JUNI 1976. Arso, sebuah desa di selatan Jayapura. Dengan ransel
bahan makanan di punggung (bekal cukup untuk 7 sampai 12 hari
berupa beras, ikan asin, abon dan super mie), kami mendapat
perintah untuk menerobos ke timur, mendekati perbatasan. Dengan
ketinggian 2057 M, medan cukup berat untuk kami. Daerah yang tak
kami kenal, bahasa yang tak kami mengerti membuat kami sulit
membedakan apakah penduduk juga turut aktif dalam gerakan yang
harus kami tumpas. Karena GPL (Gerakan Papua Liar - Red.), sama
seperti penduduk di sekitar situ," tak mengenakan pakaian
seragam. Dan bisa berlari tanpa sepatu melebihi kami, yang punya
beban di bahu dan tangan.
Di hari ke-20, kami merasa melihat bayangan 4 - 5 orang
menyelinap di balik pohon-pohon yang tebal. Mereka bersenjatakan
Mauser dan AK lop dobel. Seperti juga kami, mereka memakai
taktik hit and run. Belum pernah terjadi serangan langsung.
Tanggal 4 Juli. Team kami (15 orang) menemukan sebuah bivak yang
sudah kosong. Keadaan dalam barak bersih dan tertib. Di atas
meja masih ada kopi bubuk cap Merak, sisa makanan kaleng buatan
Australia, bahkan banyak kaleng bir yang sudah kosong. Kami
berdiam di bivak sehari semalam. Medan tak kami kuasai. Kalau
lebih lama tinggal di situ akan merupakan killing ground (tempat
mematikan - Red.) buat kami. Setelah satu setengah bulan masuk
hutan, kami kemudian kembali ke Arso, desa kecil di mana team
Perdamaian RPKAD membina masyarakat desa untuk bercocok tanam.
Oleh-oleh dari operasi Tumpas: Malaria".
Dislokasi Victoria
"Seth J. Rumkoren adilah Pacad pendidikan Cimahi. Di awal tahun
1950, Rumkoren bahkan pernah berkantor di SUAD, jalan Merdeka
ltara, Jakarta. Sejak GPL/OPM diproklamirkan 1 Juli 1971,
Rumkoren mengangkat dirinya jadi brigadir jenderal dan presiden
dari gerombolan tersebut.
Kini pengikutnva sekitar 30 rang dan sejumlah 1.000 penduduk (3
atau 4 kampung) diduga di bawah pengaruhnya. Operasi demi
operasi telah diadakan di daerah perbatasan itu (operasi Kikis,
Tumpas, Balas, Perdamaian), sulit untuk mengikis habis mereka
ini. Karena mereka lebih banyak menguasai medan, tersamar
dengan penduduk biasa dan kalau rnasuk daerah PNG (di perbatasan
ada 200 meter lebar daerah tak bertuan), tentu saja tak bisa
dikejar. Seperti laporan salah seorang tentara yang lain: Sering
kami kejar ke sana (PNG) dan kalau karni bertemu dengan police
boy (pagar praja PNG), tak begitu menyulitkan. Tapi kalau
pasukan kami bertemu dengan special branch (intel PNG), ini yang
menjadikan kesulitan kami. Karena kami dianggap melanggar batas.
Sebegitu jauh, belum pernah pasukan TNI menemukan apa yang
dinamakan benteng Victoria. Kabarnya, lokasi benteng untuk
menggembleng tentaranya Rumkoren ini selalu berpindah-pindah.
Kadang di Vanimo, kemudian pindah pula di Scau Tiau, semuanya
daerah PNG. Pasukan perbatasan TNI menduga bahwa kontak dengan
luar, biasanya lewat perahu nelayan, missi atau turis.
Teror sering mereka lancarkan terhadap penduduk biasa dari
pasukan GPL/OPM. Mereka yang tidak turut anjuran mereka,
kampungnya dibakar. Tapi setelah tokoh masyarakat Ben Boratian
kembali ke pihak RI, Rumkoren dan gerombolannya terjadi
perpecahan. Dia tidak sependapat lagi dengan Jacob Pray, yang
jadi ketua Senat GPL/OPM. Sama seperti orang-orang GPL/OPM yang
berada di negeri Belanda (sekitar 6.000 orang) yang kini
terpecah jadi tiga bagian. Dan cuma satu bagian saja: grupnya
Herman Womsiwor yang mendapat dukungan dari organisasi Belanda,
Door de Eeuwen Trouw, bahkan tahun lalu telah membuka
"kedutaan"nya di Dakar, Senegal.
Tapi sering pula di Irian Jaya. penduduk yang karena kesalahan
lain, kalau lari ke PNG langsung dituduh turut GPL/OPM. Seperti
misalnya Issac Samuel Fatahan, jago tembak, bisa menyanyi dan
melukis yang jadi polisi hutan, yang kabarnya kini tertahan atau
ditahan di PNG".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini