Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Salah Pejabat, Salah Guru Salah Pejabat, Salah Guru

Kepala sekolah yang terjaring operasi tuntas (juli 1982), sebagian besar diangkat kembali di sekolah lain, hanya seorang yang dipecat. (pdk)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Operasi Tunas III di delapan kota dilangsungkan (Juli lalu) ditemukan berbagai kecurangan. Yaitu banyak murid diterima lewat jalan belakang, sementara murid yang lulus tes tergeser. Operasi ini menjaring 168 orang (kepala sekolah SMTP & SMTA, guru dan pejabat Kanwil P&K). Waktu itu mereka dikenakan sanksi sementara -- bebas tugas. Tapi dalam pemeriksaan lebih lanjut ditemukan berbagai hal yang meringankan mereka. "Kesalahan bukan semata-mata ada di pihak mereka yang kena tindak," ,kata Irjen Dep. P&K Fx. Soedijana. Ia mengatakan pada TEMPO bahwa mereka terpojok oleh para pejabat yang menitipkan anaknya agar diterima di sekolah tertentu. Para kepala sekolah dan guru dalam masa penerimaan murid baru memang sering repot. "Kami seperti ditekan dari bawah dan dari atas," tutur seorang kepala SMTA di Medan. Semula kena tindak, dia kini diangkat kembali di sebuah SMTA di luar kota. Bila seorang pejabat menitipkan agar anaknya yang ridak lulus tes, diterima di sekolahnya, tutur Pak Kepala itu, "kepala bisa puyeng. Bila anak itu tidak diterima, akibatnya bisa macam-macam." Tapi karena menerima anak itu, dia berarti menggeser murid yang sebenarnya lulus tes. Di Medan Operasi Tunas 111 menemukan 727 calon murid SMTP & SMTA yang tidak diterima, padahal mereka lulus tes, karena adanya murid jalan belakang (TEMPO, 31 Juli). Akibatnya 17 kepala sekolah SMTP & SMTA kena tindak. Kemudian menyusul enam kepala sekolah lagi kena tegur. Dari 17 kepala sekolah yang kena tindak, 13 diangkat kembali Desember ini, tapi ditempatkan di sekolah lain, kebanyakan di luar Kota Medan. Di Bandung, Operasi Tunas 111 menjaring 43 orang. Pihak Kanwil P&K tidak bersedia memberikan data berapa di antaranya yang kemudian diangkat lagi. Yang jelas enam kepala sekolah dibebaskan dari jabatannya. Di enam kota yang lain, jumlah yang terkena tindakan tidak menyolok. Di Surabaya, misalnya, hanya seorang yang dibebaskan dari jabatannya dari 35 yang terjaring. Bahkan di Semarang operasi itu hanya menemukan kesalahan kecil pada diri tiga kepala sekolah. Mereka hanya kena teguran tertulis. Di DKI Jakarta pun, hanya seorang yang dibebaskan dari jabatannya dari sembilan yang terkena tindakan. Di Yogyakarta dari 27 yang masuk jaring operasi ini, 16 di antaranya termasuk melakukan kesalahan kategori ringan (mendapat teguran lisan atau tertulis, dan mendapat pernyataan tidak puas). Sepuluh yang lain hanya diturunkan dan ditunda kenaikan gajinya. Tapi memang di Yogya ini seorang kepala sekolah dipecat tidak dengan hormat. Dia satu-satunya mendapat hukuman berat, dari 168 yang terkena jaring Operasi Tunas III. Namanya tetap dirahasiakan. "Ini untuk menjaga kewibawaan guru di mata murid dan masyarakat," kata Fx. Sahyar Suprapto, Kepala Bagian Penerangan Kanwil Dep. P&K Yogyakarta. Tapi di Bandung, Palembang, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan Ujungpandang, Operasi Tunas III berjalan tenang. Lain halnya di Medan. Ketika 17 kepala sekolah terkena tindakan semenura, Juli lalu, suara masyarakat Medan pun ramai. Ada yang setuju, ada pula yang tidak. Banyak yani mempertanyakan: Mengapa hanya kepala sekolah yang ditindak, sementara pejabat itu tidak? Itu tidak adil. Alhamdulillah, suara ini tidak sia-sia, terbukti dengan diangkatnya kembali 13 kepala sekolah itu. Toh pengangkatan kembali menirnbulkan sedikit kericuhan. Sebuah STM Negeri mendapat kepala sekolah baru yang ditindak dari sekolah lain. Kepala STM tersebut terkena tindakan pula. Maka BP3 di situ kemudian memprotes. Tapi akhirnya masalah ini dapat diselesaikan. Dengan dipindahkannya mereka itu tetap merupakan hukuman, menurut Humas Kanwil P&K Sumatera Utara. Dan di Medan pula Aisyah Nasution, Kepala Sekolah SMP Negeri XII, menolak diangkat kembali menjadi kepala sekolah di sebuah SMP di luar kota. Ibu itu sudah menjadi kepala sekolah di SMPN XII selama 16 tahun, dan tidak merasa bersalah. Yang menarik ialah sikap mereka di Medan yang kini diangkat kembali itu. Bila nanti ada pejabat yang menitipkan anaknya pada pendaftaran murid baru tahun depan, "saya akan tunjukkan SK Menteri P&K tentang hukuman terhadap saya ini," kata salah seorang di antara mereka, misalnya. "Saya tidak mau kehilangan tongkat untuk kedua kalinya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus