Bahwa adanya Peradilan Tata Usaha Negara sudah diimpikan puluhan tahun (TEMPO, 17 Mei, Hukum) memang benar. Tapi tidaklah berarti bahwa selama ini pemerintah atau pemerintah daerah tidak dapat digugat oleh warganya yang dirugikan. Puluhan kali ada yurisprudensi - putusan pengadilan yang dijadikan panutan - mengenai hal itu, sekalipun diakui bahwa agaknya makin jarang putusan semacam itu. Di bawah ini kami kutipkan beberapa yang penting: 1. Putusan Mahkamah Agung Nomor421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969 berbunyi kurang lebih: "Sebelum ada UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan terhadap Pemerintah RI." (Kasus Oentoeng Sediatmo melawan Kejaksaan Agung) . 2. Putusan Mahkamah Agung No. 319 K/Sip/1968 tanggal 11 Maret 1970 berbunyi: "Pengadilan Negeri tidak berwenang menilai tindakan Pemerintah Daerah mengenai tanah yang ada di bawah pengawasannya, kecuali kalau tindakan itu melanggar peraturan hukum yang berlaku atau melampaui batas wewenangnya." (Kasus Mbok Kromoredjo melawan Djopawiro di Sleman, Yogyakarta). 3. Putusan Mahkamah Agung No. 981 K/Sip/1972 tanggal 31 Oktober 1974 berbunyi antara lain, "Berdasarkan yurisprudensi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat negara tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Negeri/Umum." (Kasus Jong Kong Seng melawan Pemerintah Daerah Kabupaten Panarukan cs.). Semua itu adalah yurisprudensi mengenai kasus umum, sedangkan di bawah ini dapat dipakai sebagai pedoman untuk kasus pengadaan barang/jasa. a. Putusan Panitia untuk menyelesaikan urusan Pemulihan Hak Nomor 628a tanggal 18 Maret 1952 berbunyi, "Meskipun pada waktu akan mulai membentuk persetujuan hanya salah satu dari kedua belah pihak yang berkepentingan atas terbentuknya persetujuan, namun isi persetujuan setelah dibentuk, harus mengandung penuh kepentingan dari kedua belah pihak." (Kasus NV Ned. Ind. Spoorweg Maatschappij melawan Pemerintah RI). b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 66 K/Sip/1952 tanggal 16 0ktober 1952 berbunyi kurang lebih: "Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Pemerintah hanya diizinkan, kalau ada kepentingan Negara yang dilindungi dengan pemutusan perjanjian itu." (Kasus Yap Po Tjan melawan Pemerintah RI). c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 838 K/Sip/1970 tanggal 20 Januari 1971 berbunyi kurang lebih: "Hal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa harus dinilai dengan undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, dan selain itu dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh Penguasa." (Kasus W. Josopandojo melawan Pemerintah DKI Jakarta Raya). d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Sip/ 1971 tanggal 17 Juni 1971 berbunyi kurang lebih: "Perbedaan nilai mata uang menurut harga emas dibebankan risikonya pada kedua belah pihak secara setengah-setengah." (Kasus Tahi Lumbantobing melawan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi) . e. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 64/Perd/1971/PT Mdn tanggal 6 Desember 1973 berbunyi kurang lebih: "Penguasaan benda-benda tertentu oleh Penguasa harus ditempuh menurut prosedur hukum." (Kasus Yayasan Tjie On Jie Jan melawan Kota Madya Medan cs.). e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1245 K/Sip/ 1974 tanggal 9 November 1976 berbunyi antara lain: "Pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas katakata dalam perjanjian tersebut." (Kasus Rusli Ibrahim melawan Pemerintah Daerah Kota Madya Aceh cs.). JOEWONO, S.H. LKBH Trisula Jalan Senen Raya III/49 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini