SEMENTARA hubungan dengan Jepang di segala bidang terasa semakin
penting sedikit sekali orang Indonesia yang ahli tentang Jepang.
Bahkan di kalangan perguruan tinggi cuma dua ahli tentang Jepang
yang bergelar doktor. Pertama Lie Tek Tjeng, yang memperoleh
doktornya dari Universitas Harvard tahun 1960-an. Kedua, I Ketut
Surajaya, yang meraih doktornya Sabtu lalu di Universitas
Indonesia dengan predikat memuaskan.
Tapi memang perhatian Indonesia terhadap Jepang terhitung belum
lama. Yang pertama membuka pelajaran bahasa Jepang adalah
Akademi Pendidikan Ahli Bahasa Asing, di Bandung, 1959. Akademi
ini kemu dian bergabung dengan Unpad, 1964. Sementara itu IKIP
Bandung tahun 1965 membuka pula Jurusan Bahasa Jepang. Kemudian
(1967) Perguruan Tinggi Swadaya, Medan, membuka pula jurusan
Jepang. Tapi memang pendidikan di Bandung dan Medan waktu itu
baru mementingkan berbahasa Jepang, belum yang lain-lain.
Inisiatif pihak Jepang terlambat untuk menyelenggarakan studi
tentang Jepang. Dan tak hanya di Indonesia tapi juga di negara
Asia Tenggara yang lain: Thailand, Malaysia, Singapura,
Filipina. Di Indonesia, UI-lah yang membuka pintu. Maka pada
uhun 1967 dibukalah Seksi Sastra Jepang di Jurusan Asia Timur
FSUI, dengan 32 mahasiswa. Beberapa dosen didatangkan dari
Jepang. Seksi ini diketuai oleh Dr. Lie Tek Tjeng.
Sebagai seksi baru, jalan perkuliahannya memang seret, kenang
Sheddy N. Tjandra,MA, Ketua Seksi Jepang FSUI kini. Dia seorang
dari 32 mahasiswa seksi itu yang pertama. Toh, tepat 3 tahun
kemudian berhasil lulus 8 sarjana muda dari seksi tersebut. Dan
pada 1973 untuk pertama kalinya seksi ini menelurkan seorang
sarjana.
Memang kemudian muncul berbagai akademi bahasa yang membuka
jurusan Jepang. Juga kursus-kursus bahasanya tersebar di
Jakarta, Medan, Yogya, Bandung dan Surabaya. Tapi itu belum
mencerminkan tumbuhnya minat studi tentang Jepang. Sebab akademi
dan kursus itu lebih bersifat praktis, mengajarkan agar orang
bisa berbicara Jepang. Misalnya kursus Nippon Bunka Gakuin di
Yogyakarta yang berdiri pada 1969. Tujuan utama para peserta
kursus di sini ialah bisa menjadi pemandu wisatawan Jepang yang
kian hari kian banyak. "Pihak hotel dan biro pariwisata di
Yogya, kalau mau mencari guide untuk orang Jepang, pasti datang
ke kami," kata Sundari, Kepala Administrasi kursus Ini.
Di Seksi Sastra Jepang (UI) diajarkan bukanlah semata
ketrampilan berbahasa, tapi lebih jauh dari itu. Di sini
dipelajari hal linguistik, sastra dan sejarah Jepang.
Dan itu seperti tidak mudah. Terbukti ningga kini baru 26
sarjana berhasil lulus. Dan hanya 12 sarjana yang kemudian
bersedia menjadi dosen tetap di seksi ini. Dan baru 5 orang yang
meraih MA. Yang berhasil mendapat doktor, ya, baru I Ketut
Surajaya itu.
Padahal fasilitas di UI semakin baik. Perpustakaan Seksi Sastra
Jepang memiliki 6 ribu buku, termasuk yang dari bantuan Japan
Foundation. Juga di perpustakaan ini bisa dibaca harian Asahi
Sbimbun--tentu saja datangnya terlambat beberapa hari. "Saya
berani menjamin perpustakaan di sini up-to date, " kau Sheddy.
Semenura itu Japan Foundation juga mengeluarkan bea siswa untuk
12 mahasiswa setiap tahun. Juga ada bea siswa bagi seorang dosen
untuk belajar di Jepang selama setahun.
Seksi Jepang FSUI tidak sepi dari peminat. Tapi terbatas daya
tampungnya. Sampai dengan tahun kuliah 1975 tiap tahun hanya
diterima 20 mahasiswa baru. Mulai 1976 hingga kini, 25. "Itu
kira-kira hanya 10% dari yang mendaftar," kata Sheddy pula.
Dibandingkan dengan Seksi Sastra Cina dan Sastra Jawa, Seksi
Sastra Jepang memang lebih unggul di FSUI. Tercatat pada tahun
kuliah 1981/82 jumlah mahasiswa Seksi Sastra Jepang 88, Sastra
Cina hanya 71 dan Sastra Jawa Cuma 47.
Tapi memang tidak semua lulusan Sastra Jepang FSUI kemudian
benarbenar memanfaatkan ilmunya. "Banyak yang hanya menjadi ibu
rumah tangga dari 26 sarjana Sastra Jepang itu," kata Sheddy.
Yang lain, selain menjadi dosen di FSUI sendiri, ada yang
bekerja di LIPI, perusahaan swasta Indonesia yang joint venture
dengan modal Jepang. Pun ada yang bekerja di media massa.
Ketut Surajaya tampaknya ingin merangsang mahasiswa Sastra
Jepang untuk kemudian memanfaatkan ilmunya. Dia, katanya,
mengharapkan dibentuknya pusat informasi tentang Jepang di
Indonesia "Pengetahuan tentang Jepang kini tidak hanya
dibutuhkan oleh para intelektual, tapi juga oleh pemerintah dan
para pengusaha."
Sementara itu Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta sering kali
mengadakan kvntes mahasiswa teladan (jurusan Jepang) dan lomba
pidato dalam bahasa Jepang. Hadiahnya adalah melihat Jepang
selama 10 hari, gratis. Pekan lalu untuk kesembilan kalinya
Pusat Kebudayaan Jepang mengadakan kontes mahasiswa teladan,
diikuti peserta dari Jakarta, Randung dan Surabaya.
Adapun Ketut, yang masuk Sastra Jepang pada 1971, lulus pada
1975. Ia mengaku ia memilih seksi ini atas dorongan pamannya
yang waktu itu baru pulang dari Jepang. Dan tahun 1976 ia pergi
ke Jepang, masuk Universitas Hitotsubashi di Tokyo. Tiga tahun
kemudian ia memperoleh MA-nya.
Disertasinya kini memasalahkan Demokrasi di Zaman Taisho. "Saya
ingin tahu apakah sistem demokrasi yang diimpor dari Barat bisa
menumbuhkan modernisasi suatu bangsa," kata Ketut, yang ketika
berangkat ke Jepang belum berkacamata. Kini selalu ia mengenakan
kacamata minus tiga. "Ini gara-gara huruf kanji dan memburu
waktu, saya harus sering membaca di kereta api," katanya. Orang
Bali ini selama di Jepang juga menjadi koresponden TEMPO.
Tapi ayah dari tiga anak ini yang bungsu lahir di Jakarta
sebelas hari sebelum ia maju mempertahankan disertasinya pekan
lalu) tidak bisa melangsungkan promosi doktor di Jepang.
Tradisi Jepang tidak mengizinkan orang cepat-cepat menjadi
doktor. Harus orang yang sudah dianggap matang betul," kata
Ketut.
Maka untuk promosinya, dua guru besar Jepang datang ke UI: Prof.
Yasumaru Yoshio dan Prof. Sozo Matsunaga. Maka sidang Sabtu pagi
itu berlangsung dengan dua bahasa. Disertasi Ketutpun dalam dua
bahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini