Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tongkrongan kendaraannya gahar: Mitsubishi Pajero Sport putih. Mobil yang di pasar paling murah harganya Rp 300-an juta ini saban hari mangkal di depan ruang kerjanya yang asyik. Selain berpenyejuk udara, di sana terdapat televisi layar datar, kulkas, serta seperangkat meja kerja dan meja tamu. Di ruang ini pula, melalui pengintaian sejumlah kamera pengintai (CCTV), setiap pergerakan barang dan orang terpantau.
"Semua termonitor dari sini," kata Trisno Yuwono, pemilik ruang kerja itu, sembari menunjukkan layar komputer jinjing dan telepon pintarnya, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa dua pekan lalu. Trisno adalah pemilik tujuh toko Sari-sari Swalayan di Blitar dan Tulungagung. "Setiap orang mengawali usaha dari nol. Alhamdulillah, saya tak perlu waktu lama," kata pria 44 tahun yang pernah menjadi sopir keluarga di Arab Saudi ini.
Lewat peranti itu, Trisno bisa memantau semua toko swalayan miliknya, termasuk pergerakan bongkar-muat di gudang ataupun stok barang di toko. Ruang kerja Trisno, yang dibatasi dinding kaca, berada di dalam gudang miliknya di Kademangan, Blitar. Di depan gudang, berjarak beberapa meter, berdiri tegak bangunan rumah toko dua lantai: lantai satu untuk toko Sari-sari Swayalan, sedangkan lantai dua untuk tempat tinggal Trisno.
Sukses yang kini direguk Trisno tak lepas dari perjalanan nasib yang membawanya menjadi tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi pada 1991. Ia tertarik bekerja ke Arab karena banyak tetangganya yang bisa membangun rumah dan membeli perabotan mewah sepulang bekerja di sana. Trisno muda ingin membuang kesulitan hidup, termasuk pernah mencari batu kali untuk dijual ke pemecah batu.
Ia mendaftar ke sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Perusahaan yang akan memberangkatkan Trisno dari Jakarta menuju Arab ini mematok angka Rp 1,5 juta. Untuk mencukupi persyaratan itu, lulusan sekolah teknik mesin ini terpaksa menjual sepeda motor dan cincin kakaknya. Bangku kuliah di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Politik Blitar, yang sempat dijalaninya satu semester, ditinggalkan. Trisno merasa kehidupan sebagai guru setelah rampung kuliah kurang menjanjikan.
Di Arab, berbekal ijazah sekolah menengah atas, Trisno menjadi sopir yang ditempatkan di rumah wakil gubernur di Tabuk. Di rumah pejabat Arab ini ia belajar banyak hal. Salah satunya bahasa Arab. Maklum, meski PJTKI yang memberangkatkannya memiliki izin resmi Dinas Tenaga Kerja Indonesia, pelatihan yang diberikan kepada calon TKI tak semuanya dipenuhi. Misalnya, Trisno hanya dikenalkan pada tiga kosakata Arab sebagai bekal menjadi sopir. Ketiga kata itu adalah yamin berarti kanan, yasir berarti kiri, dan sukron sebagai ucapan terima kasih.
Dengan gaji 800 riyal per bulan atau sekitar Rp 400 ribu kala itu, Trisno bisa mengirimkan uang untuk ibunya 200 riyal. Bersama seorang sopir lain berkebangsaan Sudan, ia bertanggung jawab atas perawatan dan penggunaan 14 mobil mewah di rumah itu. Setiap hari dia melayani kebutuhan transportasi 21 anak majikannya tanpa henti. "Lama-lama mulai jenuh, terlalu banyak kendaraan dan anak majikan yang harus dilayani," katanya.
Karena itu, setelah setahun bekerja di tempat itu, pada 1992 Trisno mengajukan izin pulang kepada majikannya. Permintaan itu ditolak. Sang majikan memberi pilihan kepada Trisno: pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri atau pindah kerja ke tempat lain di Arab. Karena tak cukup punya uang, Trisno memilih opsi kedua, yang akhirnya mengantarkannya ke seorang saudagar toko gerabah impor.
Di tempat baru, Trisno merasa lebih nyaman. Karena tak punya anak, majikannya jarang sekali menggunakan jasa Trisno sebagai sopir keluarga. Sebaliknya, dia kerap diberi tugas membantu di toko gerabah. Selain membersihkan lapak, Trisno melayani pembeli dengan bahasa Arab yang sudah fasih. Di toko ini pula ia dipercaya mengatur stok barang di gudang sehingga menguasai mekanisme alur barang masuk dan keluar. Pekerjaan Trisno meningkat menjadi sales alias tenaga penjualan untuk menawarkan gerabah ke sejumlah toko yang lain.
Saat menjadi tenaga penjualan itulah Trisno bertemu dengan Tom, warga negara Thailand pemilik Thaimart, toko swalayan yang menyediakan bahan kebutuhan pokok orang Asia di Arab. Tom cerdik membidik pasar orang Asia dengan memasok barang dan makanan dari negara mereka. Walhasil, toko swalayannya tak pernah sepi dari kunjungan orang Asia yang ingin mencicipi makanan kampung mereka. "Saya memberanikan diri menawarkan barang Indonesia ke tokonya," kata Trisno.
Gayung bersambut. Tom menerima penawaran itu, yang memberi Trisno kesempatan menitipkan barang dari Indonesia, seperti cabai, kencur, kemiri, dan pepaya mentah. Trisno mendapatkan semua barang itu di Jeddah. Tak hanya di toko Tom, ia juga menitipkan barang yang sama ke toko dan toko swalayan lain di Tabuk. Ternyata usaha sampingannya ini berbuah manis. Pundi-pundinya semakin menggelembung. Dari usaha ini Trisno bisa membeli sebidang tanah di Kademangan berukuran 8 x 13 meter seharga Rp 20 juta. Dia mengangankan tanah ini akan dijadikan toko jika sudah pulang ke Tanah Air.
Pada 2000, Trisno pun mewujudkan mimpinya. Di atas lahan di dekat Pasar Kademangan itu ia bangun rumah toko swalayan sederhana dengan duit Rp 50 juta hasil kerja kerasnya di Arab. Lantaran dekat dengan pasar, dia menamai tokonya Sari-sari Swalayan. Toko swalayan yang memungkinkan pembeli mengambil langsung barang yang dibelinya ini selalu ramai. Kala itu toko modern seperti ini masih asing bagi warga Blitar, sehingga menjadi daya tarik tersendiri.
Tahun demi tahun, usaha Trisno bersama istrinya, Eva Kharisma Dewi, terus berkembang sehingga menjadi tujuh toko swalayan. Dengan gerai sebanyak itu, omzetnya pun menggelembung mencapai miliaran rupiah per tahun. Untuk menjalankan usahanya, dia merekrut lebih dari 100 karyawan. "Nyaman kerja di sini," kata Nita, kasir Sari-sari Swalayan di Kademangan. Sebagai tenaga magang, ia mendapat upah Rp 700 ribu sebulan. Jika sudah menjadi karyawan dan kerjanya bagus, upahnya bisa menjadi dua kali lipat.
Selain barang-barang yang dijual terbilang komplet, faktor murahnya harga tak bisa dielakkan sebagai daya tarik. Saking murahnya, sejumlah toko kecil di sekitarnya bahkan mengambil barang dagangan dari toko swalayan Trisno. Menurut Trisno, minimarket yang ada di daerahnya tak bisa bermain harga karena aturan promo ditentukan pusat. Sedangkan dia, dengan pertimbangan tertentu sehingga "kerugian" dari barang yang murah itu tertutupi oleh keuntungan barang yang lain, bisa menurunkan harga setiap saat.
"Harganya jauh lebih murah, mirip grosir," kata Solichan Arif, salah satu pelanggan Sari-sari Swalayan di Kademangan. Untuk bisa menghemat fulus, warga Wonodadi, Blitar, ini rela menempuh perjalanan beberapa kilometer dengan mobilnya menuju Kademangan. Selama perjalanan, sejumlah toko swalayan dan minimarket dilalui, tapi tak diliriknya. Di Sari-sari Swalayan, setidaknya setengah juta rupiah dibelanjakan saban bulan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti beras, minyak goreng, sabun mandi, dan sabun cuci.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Blitar Maulan mengapresiasi usaha yang dibangun Trisno. Menurut dia, selain menyerap banyak tenaga kerja, usaha ini menyumbang pemasukan negara melalui pembayaran pajak.
Sebagai bekas tenaga kerja Indonesia yang dinilai berhasil, Trisno pernah diganjar Indonesia International Migrant Worker's Award 2011 dari Pusat Usaha Kecil Menengah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. "TKI di luar negeri memang harus cerdik mengelola keuangan," kata Trisno, "Salah satu caranya, ya, menyisihkan uangnya untuk membangun usaha."
Dwi Wiyana, Hari Tri Wasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo