Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan Hanya Ngomong Jepang

Ternyata baru dua orang ahli jepang di Indonesia yang bergelar doktor (lie tek tjeng dan i ketut surajaya), sementara pengetahuan tentang jepang semakin di butuhkan Indonesia.(pdk)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENTARA hubungan dengan Jepang di segala bidang terasa semakin penting sedikit sekali orang Indonesia yang ahli tentang Jepang. Bahkan di kalangan perguruan tinggi cuma dua ahli tentang Jepang yang bergelar doktor. Pertama Lie Tek Tjeng, yang memperoleh doktornya dari Universitas Harvard tahun 1960-an. Kedua, I Ketut Surajaya, yang meraih doktornya Sabtu lalu di Universitas Indonesia dengan predikat memuaskan. Tapi memang perhatian Indonesia terhadap Jepang terhitung belum lama. Yang pertama membuka pelajaran bahasa Jepang adalah Akademi Pendidikan Ahli Bahasa Asing, di Bandung, 1959. Akademi ini kemu dian bergabung dengan Unpad, 1964. Sementara itu IKIP Bandung tahun 1965 membuka pula Jurusan Bahasa Jepang. Kemudian (1967) Perguruan Tinggi Swadaya, Medan, membuka pula jurusan Jepang. Tapi memang pendidikan di Bandung dan Medan waktu itu baru mementingkan berbahasa Jepang, belum yang lain-lain. Inisiatif pihak Jepang terlambat untuk menyelenggarakan studi tentang Jepang. Dan tak hanya di Indonesia tapi juga di negara Asia Tenggara yang lain: Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina. Di Indonesia, UI-lah yang membuka pintu. Maka pada uhun 1967 dibukalah Seksi Sastra Jepang di Jurusan Asia Timur FSUI, dengan 32 mahasiswa. Beberapa dosen didatangkan dari Jepang. Seksi ini diketuai oleh Dr. Lie Tek Tjeng. Sebagai seksi baru, jalan perkuliahannya memang seret, kenang Sheddy N. Tjandra,MA, Ketua Seksi Jepang FSUI kini. Dia seorang dari 32 mahasiswa seksi itu yang pertama. Toh, tepat 3 tahun kemudian berhasil lulus 8 sarjana muda dari seksi tersebut. Dan pada 1973 untuk pertama kalinya seksi ini menelurkan seorang sarjana. Memang kemudian muncul berbagai akademi bahasa yang membuka jurusan Jepang. Juga kursus-kursus bahasanya tersebar di Jakarta, Medan, Yogya, Bandung dan Surabaya. Tapi itu belum mencerminkan tumbuhnya minat studi tentang Jepang. Sebab akademi dan kursus itu lebih bersifat praktis, mengajarkan agar orang bisa berbicara Jepang. Misalnya kursus Nippon Bunka Gakuin di Yogyakarta yang berdiri pada 1969. Tujuan utama para peserta kursus di sini ialah bisa menjadi pemandu wisatawan Jepang yang kian hari kian banyak. "Pihak hotel dan biro pariwisata di Yogya, kalau mau mencari guide untuk orang Jepang, pasti datang ke kami," kata Sundari, Kepala Administrasi kursus Ini. Di Seksi Sastra Jepang (UI) diajarkan bukanlah semata ketrampilan berbahasa, tapi lebih jauh dari itu. Di sini dipelajari hal linguistik, sastra dan sejarah Jepang. Dan itu seperti tidak mudah. Terbukti ningga kini baru 26 sarjana berhasil lulus. Dan hanya 12 sarjana yang kemudian bersedia menjadi dosen tetap di seksi ini. Dan baru 5 orang yang meraih MA. Yang berhasil mendapat doktor, ya, baru I Ketut Surajaya itu. Padahal fasilitas di UI semakin baik. Perpustakaan Seksi Sastra Jepang memiliki 6 ribu buku, termasuk yang dari bantuan Japan Foundation. Juga di perpustakaan ini bisa dibaca harian Asahi Sbimbun--tentu saja datangnya terlambat beberapa hari. "Saya berani menjamin perpustakaan di sini up-to date, " kau Sheddy. Semenura itu Japan Foundation juga mengeluarkan bea siswa untuk 12 mahasiswa setiap tahun. Juga ada bea siswa bagi seorang dosen untuk belajar di Jepang selama setahun. Seksi Jepang FSUI tidak sepi dari peminat. Tapi terbatas daya tampungnya. Sampai dengan tahun kuliah 1975 tiap tahun hanya diterima 20 mahasiswa baru. Mulai 1976 hingga kini, 25. "Itu kira-kira hanya 10% dari yang mendaftar," kata Sheddy pula. Dibandingkan dengan Seksi Sastra Cina dan Sastra Jawa, Seksi Sastra Jepang memang lebih unggul di FSUI. Tercatat pada tahun kuliah 1981/82 jumlah mahasiswa Seksi Sastra Jepang 88, Sastra Cina hanya 71 dan Sastra Jawa Cuma 47. Tapi memang tidak semua lulusan Sastra Jepang FSUI kemudian benarbenar memanfaatkan ilmunya. "Banyak yang hanya menjadi ibu rumah tangga dari 26 sarjana Sastra Jepang itu," kata Sheddy. Yang lain, selain menjadi dosen di FSUI sendiri, ada yang bekerja di LIPI, perusahaan swasta Indonesia yang joint venture dengan modal Jepang. Pun ada yang bekerja di media massa. Ketut Surajaya tampaknya ingin merangsang mahasiswa Sastra Jepang untuk kemudian memanfaatkan ilmunya. Dia, katanya, mengharapkan dibentuknya pusat informasi tentang Jepang di Indonesia "Pengetahuan tentang Jepang kini tidak hanya dibutuhkan oleh para intelektual, tapi juga oleh pemerintah dan para pengusaha." Sementara itu Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta sering kali mengadakan kvntes mahasiswa teladan (jurusan Jepang) dan lomba pidato dalam bahasa Jepang. Hadiahnya adalah melihat Jepang selama 10 hari, gratis. Pekan lalu untuk kesembilan kalinya Pusat Kebudayaan Jepang mengadakan kontes mahasiswa teladan, diikuti peserta dari Jakarta, Randung dan Surabaya. Adapun Ketut, yang masuk Sastra Jepang pada 1971, lulus pada 1975. Ia mengaku ia memilih seksi ini atas dorongan pamannya yang waktu itu baru pulang dari Jepang. Dan tahun 1976 ia pergi ke Jepang, masuk Universitas Hitotsubashi di Tokyo. Tiga tahun kemudian ia memperoleh MA-nya. Disertasinya kini memasalahkan Demokrasi di Zaman Taisho. "Saya ingin tahu apakah sistem demokrasi yang diimpor dari Barat bisa menumbuhkan modernisasi suatu bangsa," kata Ketut, yang ketika berangkat ke Jepang belum berkacamata. Kini selalu ia mengenakan kacamata minus tiga. "Ini gara-gara huruf kanji dan memburu waktu, saya harus sering membaca di kereta api," katanya. Orang Bali ini selama di Jepang juga menjadi koresponden TEMPO. Tapi ayah dari tiga anak ini yang bungsu lahir di Jakarta sebelas hari sebelum ia maju mempertahankan disertasinya pekan lalu) tidak bisa melangsungkan promosi doktor di Jepang. Tradisi Jepang tidak mengizinkan orang cepat-cepat menjadi doktor. Harus orang yang sudah dianggap matang betul," kata Ketut. Maka untuk promosinya, dua guru besar Jepang datang ke UI: Prof. Yasumaru Yoshio dan Prof. Sozo Matsunaga. Maka sidang Sabtu pagi itu berlangsung dengan dua bahasa. Disertasi Ketutpun dalam dua bahasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus