjadi pekerja seks. "Tinggal saja beberapa hari di sini, Mas akan tahu betapa banyak tempat penampungan yang sengaja mencari perempuan untuk dijual," katanya. Di satu lorong dengan imarah yang ditempati Yati dan hanya berjarak seratusan meter saja ada dua penampungan seperti yang ia diceritakan.
Yati mengakui bahwa tak sedikit TKI yang sejak awal memang sudah berencana kabur dari rumah majikan. Mereka itu, katanya, biasanya sudah memiliki kontak dengan para penampung di Saudi. "Yang begini ini paling parah," ujarnya. "Mereka datang ke sini dengan ongkos majikan yang sudah dibayar lewat perusahaan pengirim. Baru beberapa bulan kerja sudah kabur. Sudah seperti mafia saja." Beberapa pekerja seks yang ia kenal bahkan sejak di Indonesia sudah menjalani profesi yang sama. "Mereka sengaja ke sini karena tarifnya bisa naik," katanya.
Gemerincing riyal jelas menjadi godaan yang kuat bagi TKI perempuan untuk banting setir ke "jalur alternatif" ini. Upah rata-rata bagi pembantu rumah tangga tak berketerampilan di Saudi senilai 400-600 riyal per bulan. Bandingkan dengan duit yang mungkin didulang Dina dan kawan-kawan. Taruhlah rata-rata sekali kencan mereka bisa mengantongi 100 riyal setelah dipotong germo. Hanya dengan empat kali melayani pelanggan saja mereka sudah mendapat penghasilan sebulan penuh seorang pembantu. "Kadang sehari mereka bisa dua kali menerima tamu," kata Yati.
Dugaan Yati tak beda dengan kesimpulan yang ditemukan organisasi nonpemerintah pemerhati buruh migran seperti Migrant CARE (Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat). Wahyu Susilo dari lembaga ini mengungkapkan, prostitusi yang memperdagangkan para buruh migran perempuan di Timur Tengah ini jelas melibatkan jaringan sindikat dan dimulai sejak proses perekrutan oleh perusahaan pengerah TKI di Indonesia. "Masalahnya, setiap kali isu ini muncul, reaksi yang datang lebih banyak pada aspek sensasional dan hanya dianggap sebagai persoalan moral," katanya. Ia mengingatkan bahwa prostitusi hanya mungkin terjadi selama ada permintaan dari para konsumen di Saudi.
Pemerintah Indonesia maupun Saudi pun bukan tak tahu. Pertengahan tahun lalu, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea mengungkapkan bahwa terdapat 118 buruh migran perempuan di Saudi yang ditangkap dengan tuduhan terlibat prostitusi. Jauh sebelumnya, Februari 1997, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi juga melaporkan kepada Presiden Soeharto bahwa jumlah TKI perempuan yang terlibat prostitusi di Arab Saudi diperkirakan mencapai ribuan orang.
Menurut Jacob, sedikitnya 40 ribu tenaga kerja perempuan kita di Timur Tengah tak memiliki dokumen lengkap. Artinya, mereka selangkah lagi masuk kubangan bisnis esek-esek itu. Menurut Konsul Jenderal RI di Jeddah, Tajuddien Noor Boli Malakalu, saat ini terdapat paling kurang 650 ribu tenaga kerja asal Indonesia. "Perkiraan kami, pada 2003 terdapat 13 ribuan TKI ilegal. Dan tahun ini sekitar 9 ribu," katanya.
"Kami yang di sini ini hanya menampung limbahnya saja," kata konsul bidang tenaga kerja, Samsuri, beralasan. "Para pengerah TKI itu kalau melapor saja tidak ke kami, bagaimana bisa kami memantaunya? Kadang alamat majikan saja salah, belum lagi yang memanipulasi data TKI," katanya lagi. Samsuri juga bukan tidak tahu bahwa di luar pagar kantornya banyak terdapat penampungan TKI ilegal, termasuk yang diam-diam digunakan berpraktek prostitusi.
Akhir September lalu di tempat penampungan TKW Indonesia di Jeddah tercatat ada 124 penghuni. Semua dengan masalah masing-masing: beberapa mengalami gangguan jiwa dan ada pula pernah mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai dua.
"Saya sudah punya tiga cucu di sini," kata Samsuri menunjuk pada anak-anak TKI yang lahir di penampungan di bawah asuhannya. Yang terakhir adalah bayi perempuan yang belum genap sebulan dan dinamainya Chairunnisa. Ia anak seorang TKI yang kabur dan sempat ditampung oleh buruh migran asal Pakistan.
Belum ada langkah strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
"Saya sudah mengumpulkan 280 perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia," kata Fahmi Idris, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang baru. "Tapi saya belum bisa menjawab apa hasil dari pertemuan itu karena memang belum ada."
Benang kusut tetaplah jadi benang kusut. Di Jeddah, Dina masih bebas menggoda siapa saja.
Y. Tomi Aryanto (Jeddah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo