Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI atas kursi roda yang meluncur pelan, Soeharto melambaikan tangannya kepada orang-orang di lobi Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Di belakangnya, mengekor sejumlah tim medis dan juga pengawal. Dia bersarung ungu dengan baju koko hijau muda. Sudah sepekan dia terbaring di rumah sakit itu. Meski belum sembuh benar, Soeharto memutuskan pulang ke rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.
Dia masih sempat mengangkat tangannya, melambai kepada orang-orang, sebelum masuk ke mobil. Wajahnya masih pucat. Tangan kirinya tampak bengkak akibat bekas tusukan jarum infus. Tapi dia selalu punya tenaga untuk tersenyum. "Sekarang boleh pulang," ujar ketua tim dokter kepresidenan, Jenderal Mardjo Soebandiono. Kepada tim dokter, Soeharto berjanji, kalau kondisi memburuk akibat perdarahan usus itu, dia segera kembali lagi. Sebelumnya Soeharto pernah terserang stroke. Otak, jantung, paru-paru, dan ginjalnya dilaporkan belum pulih benar.
Tapi, selama terbaring di rumah sakit itu, jejaknya sebagai bekas orang kuat masih terasa. Di kamar 604, tamu tak henti berdatangan. Ada bekas wakil presiden Try Sutrisno, pengusaha Bob Hasan, bekas Kepala Staf Angkatan Darat Wismoyo Arismunandar, serta sejumlah pensiunan menteri zaman Orde Baru. Tak lupa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dua pemimpin baru Indonesia itu datang pada kesempatan yang berbeda.
Tak semua yang datang adalah kawan. Pada hari ketiga, bekas musuh politiknya, A.M. Fatwa, datang membesuk. Tapi kali ini Fatwa datang dengan damai, setidaknya begitulah dia mengaku. "Ini silaturahmi kemanusiaan," ujarnya. Fatwa pernah dihukum penjara karena kasus kerusuhan Tanjung Priok pada 1984. Dia dikirim Soeharto ke penjara selama 18 tahun. Dulu, dalam keadaan sakit, Fatwa tetap dipaksa hadir ke pengadilan sampai pingsan dan digotong para pendukungnya. Kini, dengan baju batik dan berpeci, Fatwa masuk ke kamar Soeharto. Dia membawa buku Menggugat Balik dari Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa.
Selama sepuluh menit berada di kamar itu, Fatwa sempat mencium kening Soeharto. Tak ada sisa kenangannya yang pahit dengan sang diktator yang kini berusia 84 tahun itu. "Saya tak dendam," ujar Fatwa. Secara politik, dia merasa sudah direhabilitasi pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Dia sempat berbincang sebentar dengan Soeharto, yang menurut Fatwa masih berbicara pelo dengan napas yang tersengal-sengal. Sempat juga dia membacakan surat politiknya itu sebentar di hadapan bekas presiden yang pernah berkuasa lebih dari 32 tahun itu.
Selain Fatwa, ada Ali Sadikin. Bang Ali, bekas Gubernur Jakarta dan tokoh yang pernah membangkang di zaman Soeharto itu, juga menyebut kedatangannya sebagai silaturahmi. ''Kesehatannya sudah membaik. Sewaktu saya jenguk, beliau masih tidur,'' kata Ali Sadikin. Dalam kesempatan yang lain, kepada Tempo, Bang Ali pernah mengatakan dia memang kerap berkunjung ke Cendana setelah Soeharto turun takhta. Setidaknya, pada setiap hari Lebaran, Ali menyempatkan diri bertamu ke Cendana. Di sana, dia tak lupa mencium pipi Soeharto.
Dua puluh enam tahun lalu, Bang Ali dan rekan-rekannya sempat memprotes Soeharto. Pada saat itu Soeharto mengatakan adanya usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain melalui segala macam cara. Pernyataan itu menuai kritik dari sekitar 50 tokoh. Mereka meneken pernyataan keprihatinan yang lalu dikenal sebagai kelompok Petisi 50. Menurut Bang Ali, Soeharto telah salah menafsir Pancasila sehingga menjadi alat kepentingan kekuasaan semata.
Soeharto tentu saja benci dengan protes itu. "Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya Petisi 50 itu tidak saya sukai," ujarnya, seperti yang tertuang dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Mereka, kata Presiden, mengira seolah-olah pendapatnya bener dewe, benar sendiri. Dengan retorika yang khas, Soeharto menuding Bang Ali dan kawan-kawan sebagai " .merasa mengerti, tetapi pada dasarnya tidak mengerti Pancasila". Sejak itu, semua anggota Petisi 50 terkena cekal. Hak perdata dan ekonomi mereka dipersulit. Pers dilarang memuat pernyataan mereka.
Seperti halnya manusia, politik bisa berubah bersama waktu. Fatwa, misalnya. Meski pernah sakit hati, dia mengatakan akan memaafkan Soeharto. Bukan itu saja, dia juga mengajak masyarakat lainnya turut memberi maaf. Tapi, kata Fatwa, prosesnya harus melewati satu produk hukum agar bisa dipertanggungjawabkan sejarah.
Setelah dijatuhkan oleh gelombang gerakan mahasiswa pada Mei 1998, gugatan hukum atas Soeharto dan kroninya mengalir deras. Kekayaannya dari hasil korupsi dan kolusi disorot, begitu juga praktek politik kekerasan selama dia berkuasa. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pernah membuat komisi khusus menyelidiki pelanggaran berat hak asasi manusia yang melibatkan Soeharto. "Ada peristiwa pembantaian 1965, kasus Lampung, dan Mei 1998," ujar Ketua Komisi Nasional HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Menurut Hakim, komisi itu sudah melakukan kajian awal. Tapi, kini sudah ada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), maka kerja penyelidikan itu tak lagi dilanjutkan. "Biarlah KKR bekerja dulu," ujar Hakim. Menurut dia, kalau nanti tak berhasil dan harus diselesaikan melalui pengadilan, DPR dan presiden segera membentuk pengadilan HAM ad hoc. Dengan begitu, Komnas HAM bisa menggelar penyelidikan pro-yustisia.
Menurut Hakim, kalau mau diselesaikan melalui KKR, harus menunggu terbentuknya komisi itu. Artinya, badan itu yang akan mengklarifikasi dan menyelidiki bagaimana kebenaran kasus yang dituduhkan atas Soeharto itu. Kalau ditemukan bersalah, tergantung Soeharto bersedia atau tidak mengakui dan meminta amnesti. Saat ini, kata Hakim, panitia seleksi untuk komisi rekonsiliasi sedang bekerja. Ada sekitar seribu orang yang melamar. Dari angka itu, disaring menjadi sekitar 42 orang untuk diajukan ke presiden. "Presiden menetapkan 20 orang dan dikirim ke DPR," ujarnya.
Tentu, kata Hakim, KKR itu hanya untuk urusan pelanggaran berat hak asasi manusia atau penyalahgunaan kekuasaan. Soal perkara korupsi Soeharto, tergantung pengadilan. Kalau pengadilan macet, pemerintah dan DPR harus mencari jalan keluar. "Misalnya, pemerintah dan DPR membuat undang-undang khusus yang mengatur metode pemeriksaan Soeharto," ujarnya.
Sejak sakit, kasus korupsi Soeharto memang macet. Kejaksaan Agung pernah menyidik dugaan penyalahgunaan dana berbagai yayasan Cendana, program mobil nasional, harta Soeharto di luar negeri, dan juga soal perkebunan dan peternakannya di Tapos, Bogor. Persidangannya dihentikan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Soalnya, alasan hakim, setiap kali sidang, Soeharto tak bisa hadir karena sakit. Kejaksaan pun menghentikan pengusutan atas Soeharto. "Sampai ada tim dokter yang menyatakan Soeharto bisa ikut sidang lagi," ujar juru bicara Kejaksaan Agung, Soehandoyo, Jumat pekan lalu.
Menurut Fatwa, sulit berharap Soeharto sembuh sampai mampu menghadap meja hijau. Untuk itulah, kata dia, perlu dicari jalan keluarnya. Apalagi Keluarga Cendana sudah memberi sinyal bahwa Soeharto ingin hidupnya berakhir tanpa beban perkara. Dia mengatakan belum menemukan jalan keluarnya alias masih buntu. Tapi, kemungkinan Soeharto minta maaf kepada rakyat juga sedang dipelajari.
Rekonsiliasi? Fatwa mengatakan bisa saja upaya memaafkan Soeharto menjadi agenda Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sumber Tempo menyebutkan bahwa ada rencana Keluarga Cendana membicarakan soal itu dengan sejumlah tokoh politik. Tapi, pihak Cendana buru-buru membantah upaya rujuk itu. Menurut juru bicara Keluarga Cendana, Juan Felix Tampubolon, belum ada pembahasan rekonsiliasi Keluarga Cendana dengan musuh politik Soeharto. "Kita belum membahas ke arah itu," katanya, Jumat pekan lalu.
Sudah tujuh tahun turun takhta, Soeharto sepertinya masih jauh dari jangkauan hukum. Dia juga tak bisa lagi bicara jelas. Setiap muncul di depan publik, sambil duduk di kursi roda dan tersenyum, Soeharto hanya melambaikan tangan.
Nezar Patria, Ramidi, Martha Warta, Sita Planasari, Y.A. Wiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo