Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasib wong cilik

Satpam RSU Tangerang, Subagio, 26, dimutasikan, gara-gara menolak rombongan DPRD yang mau besuk rekan mereka. Sali, 26, warga Desa Sabrang, Jember, hampir batal menikah gara-gara bersengketa dengan lurahnya.(nas)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA seorang petugas Satpam yang menyambut rombongan anggota DPRD Kabupaten Tangerang ketika berkunjung ke RSU Tangerang, dua pekan lalu. Sembilan wakil rakyat itu memang tidak melakukan kunjungan resmi. "Kami hanya ingin menengok anggota yang dirawat," ujar Letkol Mumu Suherman, Ketua DPRD Tangerang, yang memimpin rekan-rekannya. Yang dirawat adalah Endang Muchtar, anggota FKP, yang mendapat kecelakaan lalu lintas. Tapi, yang kemudian jadi perkara, rombongan legislatif tersebut sempat tertahan, dan tidak bisa masuk ke rumah sakit. Sebab, petugas Satpam itu, Subagio, tidak mengizinkan mereka. "Mereka datang jam sepuluh kurang. Sementara jam bezuk pukul 11 hingga 12 siang," alasan Subagio menolak mengizinkan rombongan itu lewat. Adu mulut sempat terjadi. "Bukan saya tak tahu peraturan, tapi saya mohon kebijaksanaan agar dapat segera melihat kawan yang dirawat," ujar Mumu. Baru setelah seoang petugas Satpam lain datang menengahi, dicapai kata sepakat: anggota dewan itu dipersilakan masuk, tetapi tidak sekaligus, bergiliran dua orang-dua orang. Kesepakatan itu ternyata tak melegakan Subagio. Belum dua langkah pasangan pertama lewat, Subagio berkata ketus, "Bapak-Bapak 'kan yang membuat peraturan ini, masa dilanggar sendiri. "Dan, kemudian, konon, Subagio, 26, mengempaskan daun pintu melampiaskan kekesalannya. Ketidaksopanan Subagio itu membuat marah anggota-anggota DPRD tersebut. "Kalau ia menjelaskan secara bijaksana, kami mau menunggu hingga pukul 11. Tapi ia malah mengejek, membawa-bawa nama lembaga lagi," kata Mumu. Masalah ini akhirnya sampai di meja Direktur RSU Tangerang, dr. Willy Ranti. Lulusan FK UI 1961 ini menilai bawahannya itu berlaku emosional dan kaku. "Kalau Satpam bank memang harus tegas. Tetapi, ini 'kan rumah sakit, jadi tidak boleh kaku terhadap aturan," katanya. Pegawai rendah seperti Subagio memang sering susah. Instruksi yang hampir tak ada celah penafsirannya membuat ia kadang terpaksa berlaku kaku. "Saya sebagai petugas 'kan takut dimarahi atasan," ujarnya. Maka, seteguh apa pun Subagio menegakkan aturan, toh dia juga yang kena getahnya. Dua hari sesudah kejadian, Subagio, yang bergaji Rp 30 ribu sebulan itu, dimutasikan ke bagian umum. "Yang penting bekerja. Bagi saya di mana saja ditugaskan, saya senang," ujarnya pasrah. Lain lagi cerita Sali, 26, warga Desa Sabrang, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur. Hari-hari ini Lurah Mashuri, Kepala Desa Sabrang itu, sedang diperkarakan, karena sengketa tanah keluarga Sali. Peradilan memang masih berjalan, tetapi "hukuman" sudah diterima Sali. Ia, yang sudah ngebet mengawini pacarnya Siti Mucholifah, terpaksa gigit jari. Pasalnya, surat-surat kelengkapan nikah tak kunjung ditandatangani Mashuri. Menurut Sali, Mashuri memang sengaja tak mau melegalisir formulir-formulir ijab kabul itu. "Memangnya kami ini mau disuruh kumpul kebo," kata Sali kesal. TETAPI, dua pekan sebelum puasa, Siti 20, yang bertetangga dengan Sali, meninggalkan rumah orangtuanya dan tinggal di tempat gacoannya. Belum sampai 24 jam, kedua sejoli itu digerebek warga setempat. Malam itu juga, atas putusan Lurah, Sali dan Siti harus dinikahkan. Tetapi, tiga hari kemudian, ketika upacara perkawinan sedang disiapkan, Lurah Mashuri mencabut keputusannya. Menurut Sali, Mashuri mengajukan syarat, mereka bisa kawin asal Sali bersedia mencabut perkara tanah yang menyeret kepala desa itu sebagai terdakwa. Dan Sali tak mau. Menurut Mashuri, seretnya izin itu, yang pernah menikah itu - karena Sali tak bisa menunjukkan surat cerai. Akhirnya, setelah campur tangan carik desa, acara perkawinan Sali dan Siti berlangsung juga. Ketika ditemui TEMPO, dengan malu-malu, Lurah Mashuri mengaku bahwa ia memang meminta Sali mencabut gugatannya. Tapi, "Itu hanya imbauan saja," ujar Mashuri, yang kini harus bolak-balik ke pengadilan untuk perkara tanah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus