Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPK menemukan pengadaan alat rapid test antigen pada Direktorat Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan melebihi kebutuhan.
Tim auditor juga menemukan ketidaksesuaian spesifikasi pengadaan alat rapid test antigen.
BPK menyebutkan ada 4.555 temuan yang memuat 6.011 permasalahan dengan nilai Rp 31,34 triliun.
JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan pelanggaran dalam pengadaan alat rapid diagnostic test antigen Coronavirus disease 2019 (Covid-19) di Kementerian Kesehatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga auditor ini, pengadaan tes antigen sebagai pendeteksi virus corona itu melebihi kebutuhan hingga mencapai Rp 314,9 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut laporan pemeriksaan kepatuhan atas pengadaan barang dan jasa tahun 2020 dan 2021, BPK menemukan pengadaan rapid test antigen pada Direktorat Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan melebihi kebutuhan. Pengadaan tersebut pada periode September-Desember 2021. Kelebihan pengadaan itu terjadi karena Kementerian Kesehatan tidak mempertimbangkan ketersediaan stok rapid test antigen di daerah. "Serta tidak mempertimbangkan hibah rapid test antigen dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) serta Badan Penanganan dan Kesehatan Anak-anak (UNICEF)," demikian isi tulisan tim BPK dikutip dari laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021, kemarin, 25 Mei.
Suasana tempat tes antigen dan PCR di Kebon Jeruk, Jakarta, 24 Mei 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain kelebihan pengadaan alat tes antigen, Kementerian Kesehatan disebut melakukan kelebihan pembayaran Rp 31,606 miliar untuk belanja barang penanganan pandemi Covid-19 pada pusat krisis kesehatan. Kelebihan pembayaran ditemukan pada sembilan penyedia pengadaan bahan pemeriksaan Covid-19 pada jejaring laboratorium Covid-19 di pusat penelitian biomedis serta teknologi dasar kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes).
Berdasarkan laporan BPK pula, ditemukan adanya ketidaksesuaian spesifikasi pada pengadaan alat rapid test antigen tahap I dan III. "Pemilihan penyedia rapid test antigen tidak berdasarkan survei pasar di Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan," demikian laporan tersebut. Laporan ini ditandatangani oleh Dori Santosa selaku penanggung jawab pemeriksaan BPK pada 27 Januari 2022.
BPK mempublikasikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2021 pada Selasa, 24 Mei 2022, dalam rapat paripurna ke-23 DPR. Ketua BPK Isma Yatun memaparkan bahwa ikhtisar pemeriksaan tahun 2021 memuat 535 laporan hasil pemeriksaan (LHP). Jumlah tersebut terdiri atas 3 laporan keuangan, 317 laporan kinerja, dan 215 laporan dengan tujuan tertentu.
Badan Pemeriksa Keuangan menemukan sejumlah masalah pada pengadaan barang dan jasa Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2020 dan 2021. Empat temuan utama berhubungan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Dari sejumlah laporan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyebut ada 4.555 temuan yang memuat 6.011 permasalahan dengan nilai Rp 31,34 triliun. Temuan tersebut terdiri atas 3.173 permasalahan perihal ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan yang mencapai Rp 1,64 triliun; 1.720 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 29,70 triliun; serta 1.118 permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI).
Isma menuturkan, ikhtisar pemeriksaan semester II tahun 2021 juga memuat temuan tematik atas dua prioritas nasional, yaitu penguatan ketahanan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia. Dia menuturkan, pemeriksaan tematik terdiri atas 256 pemeriksaan kinerja dan 38 pemeriksaan dengan tujuan tertentu (DTT) kepatuhan.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan tidak tahu-menahu perihal kelebihan bayar dalam pengadaan alat tes antigen maupun untuk kebutuhan Covid-19. "Saya enggak tahu itu temuan dari mana. Saya enggak pernah dapat temuan itu dari BPK," ujar Lucia saat dimintai konfirmasi.
Adapun pelaksana tugas Direktur Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan, Endang Budi Hastuti, irit berkomentar. "Kami belum terinfokan tentang ini," ujar Koordinator Substansi Penyakit Infeksi Emerging Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan itu.
Menanggapi hal tersebut, peneliti dari Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, menduga kelebihan bayar pengadaan di Kementerian Kesehatan dalam belanja kebutuhan Covid-19 terjadi akibat proses yang dilakukan secara darurat. Dalam kondisi pandemi, kata dia, pengadaan memang boleh dilakukan dengan alasan darurat. "Namun prosesnya seharusnya tetap dapat terbuka," ujar Agus.
Menurut Agus, sampai saat ini tidak ada pencatatan dalam pengadaan secara darurat. Seharusnya, dalam keadaan darurat pun, pemerintah harus terbuka mempublikasikan pengadaan, termasuk tes antigen yang bersumber dari pembelian langsung maupun hibah.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo