Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berteduh di Bawah Beringin

Tokoh NU, Haji Mansur, beserta pengikutnya di Desa Jombor, Semarang, ramai-ramai masuk Golkar. Dari 37 cabang NU di Jateng tinggal 8 cabang yang masih mendukung PPP. Juga di Jabar. Golkar menganggap biasa.(nas)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE Pemilu 1987 belum dimulai. Tapi sebagian warga NU telah menyeberang ke Golkar. Itu terjadi di Jawa Tengah dan di Jawa Barat. Maka, kini tak aneh lagi jika dalam suatu pengajian NU ada pemandangan digambarkan Mustafa Zuhhad, Wakil Ketua Tanfidziyah NU Wilayah Ja-Teng: "Di sebelah kanan, Pak Kiai dikawal oleh Pemuda Ansor, dan di sebelah kiri dikawal oleh AMPI." Ramai-ramai hijrah ke Golkar secara demonstratif dilakukan Haji Mansur di Desa Jombor, Kabupaten Semarang. Dengan sebuah upacara meriah, yang dihadiri sekitar 1.500 orang, di Madrasah Ibtidaiyah di Desa Jombor, 7 Mei lalu, Komisaris Desa PPP ini resmi masuk Golkar. "Rasanya persis seperti jadi pengantin," kata Mansur, yang selama ini dikenal sebagai tokoh Pemuda Ansor. Upacara masuk Golkar itu dipimpin langsung oleh Ketua DPD Golkar Kabupaten Semarang Letkol (pur) Suparbo. Mansur, yang siang itu mengenakan baju safari lengan pendek lengkap dengan berbagai atibut AMPI, mengatakan, "Saya ikhlas lahir batin masuk Golkar." Ia pun menyerahkan sebuah daftar berisi 770 nama warga Desa Jombor, pengikutnya. Desa Jombor, yang terletak di pinggiran Rawapening, Kecamatan Tuntang, sebelumnya dikenal sebagai basis PPP. Pada pemilu lalu, misalnya, dari 1.080 penduduk yang memiliki hak pilih, Golkar mendapat 150 suara, PDI 4 suara, sisanya buat PPP. "Dengan masuknya 770 pengikut saya ke Golkar, maka Golkar akan menang mutlak di desa ini," kata Mansur, guru silat yang punya murid sekitar seribu orang. Yang menarik, perpindahan Mansur ke Golkar itu mendapat restu tertulis dari K.H. Dimjati, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Semarang. "MUI 'kan netral. Lagi pula, kini, semua berasas sama - Pancasila," kata Dimjati, pimpinan Pondok Pesantren Al Masykur, Jombor, yang juga penasihat (mustasar) NU Kabupaten Semarang. Mengapa Mansur, yang gemar main biola dan juga pimpinan orkes itu, pindah ke Golkar? "Pada pemilu lalu, di Ambarawa Golkar menang, lalu dibangunlah Islamic Centre sebagai tempat dakwah," katanya. "Di desa ini, PPP menang, tapi membangun masjid saja tak sanggup. Buktinya, sudah 20 tahun masjid di sini tak diperbaiki, lalu buat apa kami memenangkan PPP?" la pun lantas mengecam para pimpinan PPP dari unsur MI yang, katanya, tak memikirkan pembangunan agama. "Mereka hanya cokot-cokotan (gigit-gigitan)," kata Mansur, Ketua Tanfidziyah NU Ranting Jombor. Menurut catatan Mustafa Zuhhad, dari 37 cabang NU di Ja-Teng, tinggal 8 cabang saja yang jelas-jelas masih mendukung PPP. Bahkan, Rais Syuriah NU Cilacap, Syaikh Mas'ud, misalnya, telah memberikan semacam fatwa bahwa memilih Golkar itu ada alasan agamanya. Suatu iklim meninggalkan PPP agaknya memang sedang tumbuh. "Dulu, setahun menjelang Pemilu 1982, kami telah bersiap-siap dengan hizib untuk menghindari Koramil. Tapi, kini, tidak lagi," ucap Zuhhad. Kecuali itu, terdapat pula para mubalig NU yang tak segan-segan menyindir-nyindir PPP. "Kalau Golkar mengajak kampanye dengan truk, kita ikuti saja. Begitu juga kalau PDI yang ajak. Tapi, jika PPP mengajak kampanye dengan sepeda engkol - ya, nanti dulu," ujar Zuhhad menirukan lecehan itu. Di Jawa Barat, juga ada tokoh NU menyeberang ke Golkar, akibat kecewa pada ulah para pimpinan PPP. Itu, misalnya, terjadi pada K.H. Zarkasyi Nuch, Wakil Rais II NU Cabang Kabupaten Karawang. "Mereka lupa dengan urusan agama, termasuk kiai-kiai NU di kampung-kampung," kata Zarkasyi, pemimpin Pesantren Panyingkiran, Karawang. "Yang banyak membantu mengembangkan agama kenyataannya adalah Golkar." Maka, melalui konperensi anak cabang NU Kecamatan Rawamerta, awal Mei lalu, dikeluarkanlah ikrar mendukung Golkar. Tak semua warga NU memang hijrah ke Golkar akibat kecewa pada PPP. K.H. Mohamad Ilyas Ruhiyat, pimpinan Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya misalnya. "Sejak dulu saya tidak aktif berpolitik," katanya. "Saya tidak pernah menjadi pengurus PPP, karena itu tidak ada kekecewaan." Kiai Ruhiyat, 52, memimpin Pesantren Cipasung sejak 1977. Ia meneruskan kepemimpinan ayahnya. Kini, pesantren itu, yang didirikan tahun 1931, menampung sekitar 4.000 siswa dan santri yang belajar di SD, SMP, SMA, Madrasah Aliyah, serta Institut Agama Islam Cipasung. Adalah Kiai Ruhiyat sendiri yang menjadi Rektor IAIC ini. Pada Maret lalu, ia telah menyatakan tekad untuk memenangkan Golkar dalam pemilu mendatang. Mengapa Golkar? "Selama ini yang menguntungkan NU adalah kerja sama antara ulama dan umaro," katanya. "Sekarang ini umaro itu adalah Golkar, ya, saya memilih Golkar." Ruhiyat mengatakan sikapnya ini berpangkal pada hasil Muktamar NU di Situbondo. "NU telah melepaskan urusan politik, dan PB NU tidak mengeluarkan fatwa mau ke mana," kata anggota Syuriah PB NU itu. Tentang warga NU di Cipasung, yang mau mengikuti jejaknya masuk Golkar, komentar Zarkasyi, "Itu terserah pribadi masing-masing." Bagi Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid, menyeberangnya sebagian warga NU itu setelah Muktamar ke-26 di Situbondo adalah hal yang wajar saja. "Dengan demikian, berarti ada proses pematangan berpolitik," katanya. "Semua warga NU silakan memilih menurut aspirasinya. Kalau dia tidak mampu menentukan sendiri, silakan bertanya pada kiai yang menjadi panutannya - dan bukan kepada organisasi." Menyeberangnya para ulama NU itu, bagi Abdurrahman, "merupakan refleksi hubungan PPP sendiri dengan eks unsurnya." Tapi ada juga yang sangsi apakah penyeberangan ke Golkar itu suatu keputusan murni. "Kami belum yakin," kata Mardinsyah, Sekjen DPP PPP. Ia menilai, eksodus itu mungkin timbul karena derasnya berbagai bantuan diberikan Golkar. "Tapi tidak ada jaminan bahwa setelah menerima bantuan itu mereka akan mencoblos Golkar. Pemilu 'kan bebas dan rahasia." Kiai Ruhiyah, misalnya, memang menyatakan mendukung Golkar di hadapan Menko Kesra Alamsyah Ratuperwiranegara. Bahkan Alamsyah telah diangkat menjadi Penasihat Utama Yayasan Pesantren, dan menurut sebuah sumber, di kompleks pesantren Cipasung ini, rencananya, akan dibangun sebuah masjid dan gedung perpustakaan. Sedangkan Haji Mansur, tokoh Desa Jombor, kabarnya masuk Golkar karena berambisi menjadi carik desa. Komentar Golkar? "Ini tidak kami programkan," kata Kardiman, Ketua Umum DPD Golkar Ja-Teng. "Diterima, sih, diterima. Tapi, ya lihat saja bagaimana saat pencoblosan nanti," kata Utuy Sobandi, Ketua DPD Golkar Tasikmalaya. Memang belum jelas apa arti dan motivasi penyeberangan itu. Pertanda munculnya pergeseran aliran politik? Tidak jelas. Tapi ada yang sangsi bahwa itu hanyalah kooptasi di permukaan semata - yang lazim timbul menjelang pemilu. Saur Hutabarat, Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus