Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bertemu Mahfud Md, Jusuf Hamka Sebut Tak Bahas Pilgub Jakarta

Ketua Umum Golkar sebelumnya mengajukan nama Jusuf Hamka untuk mendampingi Kaesang Pangarep di Pilgub Jakarta.

14 Juli 2024 | 07.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama penasihat hukumnya, Hamid Basyaid, menyambangi kediaman eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu pagi, 13 Juli 2024. Di tengah dirinya diminta mendampingi Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dalam Pilgub Jakarta pada November mendatang, Jusuf mengaku tak bahas politik bersama Mahfud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tidak ada (bahas politik),” kata Jusuf kepada Tempo saat ditemui di salah satu rumah makan di Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 13 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu sebelumnya menilai kemampuan Jusuf Hamka bisa membantu Kaesang mengentaskan kemacetan di Jakarta dan mengalahkan kota pesaingnya, Bangkok, Thailand. Alasannya, Jusuf telah mempunyai pengalaman dalam pembangunan infrastruktur jalan.

“Saya siapkan kader Partai Golkar yang sudah malang melintang di infrastruktur yaitu Babah Alun (Jusuf Hamka),” kata Airlangga di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Golkar, Jakarta Barat, Kamis, 11 Juli 2024. Hal itu disampaikan Airlangga usai kunjungan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep ke kantornya.

Dalam persamuhan sekitar 90 menit di rumah Mahfud Md, Jusuf membahas utang pemerintah ke dirinya sebesar Rp 800 miliar yang belum rampung. Utang tersebut terkait deposito PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) Rp 78 miliar di Bank Yakin Makmur (Yama). Bank Yama gagal mengembalikan deposito tersebut saat krisis moneter 1998.

Kepada Mahfud, Jusuf mengatakan dirinya minta rekomendasi sekaligus  ingin mengajukan gugatan class action atas perkara utang negara. Dia menyebut gugatan itu dilatarbelakangi oleh surat Mahfud Md sebagai Menkopolhukam kepada Menteri Keuangan agar negara membayar utang kepada Jusuf. Dalam surat itu, kata Jusuf, Mahfud memberikan tenggat kepada Kementerian Keuangan untuk membayar utang hingga Juni 2024. “Saya konfirmasi ke Pak Mahfud, dan benar," kata Jusuf. 

Pada 2004 sebelumnya, pihak CMNP mengajukan gugatan. Mahkamah Agung memutuskan pemerintah sebagai pihak bersalah pada 2010. Pemerintah juga diwajibkan membayar deposito CMNP beserta bunganya sebesar 2 persen per bulan. Besarannya mencapai Rp 78.843.577.534,20 plus bunga.

Lima tahun berselang, pemerintah tak juga melaksanakan isi putusan tersebut. Pada 2015, CMNP kembali mengajukan permohonan teguran atau peringatan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Atas permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri Jaksel kemudian menegur kepada Pemerintah agar melaksanakan isi putusan pada 2010. Saat itu CMNP menagih pembayaran kepada Kemenkeu menjadi sebesar Rp 389,86 miliar.

Jumlah utang pemerintah pun membengkak jadi Rp 800 miliar pada 2020. Ketika itu, Jusuf telah bersurat ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu pada 2019 hingga 2020. Namun, DJKN selalu mengatakan sedang melakukan verifikasi di Kemenkopolhukam. Jusuf Hamka lantas bersuara untuk menagih utang pemerintah lantaran proses verifikasi sudah berlangsung tiga tahun tanpa hasil.

“Negara kalau punya piutang ke warga, negara bisa memaksa, menyandera, memblokir rekening, menyita barang-barang, tapi warga ke negara tidak bisa. Itulah hukum kita,” kata dia. 

Sementara itu, Jusuf membantah apabila langkah hukum ini hanya untuk mencari perhatian masyarakat. Dia menyebut langkah menagih utang ke negara ini merupakan upaya mencari keadilan. 

“Saya tidak mencuri ramai, saya sedang mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan bukan buat saya, kalau bisa berhasil keadilan ini buat orang yang mempunyai piutang terhadap negara,” kata Jusuf.

Jusuf bercerita dalam pertemuan itu Mahfud Md juga mengaku pernah menanyakan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas utang-piutang ini ketika masih menjabat Menkopolhukam. Mahfud, kata Jusuf, berujar bahwa fenomena tarik-ulur bos Jalan Tol itu dengan negara itu termasuk korupsi dan bisa dipidana. 

“Pak Mahfud pernah menanyakan ke salah satu pimpinan KPK, Pak bagaimana kalau ceritanya seperti ini, itu korupsi, memperkaya orang lain, merugikan negara, unsur korupsi,” kata Jusuf. 

Oleh karena itu, Jusuf berencana akan menggugat class action atas kasus ini. Gugatan ini merupakan jenis gugatan perdata atas kerugian yang disebabkan oleh pihak lain. Jusuf menilai fenomena ini terjadi lantaran tak ada kesetaraan negara dan warga dalam sengketa utang-piutang. Dia menyebut peristiwa yang sering terjadi bahwa negara bisa merampas harta milik warga apabila tak bisa bayar hutang, tapi warga ke negara tak demikian. 

“Itu kenapa saya mau gugat class action. Itu juga melanggar HAM, itu hak asasi kami,” kata dia. Jusuf menyebut gugatan class action ini bertujuan untuk menyetarakan posisi negara dan warga dalam sengketa utang-piutang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus