JANGAN heran, bila dinilai apa adanya, sebagian besar murid SD, SMP, dan SMA ternyata tak lulus ujian. Mereka rata-rata kurang paham akan pelajaran yang diberikan guru di kelas. "Daya serap lulusan SD, SMP, dan SMA terhadap kurikulum hanya 35 persen," kata Drs. Abdul Kodir, M.Sc., Rektor IKIP Bandung. Ungkapan pimpinan tempat belajar para calon guru itu memang baru didasarkan pada penelitian kasar. Angka 35 persen pun, kata Abdul Kodir, baru ditelusuri dari perhitungan nilai ebtanas murni (NEM) dan hasil ujian masuk perguruan tinggi (UMPT). Namun, pernyataan semacam itu pun sudah menyentak orangtua dan para siswa sendiri. Bayangkan gambaran kemampuan para siswa setelah diteliti secara garis besar. Sebagian besar murid yang punya NEM 100 di rapornya untuk suatu pelajaran, ternyata -- yang sebenarnya -- cuma mendapat angka 35. Dengan nilai riil itu, Abdul Kodir menarik kesimpulan kasar bahwa para siswa cuma mampu menyerap rata-rata 35% pelajaran yang diberikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Khusus untuk siswa SMA, Abdul Kodir punya ukuran perhitungan tambahan, yakni hasil UMPT. Ia menunjuk contoh pelajaran matematika. Rata-rata lulusan SMA cuma mendapat nilai 40. Artinya, mereka hanya mampu menyerap 40 persen dari mata pelajaran di SMA. "Dan itu hampir melanda setiap siswa," katanya. Pernyataan Abdul Kodir itu, menurut bekas Rektor IPB Prof. Andi Hakim Nasoetion, tidaklah aneh. Sebab, selama ini pengelola pendidikan hanya memusatkan perhatian pada daya tampung. Pokoknya, asal semua siswa bisa masuk sekolah. "Masa, ada SMA yang mau menerima lulusan SMP dengan NEM 20. Bagaimana mereka punya daya serap yang baik? Dikasih apa pun tetap hanya bengong," kata pengamat pendidikan itu. Angka 35%, kata Andi Hakim, tentu saja baru angka rata-rata. Maksudnya, satu-dua siswa ada juga yang melejit. Namun, katanya, itu pun terjadi di sekolahsekolah tertentu yang benar-benar bermutu. Kalau dinilai konsekuen, barangkali tak ada 30 persen lulusan SMP yang layak masuk SMA. Akibatnya, tak mengherankan kalau setiap sekolah berlomba-lomba mengatrol nilai muridnya agar jumlah lulusannya lebih banyak. Yang paling gampang dijadikan "kambing hitam" tipisnya daya serap siswa adalah jumlah mata pelajaran yang berjubel. Terlalu banyak bidang pelajaran harus dijejalkan ke benak siswa. Rata-rata, di tiap kelas seorang murid SD harus mempelajari 10 mata pelajaran, SMP 12 mata pelajaran, dan SMA 15 mata pelajaran. Jadinya, yang dimengerti cuma sedikit. Di samping itu, masih ada lagi penyebab yang hampir mewabah di seluruh tanah air, yakni tingkah guru sendiri. Ada guru yang ngobyek, tak mampu, atau asal berdiri di depan kelas. "Akibatnya, banyak siswa SMP tak menerima pelajaran secara utuh sewaktu di SD. Banyak guru yang tak menyelesaikan jatah kurikulum," kata Ahmad Damiri, guru sejarah SMP 3 Palembang. Andi Hakim melihat sisi lain pelaksanaan kurikulum. Waktu efektif untuk belajar siswa, katanya, sangat pendek. Selama ini, waktu belajar dalam setahun cuma 190 hari. Sisanya lebih banyak dipakai untuk liburan, upacara, rapat guru, atau menjemput tamu. Artinya, kata Andi Hakim, kalau kurikulum itu harus dilaksanakan secara konsekuen, SD harus ditempuh 12 tahun, SMP 6 tahun, dan SMA 6 tahun. "Sudah bangkotan baru masuk perguruan tinggi," katanya. Menurut pencetus lahirnya program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) itu, kurikulum sendiri tak begitu berat. Prof. Harsja Bachtiar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K, tak mengelak kalau ada suara sumbang atas mutu siswa. Ia lantas menunjuk sebuah hasil penelitian pada permulaan 1980. Dengan sampel beberapa SD, SMP, dan SMA top di setiap ibu kota provinsi, hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa tak terlalu menggembirakan. Di daerah tertentu dan mata pelajaran tertentu, rata-rata siswa bernilai rendah. Misalnya saja matematika. Daya serapnya ada yang cuma 40 persen. "Ini memang mengkhawatirkan. Lha, kalau yang top saja seperti itu, apalagi yang kualitas di bawahnya?" demikian ia menjelaskan. Salah satu penyebab, katanya, gara-gara program perluasan sekolah. Hal ini membuat seleksi siswa yang masuk SMP, SMA, dan perguruan tinggi tak ketat lagi. Jumlah gedung, guru, dan siswa melejit dalam waktu singkat. Tapi itu belum dibarengi dengan mutunya. "Jadi, kalau di kalangan guru ada yang sakit jiwa atau sinting, ini tak mengherankan. Semula kita memang mendahulukan jumlah sebelum kualitas," katanya kalem. Akibatnya, tentu saja daya serap mereka terhadap pelajaran menurun. "Mutu pendidikan sekarang memang masih rendah, tapi lama-kelamaan akan ditingkatkan," tambah Harsja. Ada lagi kelemahan pelaksanaan kurikulum. Selama ini, katanya, sistemnya terlalu terpusat, seragam, dan terlalu rinci. Daerah tak mampu lagi membuat improvisasi. Mestinya harus disesuaikan dengan cara berpikir anak-anak di daerah. "Pikiran anak di Bali beda dengan Irian Jaya, Aceh, atau Jakarta," katanya. Untuk mengatasi itu, Harsja sedang menggodok sistem kurikulum baru yang akan diterapkan pada 1994. Dalam kurikulum baru nanti, bentuknya akan lebih disederhanakan dan luwes. Juga dibuka sistem desentralisasi, agar bahan pelajaran tak terlalu melenceng dari kondisi daerahnya. "Untuk itu, guru pada tingkat yang rendah seperti SD mestinya berasal dari daerah tersebut," kata guru besar Universitas Indonesia itu. Memang, ini baru janji. Gatot Triyanto, Dwi S. Irawanto (Jakarta), dan Riza Sofyat (Bandung).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini