Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cerita Dari Perbatasan

Catatan tentang operasi penumpasan GPL/OPM. Rum Koren, Pacad, mengangkat diri sebagai presiden OPM. PNG menjadi tempat pelarian dan merupakan hambatan pemberantasan gerombolan tersebut. (nas)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUNI 1976. Arso, sebuah desa di selatan Jayapura. Dengan ransel bahan makanan di punggung (bekal cukup untuk 7 sampai 12 hari berupa beras, ikan asin, abon dan super mie), kami mendapat perintah untuk menerobos ke timur, mendekati perbatasan. Dengan ketinggian 2057 M, medan cukup berat untuk kami. Daerah yang tak kami kenal, bahasa yang tak kami mengerti membuat kami sulit membedakan apakah penduduk juga turut aktif dalam gerakan yang harus kami tumpas. Karena GPL (Gerakan Papua Liar - Red.), sama seperti penduduk di sekitar situ," tak mengenakan pakaian seragam. Dan bisa berlari tanpa sepatu melebihi kami, yang punya beban di bahu dan tangan. Di hari ke-20, kami merasa melihat bayangan 4 - 5 orang menyelinap di balik pohon-pohon yang tebal. Mereka bersenjatakan Mauser dan AK lop dobel. Seperti juga kami, mereka memakai taktik hit and run. Belum pernah terjadi serangan langsung. Tanggal 4 Juli. Team kami (15 orang) menemukan sebuah bivak yang sudah kosong. Keadaan dalam barak bersih dan tertib. Di atas meja masih ada kopi bubuk cap Merak, sisa makanan kaleng buatan Australia, bahkan banyak kaleng bir yang sudah kosong. Kami berdiam di bivak sehari semalam. Medan tak kami kuasai. Kalau lebih lama tinggal di situ akan merupakan killing ground (tempat mematikan - Red.) buat kami. Setelah satu setengah bulan masuk hutan, kami kemudian kembali ke Arso, desa kecil di mana team Perdamaian RPKAD membina masyarakat desa untuk bercocok tanam. Oleh-oleh dari operasi Tumpas: Malaria". Dislokasi Victoria "Seth J. Rumkoren adilah Pacad pendidikan Cimahi. Di awal tahun 1950, Rumkoren bahkan pernah berkantor di SUAD, jalan Merdeka ltara, Jakarta. Sejak GPL/OPM diproklamirkan 1 Juli 1971, Rumkoren mengangkat dirinya jadi brigadir jenderal dan presiden dari gerombolan tersebut. Kini pengikutnva sekitar 30 rang dan sejumlah 1.000 penduduk (3 atau 4 kampung) diduga di bawah pengaruhnya. Operasi demi operasi telah diadakan di daerah perbatasan itu (operasi Kikis, Tumpas, Balas, Perdamaian), sulit untuk mengikis habis mereka ini. Karena mereka lebih banyak menguasai medan, tersamar dengan penduduk biasa dan kalau rnasuk daerah PNG (di perbatasan ada 200 meter lebar daerah tak bertuan), tentu saja tak bisa dikejar. Seperti laporan salah seorang tentara yang lain: Sering kami kejar ke sana (PNG) dan kalau karni bertemu dengan police boy (pagar praja PNG), tak begitu menyulitkan. Tapi kalau pasukan kami bertemu dengan special branch (intel PNG), ini yang menjadikan kesulitan kami. Karena kami dianggap melanggar batas. Sebegitu jauh, belum pernah pasukan TNI menemukan apa yang dinamakan benteng Victoria. Kabarnya, lokasi benteng untuk menggembleng tentaranya Rumkoren ini selalu berpindah-pindah. Kadang di Vanimo, kemudian pindah pula di Scau Tiau, semuanya daerah PNG. Pasukan perbatasan TNI menduga bahwa kontak dengan luar, biasanya lewat perahu nelayan, missi atau turis. Teror sering mereka lancarkan terhadap penduduk biasa dari pasukan GPL/OPM. Mereka yang tidak turut anjuran mereka, kampungnya dibakar. Tapi setelah tokoh masyarakat Ben Boratian kembali ke pihak RI, Rumkoren dan gerombolannya terjadi perpecahan. Dia tidak sependapat lagi dengan Jacob Pray, yang jadi ketua Senat GPL/OPM. Sama seperti orang-orang GPL/OPM yang berada di negeri Belanda (sekitar 6.000 orang) yang kini terpecah jadi tiga bagian. Dan cuma satu bagian saja: grupnya Herman Womsiwor yang mendapat dukungan dari organisasi Belanda, Door de Eeuwen Trouw, bahkan tahun lalu telah membuka "kedutaan"nya di Dakar, Senegal. Tapi sering pula di Irian Jaya. penduduk yang karena kesalahan lain, kalau lari ke PNG langsung dituduh turut GPL/OPM. Seperti misalnya Issac Samuel Fatahan, jago tembak, bisa menyanyi dan melukis yang jadi polisi hutan, yang kabarnya kini tertahan atau ditahan di PNG".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus