Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bila Sang Jenderal Gering

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di wajah sang Jenderal selalu ada senyum yang lebar, meski di ususnya ada sebuah luka yang menganga. Rabu pekan silam, sembari melambai kepada pada penjenguknya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan, mantan presiden Soeharto tetap menyunggingkan senyum lebar itu. Setelah tiga minggu menjalani perawatan, jenderal besar bekas penguasa Orde Baru itu akhirnya diizinkan pulang ke rumah.

Sudah pulihkah dia? Bagi tim dokter kepresidenan yang merawatnya, membolehkan pulang itu sebetulnya sebuah keputusan sulit. "Bapak minta pulang, padahal kondisinya belum mengizinkan. Meski secara umum cukup aman, organ vital beliau seperti paru-paru belum normal," kata Brigadir Jenderal Mardjo Soebandiono, ketua tim dokter kepresidenan yang juga dikenal sebagai ahli bedah.

Izin pulang baru dikeluarkan setelah pihak keluarga menyepakati persyaratan. "Kami minta, begitu ada serangan lagi, beliau harus bersedia dirawat," katanya. Hingga saat diizinkan pulang, Soeharto sudah mendapat 1.600 cc transfusi darah. Kadar hemoglobinnya pun telah kembali mencapai 11,6 gram persen.

Bekas presiden yang dulu sangat ditakuti seluruh republik itu dirawat di RSPP sejak tiga pekan lalu akibat perdarahan di usus besarnya. Menurut dr Azis Rani dari RSPP, saat datang kondisi Soeharto sangat lemah. Perdarahan yang terjadi mengakibatkan sel darah merah atau kadar hemoglobin turun hingga 7,8 gram persen. Kadar hemoglobin yang normal adalah 12-13 gram persen.

Dokter memperkirakan perdarahan sudah terjadi beberapa hari sebelumnya. "Perdarahan masif ini mengakibatkan anemia dan memaksa organ vital tubuh seperti paru-paru, jantung, dan ginjal bekerja lebih keras," kata dr Mardjo Soebandiono, yang juga menjabat Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Akibat semua itu, Soeharto juga mengalami sesak napas.

Penyebab perdarahan yang disebut divertikel atau penonjolan di usus besar sudah diduga tim dokter. "Ini penyakit lama yang kambuh kembali," kata dr Mardjo. Pada Agustus 1999, Soeharto sempat mengalami perdarahan akibat hemoroid alias wasir. Kemudian, pada tahun 2002 dan 2003, Soeharto mengalami perdarahan akibat divertikel.

Divertikel muncul di usus besar berupa kantong menonjol ke arah luar. Ukuran divertikula bermacam-macam, mulai dari 0,25 sampai 15 sentimeter. Divertikel bukan penyakit khas manusia berusia lanjut, meski perdarahan memang lebih sering menyerang mereka yang sudah lanjut usia. Penyebab utamanya adalah pola makan rendah serat. Akibat sembelit, usus besar harus berkontraksi lebih keras untuk menggiring tinja keluar. Maka, timbul tekanan dalam usus besar. Tekanan ini mendorong celah lemah di dinding usus.

Leher divertikel berbentuk sempit. Tinja yang mengeras bisa terperangkap di dalam kantong dan mengundang infeksi. Ada tiga komplikasi yang bisa terjadi jika infeksi dan peradangan divertikel terjadi terus-menerus. "Usus bisa pecah, terjadi lubang di divertikel yang mengakibatkan perdarahan atau bisa juga terjadi penyumbatan di usus besar," kata dr Mardjo. Kanker kolon bisa muncul dari perdarahan berulang dalam sejumlah kasus divertikel.

Dalam kasus Soeharto, kata dr Mardjo, terjadi divertikel multiple, di mana divertikel bisa terjadi di bagian mana saja. "Masalahnya, kami tak tahu sumber perdarahan dari mana. Bapak menolak kolonoskopi," kata Mardjo. Kolonoskopi adalah alat yang dimasukkan melalui anus dan mengirimkan gambar kondisi divertikel di layar monitor.

Ada pula cara lain untuk mengetahui letak divertikel, yaitu dengan colon in loop. Caranya dengan memasukkan barium, sejenis zat kimia kontras, dari dubur ke usus besar, lalu difoto. Cara ini juga ditolak oleh Soeharto. "Akhirnya kami memakai cara konvensional saja dengan melihat berhentinya perdarahan," katanya.

Tapi, jika perdarahan masif terus terjadi, pembedahan harus dilakukan. Usus tempat tumbuh divertikel dipotong dan disambung lagi. Tindakan ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan sayatan kecil jika sumber perdarahan bisa ditemukan.

Meski di rumah, perawatan seperti di RSPP tetap dilakukan. "Pemberian obat-obatan, pemantauan tanda-tanda kesehatan atau vital seperti tensi nadi, pernapasan, buang air besar dan kecilnya," kata Direktur RSPP, Sutji A. Mariono.

Selain itu, organ vital Soeharto tetap dipantau selama tiga bulan. Jika kondisinya membaik, tindakan lanjutan untuk menyembuhkan divertikelnya akan dilakukan. "Tapi kami menunggu kondisi tenang dulu," kata dr Mardjo.

Jika penggunaan kolonoskopi tetap ditolak, tim dokter berencana menggunakan kapsul nanorobotik impor, yang ditelan dan bekerja semacam endoskopi sebagai kamera untuk "melihat" bagian dalam tubuh. Analisisnya sendiri masih harus dilakukan di Singapura. Namun, sampai saat ini tampaknya tak ada rencana Soeharto untuk berobat ke negeri jiran itu karena tim dokter di Jakarta masih merasa mampu merawatnya. Lagi pula, kata dr Mardjo, "Jangankan ke luar negeri, ke rumah sakit saja sulit membujuknya."

Utami Widowati, Ami Afriatni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus